_____________________________________
Upaya Membentengi Diri Dari Fitnah Khawarij No.7
Mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh dan pendusta, juga memiliki akhlak yang buruk dan rusak.
Itu karena kerusakan dalam niat dan hati mereka, penyakit-penyakit tersembunyi berupa ujub (membanggakan diri sendiri), ghurur (tertipu dengan “kehebatan” diri sendiri), ingin lebih hebat dan lebih tinggi dari orang lain, serta kesombongan.
Adapun kebodohan mereka sangat jelas dan terkenal. Mayoritas mereka tidak mengetahui apapun tentang ilmu, disiplin-disiplin ilmu dan ilmu-ilmu alat. Mereka juga tidak menuntut ilmu yang membuat mereka bisa disebut sebagai para penuntut ilmu (santri). Mereka juga tidak mengambil ilmu dengan cara yang benar dan diakui
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Saya cukupkan
dengan dua contoh ini (Ibnu
‘Arabi dan Ibnu Hajar al Haitami), khawatir akan
terlalu panjang lebar. Sebenarnya contoh-contohnya sangat banyak menurut manhaj
yang lurus ini yang diikuti oleh para ulama Islam dan imam agama. Segala puji
bagi Allah semata Rabb seluruh alam.
Ada banyak ulama lainnya yang mungkin mengikuti pendapatnya Ibnu Hajar al
Haitami, bahkan hidup sebelum Ibnu Hajar. Midalkan Imam Taqiyuddin as Subqi,
yang notabenenya adalah murid dari Imam Adz Dzahabi. Beliau juga keras dalam
masalah istighatsah bi ghairillah, dia anggap itu sunnah. Dan dia juga sangat
menyerang Ibnu Taimiyah, sampai ditulis bantahannya oleh Imam Ibnu ‘Adil Hadi.
Kemudian diantaranya lagi pembahasan andalan yang sering dibahas oleh Abu
Maryam al Mukhlif dan sejenisnya.
d. Perkara al-asma’ dan al-ahkam,
Asma’ : muslim, kafir, munafiq,
zindik, fasik, dll
Ahkam : Halal atau haram darahnya,
halal atau haram hartanya, bisa mewarisi atau tidak, bisa dinikahi atau tidak.
dll
Itu yang sering sekali mereka mengucapkannya
secara berlebihan, padahal mereka tidak mengetahui hakekatnya, seperti yang
akan saya terangkan dalam tempat yang lain, insya Allah. Maka janganlah
ikhwan-ikhwan tergesa-gesa dan hendaklah mereka bersabar, sesungguhnya Allah
bersama orang-orang yang sabar.
Allahua’lam, mungkin bagi mereka
ketika sudah membahas masalah ini, seakan-akan intinya tauhid sudah ketemu.
Padahal pada praktiknya, masalah asma’ wal ahkam ini banyak berkaitan dengan
fiqih, peristiwa qadha’. Dan praktiknyapun haruslah melihat pada sunnah
Rasulullah dan Khulafaurrasyidin, bagaimana generasi salaf dahulu mempraktiknya
masalah asma’ wal ahkam. Jika secara teori, orang kafir jika sudah mendengar
berita tentang Islam maka dianggap bahwa telah sampai kepadanya hujjah,
iqamatul hujjah sudah terjadi sehingga jika dia tidak masuk Islam maka diangap
kafir, langsung bisa diperangi tanpa perlu didakwahi lagi. Secara teori belajar
fiqih atau aqidah mungkin seperti itu, tapi jika kita belajar sirah, bagaimana
penerapannya di zaman Rasulullah dan khulafaurrasyidin tentu tidak segegabah
itu. Misalnya dalam peristiwa Perang Khaibar, di situ jelas yang diperangi
Yahudi. Jangankan
setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, orang Yahudi sebelum Rasulullah lahir itu
mereka sudah tahu tentang ajaran yang dibawa oleh nabi yang terakhir, dan mereka
tahu persis tentang Islam. Apalagi ketika Rasulullah hijrah ke Madinah,
beberapa orang Yahudi misalkan ‘Abdullah bin Salam yang masuk Islam dan
mengajak para pendeta lain masuk Islam,. Secara teori yang seperti itu adalah
hujjah telah tegak, apalagi nanti terjadi perang Bani Qainuqa’, dilanjutkan
perang Bani Nadhir, baru terakhir terjadi pengusiran Bani Quraidhah pasca
perang Ahzab tahun ke-5H. Dan setelah 2 tahun setelah itu barulah terjadi
perang melawan Yahudi di Khaibar. Artinya, secara teori telah terjadi tegaknya
ribuan hujjah kepada orang-orang Yahudi. Tapi dalam perang tidak semudah itu,
Rasulullah perang berhari-hari dengan gonta-ganti komandan belum ada yang
sukses, ketika terakhir kali ditunjuk ‘Ali bin Abi Thalib, dan beliau bertanya “Wahai
Rasulullah, apa yang harus aku lakukan?” Maka Rasulullah memerintahkan “Berjalanlah
dengan tenang berlahan-lahan, sampai kamu tiba di halaman benteng mereka
kemudian ajaklah mereka masuk Islam!”. Padahal itu sudah perang berhari-hari,
yang syahid, luka-luka sudah banyak namun didakwahi lagi.
Begitu juga ketika perang melawan Romawi atau Persia. Sejak
perjanjian Hudaibiyah disepakati, surat dakwan Rasulullah sudah sampai ke
Persia, Romawi. Tapi ketika terjadi perang dan lain-lain ada lagi utusan-utusan
dakwah, bagaimana sampai 3 kali-3 hari berturut-turut Sa’ad bin Abi Waqas
misalnya. Mengutus utusan untuk berdakwah kepada Rustum, terjadi diplomasi dan
lain sebagainya. Itu menunjukkan bahwa praktiknya tidak sesederhana apa yang
tertulis dalam kitab-kitab aqidah ataupun fiqih. Maka tidak bisa dipahami
secara tekstual saja pada kitab-kitab itu, namun perlu dilihat juga praktinya.
Karena bagaimanapun teori itu sebaik-baik praktiknya adalah pada zaman
Rasulullah dan Sahabat.
Kemudian masalah berikutnya yang sangat bereka andalkan
adalah :
e. Mengklaim ijma’-ijma’, qath’i dan yakin, seperti telah
kami isyaratkan di depan.
Misalnya klaim jika orang berbuat syirik maka langsung
disebut musyrik sekalipun dia sudah sah masuk Islam tanpa memandang apakah dia
ada udzur atau tidak. Pokoknya jika melakukan syirik maka musyrik, dan ini
adalah ijma’ ulama dakwah Nejd, umpamanya.
Di bagian awal sudah disebut ijma’-ijma’ sehingga orang
ketakutan duluan mendengarnya. Padahal pada praktiknya juga tidak seperti itu.
Seperti ijma’ ulama berpendapat bahwa tidak ada udzur bil jahl dalam masalah
syirik akbar dengan tanpa dirinci syirik akbar yang seperti apa, misalnya.
Nanti menjumpai misalkan Ibnu Hazm yang justru memberikan klaim ijma’ yang
berbeda. Ibnu Hazm pada abad ke-5 bilang ada ijma’ bahwa ada udzur, sementara
ini ulama abad 12, 7 abad setelah Ibnu Hazm bilang ijma’ bahwa tidak ada udzur.
Inilah klaim ijma’yang seharusnya perlu kehati-hatian karena yang namanya klaim
ijma’ itu membuktikan bahwa dia sudah mendapatkan informasi dari seluruh ulama,
mujtahid yang hidup pada zamannya. Dan itu pada zaman sekarang sangat sulit
tercapai. Bahkan banyak ulama menyatakan bahwa ijma’ setelah zaman sahabat itu
mustahil, kecuali pada perkara-perkara yang sangat mutawatir. Seperti shalat 5
waktu, zakat, haji, dll.
Dan sebelum semua perkara tersebut adalah Allah telah
menimpakan ujian dan kesesatan kepada mereka serta mencegah mereka dari
petunjuk, kecuali jika Allah menghendakinya, Dialah Pemilik seluruh kerajaan,
memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya dan menyesatkan
orang-orang yang dikehendaki-Nya, tidak ada Ilah selain-Nya dan tidak ada Rabb
selain-Nya. Kita berdoa kepada Allah Ta’ala semoga memberikan petunjuk kepada
kita dan mereka kepada kebenaran, kebaikan dan keberuntungan. Amien.
Ketujuh
Mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh dan
pendusta, juga memiliki akhlak yang buruk dan rusak.
Biasanya mereka tidak terkena kesesatan tersebut kecuali
karena kerusakan dalam niat dan hati mereka, penyakit-penyakit tersembunyi
berupa ujub (membanggakan diri sendiri, orang kalau tidak punya
kehebatan maka dia tidak ujub, orang bisa ujub karena dia merasa hebat dan
punya kelebihan. Ini penyakitnya orang hebat), ghurur (tertipu dengan
“kehebatan” diri sendiri),
Penting bagi kita untuk membaca setindaknya kitab Mukhtasar Minhajul
Qasidin atau jika berani Ihya ‘Ulumudin pada bab ‘ujub dan ghurur.
Kemudian penyakit ingin lebih hebat dan lebih tinggi dari
orang lain, serta kesombongan. Kita berlindung kepada Allah dari semua penyakit
hati tersebut.
Ini mungkin perkara hati, namun paling tidak indikasinya
mengarah ke situ. Orang bisa punya akhlak seburuk itu, bisa sangat berdusta,
karena biasanya memang ada penyakit-penyakit hati yang tersembunyi, yang
sifatnya jikamenurut Ibnu Hajar dalam Al Kabair adalah ‘Al Bathinah’. Dosa-dosa
besar yang sifatnya batin, seperti ujub, ghurur, kibr, merasa dirinya lebih
hebat dan lebih tinggi serta ingin mengungguli orang lain.
Allah Ta’ala berfirman,
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka tatkala mereka tersesat (menyimpang), maka Allah pun
menyesatkan hati mereka.” (QS. Ash-Shaf [61]: 5)
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ
وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dan ketahuilah sesungguhnya Allah membuat sekat antara diri
seseorang dengan hatinya dan sesungguhnya kepada Allah semata kalian akan
dikumpulkan.”(QS.
Al-Anfal [8]: 24)
وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ
Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim.(QS. Ibrahim [14]: 27)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang
fasik. (QS.
Al-Munafiqun [63]: 6)
Adapun kebodohan mereka sangat jelas dan terkenal. Mayoritas
mereka tidak mengetahui apapun tentang ilmu, disiplin-disiplin ilmu dan
ilmu-ilmu alat. Kadang tidak tahu bahasa Arab, ilmu alat, entah ilmu hadits,
ilmu ushul fiqh, atau ilmu Al Qur’an, dan beberapa bidang ilmua lainnya
Mereka juga tidak menuntut ilmu yang membuat mereka bisa
disebut sebagai para penuntut ilmu (santri).
Belajarnya bukan belajar ala thalabatul ‘ilm, para santri,
para pelajar yang memang seharusnya mengikuti tata cara yang khas. Namanya
thalabatul ‘ilmi dimana-mana belajarnya
dari yang mudah naik makin sulit, dari yang kecil sampai ke yang besar,
dari yang dasar sampai naik ke atap. Begitulah cara belajar, mulai dari matan,
lalu syarh matan, dari jenjang dasar kemudian menengah lalu atas, dst. Tapi mereka
ini tidak belajar ilmu dengan cara yang membuat mereka disebut sebagai thalibul
‘ilmi, tidak mengikuti tahap-tahap itu, maunya loncat-loncat. Baru bisa baca Al
Qur’an, bacanya langsung kitab-kitab induk tanpa mengetahui alat-alatnya, tidak
bisa membedakan ini istimbat yang benar atau yang keliru.
Mereka juga tidak mengambil ilmu dengan cara yang benar dan
diakui. Dari kalangan ulama biasanya disuruh menghafal matan yang
ringkas-ringkas nanti disetorkan ke ustadz, dan ustadz yang menjelaskan. Jika
belum selesai itu, maka belum bisa pindah ke matan lain atau kitab lain yang
lebih berat. Standarnya seperti itu. Jika dia pemula maka tidak mungkin belajar
langsung kepada syaikhnya, pasti belajarnya kepada santri yang agak senior yang
ditunjuk oleh Syaikh. Halaqahnya juga dari dasar, tidak mungkin halaqah pertama
langsung Fathul Barri. Tidak ada ulama yang ngajarnya pakai itu, mesti yang
ringan-ringan. Misalkan, pertama kali hadits arba’in, naik lagi Umdatul Ahkam
atau Bulughul Maram, dst. Dan mereka itu cara belajarnya tidak seperti itu,
bahkan hanya sekedar dari internet saja.
Tokoh dan pemimpin mereka, Abu Maryam Al-Mukhlif, sekalipun
dikenal menuntut ilmu dan berbicara tentang ilmu sejak beberapa waktu lalu,
namun para ulama dan penuntut ilmu sudah mengenal kekurangannya, ujubnya,
ghururnya, kesembronoannya, keekstrimannya, sikapnya yang suka
memvonis dan keluarnya ia dari pokok-pokok ilmu. Mereka telah mengetahui
kelemahannya dalam bahasa Arab dan keterbatasannya dalam memahami bahasa
Al-Qur’an.
Apalagi pengikutnya, orang Ajam, tahunya baca terjemahan.
Setiap kali dibacakan ayat ‘mereka tidak mengetahui’, mereka mengartikannya ‘bodoh’
semata. Padahal dalam ilmu bahasa Arab, ‘mereka tidak mengetahui’ itu tidak
mesti bahwa orang itu tidak tahu ilmu tapi kadang orang berilmu tapi melanggar
ilmu, dsb. Ada bahasa-bahasa yang itu kadang hanya bisa diketahui oleh para
ulama yang mendalam bahasa Arabnya. Sampai-sampai dalam salah satu syarat
menafsirkan AL Qur’an, dia mempunyai pengetahuan yang cukup tentang bahasa
Arab, tidak hanya i’rabnya, nahwu-sarafnya, tapi juga balaghahnya, sense of
language, dan menguasai syair-syair jahiliyah yang masih asli bahasa Arabnya.
Mereka juga telah mengetahui bahwa Abu Maryam Al-Mukhlif
tidak mengambil ilmu secara langsung dari para ulama yang dikenal luas dan
terpercaya. Andalannya adalah membaca buku- buku, tanpa memiliki landasan yang
bagus yang bisa mencegahnya dari berbagai kekeliruan. Ia tidak memiliki sifat
obyektif, moderat, selalu berusaha untuk lurus dan banyaknya ketepatan dalam
bidang ilmu.
Tentang diri Abu Maryam Al-Mukhlif, silahkan kalian bertanya
kepada para ulama yang mengenalnya dan mendengar pendapat-pendapatnya atau
membaca tulisannya. Adapun orang-orang bodoh dan kaum awam umat Islam, maka
mereka memang tidak mengetahui tingkatan-tingkatan orang dalam bidang ilmu!
Bagi Abu Maryam al Mukhlif,mungkin dia menganggap telah satu
level dengan Syaikh Athiyatullah karena mungkisn sama-sama bisa berbahasa arab,
sama-sama bisa mengeluarkan dalil. Orang awam melihatnya hanya sebatas itu,
tidak melihat bagaimana mereka melngeluarkan dalil. Jika Cuma mengelaurkan
dalil, semua kelompok bid’ah dan bahkan wihdatul wujudpun juga mengeluarkan
dalil, karena mereka juga mempunyai ulama yang sampai mengelurkan tfsir 30 juz.
Maka bagaimana cara memahami dalil itu, dan itulah mengapa memerlukan ilmu
bukan sekedar tahu bahasa Arab.
Inilah sosok tokoh, pemimpin, mufti dan pengajar kesesatan
kepada mereka. Bagaimana lagi dengan para pengikut dan orang-orang kecil di
antara mereka? Mereka adalah kumpulan dari kesesatan di atas kesesatan lainnya,
dari kebodohan-kebodohan, kebutaan-kebutaan, sedikitnya pengetahuan dan
hilangnya bashirah. Lebih-lebih penyakit-penyakit menonjol mereka
lainnya yang nampak jelas bagi orang mengetahui keadaan mereka.
Subhanallah, seperti itulah repotnya orang awam, orang bodoh
dari kalangan kaum muslimin tidak bisa mengetahui tingkatan-tingkatan orang
dalam masalah ilmu. Dikiranya ulama itu satu tingkat, si fulan dengan si fulan
satu tingkatan. Misalkan tidak bisa menilai/ mengukur tingkatan antara ulama salaf
dengan khalaf, tidak bisa membandingkan antara ulama mujtahid dengan mukhalid,
ini santri biasa dan ini kyai. Orang awam tidak bisa seperti itu, tahunya kalau
orang bisa lancer berbahasa arab ya sudah, dianggap orang benar.
Allahu’alam..
Teks Arab :
وأكتفي بهذين المثالين،
خشية التطويل، والأمثلة كثيرة جدا على هذا المنهج المستقيم لعلماء الملة وأئمة الدين.
والحمد لله رب العالمين.
مسألة الأسماء والأحكام التي كثيرا ما يتشدقون
بها، ولا يفقهون حقيقتها كما سأبيّنه في موضع آخر إن شاء الله تعالى، فلا يستعجل الإخوة
وليصبروا، إن الله مع الصابرين.
ادعاء الإجماعات والقطع واليقين، كما أشرنا إلى ذلك.
وقبل ذلك كله فتنة الله تعالى لهم وإضلاله سبحانه لهم ومنعه إياهم عن
الهدى،
إلا أن يشاء سبحانه، وهو مالكُ الملك جل وعلا، يهدي من يشاء ويضل من يشاء، لا إله غيره
ولا رب سواه، نسأله عز وجل أن يهدينا وإياهم إلى الحق والصواب والخير والفلاح.. آمين
السابع:
معرفة أن هؤلاء القوم جهلة وكذبة أيضا، وأصحاب أخلاق سيئة فاسدة، وأنهم ما أتوا -في
الغالب- إلا من فساد في نياتهم وقلوبهم وأمراض دفينة، من العجب والغرور وطلب العلوّ
على الخلق والترفع والكبر... والعياذ بالله.. قال الله تعالى: ﴿فلما زاغوا أزاغ الله قلوبهم﴾، وقال تعالى: ﴿واعلموا أن الله يحول بين المرء وقلبه وأنه إليه تحشرون﴾،
وقال تعالى: ﴿ويضل الله الظالمين﴾ وقال
تعالى: ﴿إن الله لا يهدي القومَ الفاسقين﴾.
فأما جهلهم فظاهرٌ جدا
معروفٌ، فأكثرهم لا يعرف من العلم وفنونه وأدواته شيئا، ولم يطلبوا علما يسمّون به
طلبة علم أصلا، ولا أخذوا العلم بطريق صحيح معتبرٍ، ورئيسهم وكبيرهم المخلف وإن كان
قد عُرف بطلب العلم والتكلم في العلم منذ مدة، إلا أن العلماء وطلبة العلم يعرفون نقصه
وعجبه وغروره ومجازفاته وتنطعاته وتحكّمه وخروجه عن أصول العلم، وضعفه في عربيته وفهمه
للغة القرآن، ويعرفون أن لم يتلقَ العلم على مشايخ معروفين متقنين، وإنما عمدته على
قراءة الكتب، دون أن يكون له تأسيس جيد يمنعه عن الشطط، أو تاريخ حسنٌ في الاعتدال
والاستداد وكثرة الإصابة في العلم، واسألوا عنه أهل المعرفة ممن عرفوه وسمعوا له أو
قرأوا.. وأما العامة والجهلة من المسلمين فلا يعرفون مقامات الناس في العلم.!
فهذا
كبيرهم ورئيسهم ومفتيهم ومعلمهم الضلال، فكيف بالصغار الأتباع، إنهم عبارة عن ظلمات
بعضها فوق بعض من الجهالات والعمايات وقلة المعرفة وفقد البصيرة، فضلا عن سائر الأمراض
الظاهرة فيهم لمن عرف حالهم.