Hadits Abdulloh bin Ahmad tentang Bani Muntafiq_Suku yang datang kepada Rasululloh
(9 Dzulhijjah)
Ibnu katsir_Hadits ini asing, lafal-lafalnya, dan sebagian matannya munkar/menyelisihi yang sudah baku.Sanadnya Gharib Jiddan. Sanad asing
Pentahqiq lainnya : Sanad lemah, Orang-orangnya tidak dikenal oleh para ulama hadits, perowinya tidak jelas, hadits cacat.
Andai hadits ini shohih, maka perlakuannya juga seperti 3 hadits sebelumnya.
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Kita akan membahas
dalil terakhir yang biasa dipergunakan oleh kelompok ulama yang menyatakan
bahwa sama sekali tidak ada udzur bil jahl dalam perkara syirik dan tauhid,
sekalipun perkara tersebut memungkinkan untuk menjadi perkara yang tidak
diketahui oleh kebanyakan masyarakat.
Haditsnya panjang
hampir 3 halaman sendiri, kita ambil intinya saja yang biasa mereka pakai pada
bagian akhir hadits. Hadist ini biasa disebut dengan ‘Hadist Bani Muntafiq’
merujuk pada suku yang datang kepada Rasululllah pada tahun 9 Dzulhijjah, yang
dalam sejarahnya dikenal sebagai ‘’amul nufud’_’Tahun Utusan’ dimana suku-suku
arab mengutus wakil-wakilnya datang ke Madinah untuk masuk Islam. Terjadinya
pasca perang Tabuk tahun 9 Dzulhijjah, hampir masuk awal tahun 10 Hijjriyah.
Hadits diriwayatkan
oleh Abdullah bin Ahmad, putra Imam Ahmad.
Ada kemungkinan hadits ini masuk ke dalam Musnad Imam Ahmad bukan dari
tulisannya Imam Ahmad, tapi dari tambahan
putranya. Karena jika kita lihat dalam Musnad Ahmad dan tahqiqnya Syaikh
Ahmad Syaqir itu hadits ini tidak ada sekalipun dalam Musnad Ahmad tahqiqnya
Syaikh Syu’aib al Adna’ud dan ‘Abdul Qadir al Adna’ud hadits ini ada di sana.
Tapi di situ dengan jelas sanadnya jelas bahwa hadits ini bukan riwayat Imam
Ahmad, tapi Abdullah bin Ahmad.
Abdullah bin Ahmad
mengatakan, “Telah menulis kepadaku Ibrahim bin Hamzah bin Muhammad bin Hamzah
bin Mus’ab bin Zubair, aku tulis hadits ini kepadamu dan aku telah menyetorkan hafalan
hadits ini dan menuliskannya kembali hadits ini kepadamu, maka ceritakanlah
hadits itu dariku” Imam Ibrahim mengatakan
telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Mughirah bin ‘Izami
menceritakan kepadaku ‘Abdurrahman bin Ayyasy Assama’i Al Anshari Al Khuba’i
dari marga ‘Amru bin Auf dari Abdullah Hajjib bin ‘Amir bin Muntafiq Al Uqaili
dari bapaknya dari pamannya yang bernama Laqid bin Amir. Dalam riwayat lain
Dalha mengatakan menceritakan kepadaku bapakku yaitu al Aswad dari Hasyim bin
Laqid bahwasannya Laqid datang kepada Rasulullah menjadi utusan dan dia
disertai seorang teman yang bernama Nahib bin Asyim bin Malik bin Muntafiq.
Laqid bercerita, maka aku dan temanku keluar dari suku kami berangkar menuju
Madinah sampai kami datang kepada Rasulullah setelah bulan Rajab tahun 9H, maka
kami datang kepada Rasulullah yang bertepatan ketika beliau selesai shalat
subuh maka Rasulullah berdiri di masjid dan bersabda “Wahai masyarakat,
sesungguhnya aku telah menyimpan suaraku untuk kalian sejak 4 hari kemarin
semata-mata agar aku memperdengarkan sebuah khutbah yang panjang. Apakah ada
diantara kalian orang yang diutus oleh kaumnya?” maka orang-orang mengatakan,
“ketahuilah untuk kita apa yang akan disabdakan oleh Rasulullah, jangan sampai
nanti dia disibukkan oleh oleh obrolannya sendiri atau obrolan temannya atau
obrolan orang-orang yang tidak jelas.” Kemudian Rasulullah bersabda.
“Ketahuilah sesungguhnya aku akan dimintai pertanggung jawaban maka bukankah
aku telah menyampaikan, dengarkanlah maka kalian akan hidup. Duduklah kalian
duduklah kalian!” Maka orang-orang di dalam masjid semuanya duduk. Maka Laqid
bin Amir dan kawannya tetap berdiri sampai ketika mata dan hati Rasulullah
tertuju kepada kami, aku katakan kepada kami maka aku katakan “Wahai
Rasulullah, ilmu ghaib apakah yang engkau miliki?” maka Rasulullah tertawa demi
Allah.
Haditsnya sangat
panjang sekali, berbicara tentang hal-hal yang ghaib (surga, neraka, dan
beberapa peristiwa akhirat lainnya). Kemudian di akhir hadits itu Laqid mengatakan “Wahai Rasulullah, apakah ada
seseorang yang mempunyai kebaikan pada masa jahiliyyah mereka?” maka ada salah
seorang dari suku Quraisy menyela “Wallahi, sesungguhnya bapak kamu (Muntafiq)
di neraka”. Maka seakan-akan ada bara api di kulitku, wajahku, dan dagingku
akibta apa yang dia katakan tentang bapakku di hadapan orang banyak.” Maka aku berkeinginan
bertanya bagaimana dengan bapak anda wahai Rasulullah? Tapi ternyata aku mendapatkan
kalimat yang lebih sopan, wahai rasulullah bagaimana dengan keluarga anda (yang
meninggal pada zaman fatrah)? Dan Rasulullah menjawab “Demikian juga keluargaku”
Kemudian pesan Rasulullah yang dijadikan mereka dalil, “Jika kamu
mendatangi satu kuburan dari Bani Amir atau suku Quraisy (musyrik, meninggal
pada zaman jahiliyah) maka katakana kepadanya Muhammad telah mengutus kepadamu
berita buruk bahwa kamu akan diseret di atas perut dan wajahmu ke neraka.” Maka
laqid bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa mereka disiksa seperti itu padahal
mereka hanya bisa melakukan amalan yang mereka tahu saja yang seperti itu dan
mereka telah menyangka telah berbuat baik.” Maka Rasulullah bersabda, “Hal itu
karena Allah mengutus pada akhir setiap 7 umat seorang nabi, barangsiapa
membangkang kepada nabi tersebut maka dia termasuk golongan yang sesat dan
barangsiapa mentaati nabinya maka dia akan termasuk golongan yang mendapat
petunjuk.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abdullah bin Ahmad dalam kitabnya
Assunnah, dan juga Ibnu Abi ‘Asyim dalam Assunnah dan juga Imam Attabrani dalam
Al Mu’jam Al Kabir, dan juga Imam al Hakim dalam Al Mustadrak.
Hadits ini juga disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam
kitab Zadul Maad juz 3 hal 591, pembahasan tentang sirah, ‘Tahun Utusan’.
Setelah meriwayatkan hadits ini, beliau menulis “ Ini adalah sebuah hadits yang
besar dan agung, keagungan dan kebesaran hadits ini mengindikasikan bahwa
hadits ini keluar dari cahaya kenabian. Hadits ini tidak dikenal kecuali dari
Abdurrahman bin Mughirah bin Abdurrahman al Madani, yang meriwayatkan darinya adalah
Ibrahim bin Hamzah azZubairi. Keduanya adalah termasuk ulama senior Madinah,
kedua siqqah dan dijadikan perawi dalam kitab Shahih Bukhari. Dimana Imam
Bukhari meriwayatkan haditsnya dari 2 ulama itu. Hadits ini kemudian
diriwayatkan oleh para ulama ahlussunnah dalam buku-buku mereka dan hadits ini
mereka terima dengan penerimaan yang baik. Dan mereka menerimanya dengan penuh
penerimaan. Dan tidak ada seorang ulama ahlussunnahpun yang menganggap hadits
ini cacat dan tidak juga pada perawinya.”
Dengan melihat perkataan Imam Ibnul Qayyim ini maka mereka menerima
hadits ini dengan bulat-bulat. Namun perlu kita lihat bahwasannya Imam Ibnul
Qayyim hanya menyebutkan 2 orang perawi, sementara sisa perawi lainnya tidak
beliau bahas kedudukannya seperti apa. Imam Ibnul Qayyim tidak melihat
kitab-kitab para ulama secara wata’dil dalam hal ini, maka Imam Ibnu Katsir
ketika meriwayatkan hadits ini dlam Al Bidayah wa Nihayah pada bagian sirah
nabawiyah, beliau mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang sangat gharib.
Dalam ilmu hadits disebut gharib itu jika dari Rasulullah samapi penulis kitab
haditsnya hanya melalui satu jalur, artinya hadits ini hanya punya 1 sanad. Di
kitab apapun sanadnya hanya melalui jalur orang-orang ini, termasuk yang
dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim bahwa beliau mengatakan bahwa hadits tersebut
tidak dikenal kecuali dari hadits ini. Dan Ibnu Katsir mengatakan hadits
tersebut gharibun jiddan/ sangat asing. Dan lafal-lafal hadits pada sebagian
matannya adalah munkar (menyelisihi yang sudah benar, baku dalam Al Qur’an dan
hadits shahih). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al Baihaqi dalam kitabnya Al
Ba’tsu wan Nushur, juga Imam Abu Haq al Isyfili dalam Al Aqidah, dan juga Imam
alqurtubi dalam kitab Attazkirah.
Kenapa lafal-lafal matannya dianggap munkar sebagiannya dan sanadnya
dianggap gharib jiddan? Itu akan ketahuan jika kit abaca perawi lainnya yang
tidak dibahas kedudukannya oleh Ibnul Qayyim Al Jauzziyah. Dimana dalam hadits
tersebut Syaikh Syu’aib al Amna’ud dan Abdul Qadir al Amna’ud dalam tahqiqnya
atas Musnad Ahmad beliau mengatakan bahwa hadits tersebut sanadnya lemah,
karena hadits ini sanadnya berisi mata rantai orang-orang yang majhul/ tidak
diketahui oleh par ulama hadits, mereka itu :
1.
Abdurrahman
bin Ayyasy assama’i al anshari al khuba’i
2.
Dalham
Ibnu Aswad Ibnu Abdillah bin Hajib bin Amir bin Muntafiq al Ukhaili
3.
Al Aswad
bin Abdullah bin Hajib
Tiga orang ini adalah
perawi yang majhul, sanadnya yang tsiqah berarti hanya 2 di depan, dan sanad
sebelum nabi itu berisi 3 perawi yang sudah pasti majhul. Dan tidak ada bahwa
ada ulama hadits yang menganggap 3 perawi ini tsiqah kecuali Ibnu Hibban.
Sementara sudah ma’ruf di kalangan ulama hadits bahwa Ibnu Hibban itu
muttasahil, sangat menggampangkan dalam menganggap tsiqah para perawi yang
majhul.
Adapun ‘Ashim bin
Laqid jika dia bukan ‘Ashim bin Laqid bin Subrah, berarti dia juga perawi yang
majhul. Adapun sisa perawi lainnya adalah tsiqah. Tapi 3 perawi ini minimal
majhul, berarti mata rantai sanadnya itu tidak jelas, diriwayatkan oleh
orang-orang yang tidak diketahui oleh para ulama-ulama hadits. Belum lagi
isinya hadits itu munkar di beberapa lafalnya, sebagaimana dikatakan oleh Imam
Ibnu Katsir.
Kemudian dalam
riwayat Imam al Hakim, sebelum perawi Ibrahim bin Hamzah itu ada perawi namanya
Ya’qub bin Muhammad bin ‘Isa az Zuhri. Kata Imam Adz Dzahabi bahwa perawi ini
juga perawi yang dha’if, berarti ada
kemungkinan juga bahwa hadits ini ada 4-5 perawi yang majhul, dha’if. Mata
rantai yang tidak jelas inilah yang menjadikan hadits ini secara sanad
bermasalah. Kalaupun Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa tidak seorangpun ulama
hadits yang menganggap hadits ini cacat, itu perkataan/ pendapat beliau, dan
Ibnu Katsir yang jelas-jelas hidup sezaman dengan beliau menyatakan bahwa
hadits ini cacat. Dan jika kita baca kitab-kitab sirah nabawiyyah yang
mendasarkan pada riwayat-riwayat yang
shahih, maka hadits ini tidak akan kita jumpai. Seperti dalam Arrahikum
Makhtum, sama-sama membahas tentang ‘Tahun perutusan suku-suku Arab datang ke
Madinah untuk menyatakan keislamannya’ 9H, maka riwayat tentang Bani Muntafiq
ini tidak akan tersebut di situ, karena bagi Syaikh Bubarak ini bukanlah hadits
shahih, tidak akan beliau cantumkan. Begitu juga dalam kitab sirah nabawiyah yang
shahih lainnya, seperti kitabnya Syaikh Akram al ‘Umari tidak akan kita temukan
hadits ini.
Selain senadnya
munkar, secara isi beberapa lafal hadits ini juga munkar. Dimana dalam hadits
tersebut ada lafal yang di atasnya bercerita tentang surga-neraka, dan beberapa
hal lain termasuk yang tadi disebutkan, bahwa Allah mengutus pada akhir setiap
7 umat seorang nabi. Riwayat seperti itu jelas munkar, namanya nabi itu diutus
pada tiap umat, bukan akhir 7 umat. Kita lihat Bani Isra’il itu belum hancur
ketika zamannya nabi Yahya misalkan, disitu nabi ‘Isa sudah datang. Lalu ketika
zaman nabi Zakaria masih hidup, nabi Yahya sudah diangkat jadi nabi. Inilah
yang disebutkan oleh Ibnu Katsir bahwa sebagai matan hadits ini munkar, bertentangan dengan
ayat-ayat dan hadits-hadits shahih. Seandainya hadits ini dianggap shahih, maka
cara memahaminya tetap seperti hadits sebelum-sebelumnya, hadits tentang
bapak-ibu nabi yang haditsnya itu lebih shahih (ada dalam Shahih Muslim).
Disebutkan bahwa hadits tersebut secara nash bertentangan dengan ayat-ayat Al
Qur’an yang menyatakan orang musyrik masuk neraka itu karena pasti di dunia telah
mendapatkan risalah dakwah para nabi. Jika belum mendapatkan berarti dipadukan
dengan 10 hadits yang mengisahkan bahwa di akhirat akan ada ujian (tafsir QS.
Al Isra’ ayat 15)
Inilah salah satu hal
yang mengingatkan kita untuk sekalipun beberapa ulama besar, seperti Imam Ibnul
Qayyim yang menyatakan bahwa tidak seorangpun ulama hadits yang menganggap
perawi hadits ini cacat, beliaupun bisa keliru. Ternyata ulama hadits lainpun
menganggap hadits ini cacat dan belum lagi matannya yang munkar. Mengingatkan
kita untuk senantiasa teliti, hati-hati, tidak begitu saja menerima klaim-klaim
orang awam, karena klaim ulama besar saja bisa keliru, apalagi klaimnya orang
awam. Na’udhubillahi min dzalik..
Allahu’alam..