#31_Mereka Bodoh, Pendusta, dan Rusak Akhlaknya


_____________________________________

Upaya Membentengi Diri Dari Fitnah Khawarij No.7

Mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh dan pendusta, juga memiliki akhlak yang buruk dan rusak.

Itu karena kerusakan dalam niat dan hati mereka, penyakit-penyakit tersembunyi berupa ujub (membanggakan diri sendiri), ghurur (tertipu dengan “kehebatan” diri sendiri), ingin lebih hebat dan lebih tinggi dari orang lain, serta kesombongan. 

Adapun kebodohan mereka sangat jelas dan terkenal. Mayoritas mereka tidak mengetahui apapun tentang ilmu, disiplin-disiplin ilmu dan ilmu-ilmu alat. Mereka juga tidak menuntut ilmu yang membuat mereka bisa disebut sebagai para penuntut ilmu (santri). Mereka juga tidak mengambil ilmu dengan cara yang benar dan diakui

::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


Saya cukupkan dengan dua contoh ini (Ibnu ‘Arabi dan Ibnu Hajar al Haitami), khawatir akan terlalu panjang lebar. Sebenarnya contoh-contohnya sangat banyak menurut manhaj yang lurus ini yang diikuti oleh para ulama Islam dan imam agama. Segala puji bagi Allah semata Rabb seluruh alam.

Ada banyak ulama lainnya yang mungkin mengikuti pendapatnya Ibnu Hajar al Haitami, bahkan hidup sebelum Ibnu Hajar. Midalkan Imam Taqiyuddin as Subqi, yang notabenenya adalah murid dari Imam Adz Dzahabi. Beliau juga keras dalam masalah istighatsah bi ghairillah, dia anggap itu sunnah. Dan dia juga sangat menyerang Ibnu Taimiyah, sampai ditulis bantahannya oleh Imam Ibnu ‘Adil Hadi.

Kemudian diantaranya lagi pembahasan andalan yang sering dibahas oleh Abu Maryam al Mukhlif dan sejenisnya.


d. Perkara al-asma’ dan al-ahkam,

Asma’ : muslim, kafir, munafiq, zindik, fasik, dll
Ahkam : Halal atau haram darahnya, halal atau haram hartanya, bisa mewarisi atau tidak, bisa dinikahi atau tidak. dll

Itu yang sering sekali mereka mengucapkannya secara berlebihan, padahal mereka tidak mengetahui hakekatnya, seperti yang akan saya terangkan dalam tempat yang lain, insya Allah. Maka janganlah ikhwan-ikhwan tergesa-gesa dan hendaklah mereka bersabar, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.

Allahua’lam, mungkin bagi mereka ketika sudah membahas masalah ini, seakan-akan intinya tauhid sudah ketemu. Padahal pada praktiknya, masalah asma’ wal ahkam ini banyak berkaitan dengan fiqih, peristiwa qadha’. Dan praktiknyapun haruslah melihat pada sunnah Rasulullah dan Khulafaurrasyidin, bagaimana generasi salaf dahulu mempraktiknya masalah asma’ wal ahkam. Jika secara teori, orang kafir jika sudah mendengar berita tentang Islam maka dianggap bahwa telah sampai kepadanya hujjah, iqamatul hujjah sudah terjadi sehingga jika dia tidak masuk Islam maka diangap kafir, langsung bisa diperangi tanpa perlu didakwahi lagi. Secara teori belajar fiqih atau aqidah mungkin seperti itu, tapi jika kita belajar sirah, bagaimana penerapannya di zaman Rasulullah dan khulafaurrasyidin tentu tidak segegabah itu. Misalnya dalam peristiwa Perang Khaibar, di situ jelas yang diperangi Yahudi. Jangankan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, orang Yahudi sebelum Rasulullah lahir itu mereka sudah tahu tentang ajaran yang dibawa oleh nabi yang terakhir, dan mereka tahu persis tentang Islam. Apalagi ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beberapa orang Yahudi misalkan ‘Abdullah bin Salam yang masuk Islam dan mengajak para pendeta lain masuk Islam,. Secara teori yang seperti itu adalah hujjah telah tegak, apalagi nanti terjadi perang Bani Qainuqa’, dilanjutkan perang Bani Nadhir, baru terakhir terjadi pengusiran Bani Quraidhah pasca perang Ahzab tahun ke-5H. Dan setelah 2 tahun setelah itu barulah terjadi perang melawan Yahudi di Khaibar. Artinya, secara teori telah terjadi tegaknya ribuan hujjah kepada orang-orang Yahudi. Tapi dalam perang tidak semudah itu, Rasulullah perang berhari-hari dengan gonta-ganti komandan belum ada yang sukses, ketika terakhir kali ditunjuk ‘Ali bin Abi Thalib, dan beliau bertanya “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan?” Maka Rasulullah memerintahkan “Berjalanlah dengan tenang berlahan-lahan, sampai kamu tiba di halaman benteng mereka kemudian ajaklah mereka masuk Islam!”. Padahal itu sudah perang berhari-hari, yang syahid, luka-luka sudah banyak namun didakwahi lagi.

Begitu juga ketika perang melawan Romawi atau Persia. Sejak perjanjian Hudaibiyah disepakati, surat dakwan Rasulullah sudah sampai ke Persia, Romawi. Tapi ketika terjadi perang dan lain-lain ada lagi utusan-utusan dakwah, bagaimana sampai 3 kali-3 hari berturut-turut Sa’ad bin Abi Waqas misalnya. Mengutus utusan untuk berdakwah kepada Rustum, terjadi diplomasi dan lain sebagainya. Itu menunjukkan bahwa praktiknya tidak sesederhana apa yang tertulis dalam kitab-kitab aqidah ataupun fiqih. Maka tidak bisa dipahami secara tekstual saja pada kitab-kitab itu, namun perlu dilihat juga praktinya. Karena bagaimanapun teori itu sebaik-baik praktiknya adalah pada zaman Rasulullah dan Sahabat.

Kemudian masalah berikutnya yang sangat bereka andalkan adalah :

e. Mengklaim ijma’-ijma’, qath’i dan yakin, seperti telah kami isyaratkan di depan.

Misalnya klaim jika orang berbuat syirik maka langsung disebut musyrik sekalipun dia sudah sah masuk Islam tanpa memandang apakah dia ada udzur atau tidak. Pokoknya jika melakukan syirik maka musyrik, dan ini adalah ijma’ ulama dakwah Nejd, umpamanya.

Di bagian awal sudah disebut ijma’-ijma’ sehingga orang ketakutan duluan mendengarnya. Padahal pada praktiknya juga tidak seperti itu. Seperti ijma’ ulama berpendapat bahwa tidak ada udzur bil jahl dalam masalah syirik akbar dengan tanpa dirinci syirik akbar yang seperti apa, misalnya. Nanti menjumpai misalkan Ibnu Hazm yang justru memberikan klaim ijma’ yang berbeda. Ibnu Hazm pada abad ke-5 bilang ada ijma’ bahwa ada udzur, sementara ini ulama abad 12, 7 abad setelah Ibnu Hazm bilang ijma’ bahwa tidak ada udzur. Inilah klaim ijma’yang seharusnya perlu kehati-hatian karena yang namanya klaim ijma’ itu membuktikan bahwa dia sudah mendapatkan informasi dari seluruh ulama, mujtahid yang hidup pada zamannya. Dan itu pada zaman sekarang sangat sulit tercapai. Bahkan banyak ulama menyatakan bahwa ijma’ setelah zaman sahabat itu mustahil, kecuali pada perkara-perkara yang sangat mutawatir. Seperti shalat 5 waktu, zakat, haji, dll.

Dan sebelum semua perkara tersebut adalah Allah telah menimpakan ujian dan kesesatan kepada mereka serta mencegah mereka dari petunjuk, kecuali jika Allah menghendakinya, Dialah Pemilik seluruh kerajaan, memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya dan menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya, tidak ada Ilah selain-Nya dan tidak ada Rabb selain-Nya. Kita berdoa kepada Allah Ta’ala semoga memberikan petunjuk kepada kita dan mereka kepada kebenaran, kebaikan dan keberuntungan. Amien. 



Ketujuh

Mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh dan pendusta, juga memiliki akhlak yang buruk dan rusak.

Biasanya mereka tidak terkena kesesatan tersebut kecuali karena kerusakan dalam niat dan hati mereka, penyakit-penyakit tersembunyi berupa ujub (membanggakan diri sendiri, orang kalau tidak punya kehebatan maka dia tidak ujub, orang bisa ujub karena dia merasa hebat dan punya kelebihan. Ini penyakitnya orang hebat), ghurur (tertipu dengan “kehebatan” diri sendiri),

Penting bagi kita untuk membaca setindaknya kitab Mukhtasar Minhajul Qasidin atau jika berani Ihya ‘Ulumudin pada bab ‘ujub dan ghurur.

Kemudian penyakit ingin lebih hebat dan lebih tinggi dari orang lain, serta kesombongan. Kita berlindung kepada Allah dari semua penyakit hati tersebut.

Ini mungkin perkara hati, namun paling tidak indikasinya mengarah ke situ. Orang bisa punya akhlak seburuk itu, bisa sangat berdusta, karena biasanya memang ada penyakit-penyakit hati yang tersembunyi, yang sifatnya jikamenurut Ibnu Hajar dalam Al Kabair adalah ‘Al Bathinah’. Dosa-dosa besar yang sifatnya batin, seperti ujub, ghurur, kibr, merasa dirinya lebih hebat dan lebih tinggi serta ingin mengungguli orang lain.

Allah Ta’ala berfirman,
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ

“Maka tatkala mereka tersesat (menyimpang), maka Allah pun menyesatkan hati mereka.” (QS. Ash-Shaf [61]: 5)

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Dan ketahuilah sesungguhnya Allah membuat sekat antara diri seseorang dengan hatinya dan sesungguhnya kepada Allah semata kalian akan dikumpulkan.”(QS. Al-Anfal [8]: 24)

وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ

Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim.(QS. Ibrahim [14]: 27)

إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS. Al-Munafiqun [63]: 6)

Adapun kebodohan mereka sangat jelas dan terkenal. Mayoritas mereka tidak mengetahui apapun tentang ilmu, disiplin-disiplin ilmu dan ilmu-ilmu alat. Kadang tidak tahu bahasa Arab, ilmu alat, entah ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, atau ilmu Al Qur’an, dan beberapa bidang ilmua lainnya
Mereka juga tidak menuntut ilmu yang membuat mereka bisa disebut sebagai para penuntut ilmu (santri).

Belajarnya bukan belajar ala thalabatul ‘ilm, para santri, para pelajar yang memang seharusnya mengikuti tata cara yang khas. Namanya thalabatul ‘ilmi dimana-mana belajarnya  dari yang mudah naik makin sulit, dari yang kecil sampai ke yang besar, dari yang dasar sampai naik ke atap. Begitulah cara belajar, mulai dari matan, lalu syarh matan, dari jenjang dasar kemudian menengah lalu atas, dst. Tapi mereka ini tidak belajar ilmu dengan cara yang membuat mereka disebut sebagai thalibul ‘ilmi, tidak mengikuti tahap-tahap itu, maunya loncat-loncat. Baru bisa baca Al Qur’an, bacanya langsung kitab-kitab induk tanpa mengetahui alat-alatnya, tidak bisa membedakan ini istimbat yang benar atau yang keliru.

Mereka juga tidak mengambil ilmu dengan cara yang benar dan diakui. Dari kalangan ulama biasanya disuruh menghafal matan yang ringkas-ringkas nanti disetorkan ke ustadz, dan ustadz yang menjelaskan. Jika belum selesai itu, maka belum bisa pindah ke matan lain atau kitab lain yang lebih berat. Standarnya seperti itu. Jika dia pemula maka tidak mungkin belajar langsung kepada syaikhnya, pasti belajarnya kepada santri yang agak senior yang ditunjuk oleh Syaikh. Halaqahnya juga dari dasar, tidak mungkin halaqah pertama langsung Fathul Barri. Tidak ada ulama yang ngajarnya pakai itu, mesti yang ringan-ringan. Misalkan, pertama kali hadits arba’in, naik lagi Umdatul Ahkam atau Bulughul Maram, dst. Dan mereka itu cara belajarnya tidak seperti itu, bahkan hanya sekedar dari internet saja.

Tokoh dan pemimpin mereka, Abu Maryam Al-Mukhlif, sekalipun dikenal menuntut ilmu dan berbicara tentang ilmu sejak beberapa waktu lalu, namun para ulama dan penuntut ilmu sudah mengenal kekurangannya, ujubnya, ghururnya, kesembronoannya, keekstrimannya, sikapnya yang suka memvonis dan keluarnya ia dari pokok-pokok ilmu. Mereka telah mengetahui kelemahannya dalam bahasa Arab dan keterbatasannya dalam memahami bahasa Al-Qur’an.

Apalagi pengikutnya, orang Ajam, tahunya baca terjemahan. Setiap kali dibacakan ayat ‘mereka tidak mengetahui’, mereka mengartikannya ‘bodoh’ semata. Padahal dalam ilmu bahasa Arab, ‘mereka tidak mengetahui’ itu tidak mesti bahwa orang itu tidak tahu ilmu tapi kadang orang berilmu tapi melanggar ilmu, dsb. Ada bahasa-bahasa yang itu kadang hanya bisa diketahui oleh para ulama yang mendalam bahasa Arabnya. Sampai-sampai dalam salah satu syarat menafsirkan AL Qur’an, dia mempunyai pengetahuan yang cukup tentang bahasa Arab, tidak hanya i’rabnya, nahwu-sarafnya, tapi juga balaghahnya, sense of language, dan menguasai syair-syair jahiliyah yang masih asli bahasa Arabnya.

Mereka juga telah mengetahui bahwa Abu Maryam Al-Mukhlif tidak mengambil ilmu secara langsung dari para ulama yang dikenal luas dan terpercaya. Andalannya adalah membaca buku- buku, tanpa memiliki landasan yang bagus yang bisa mencegahnya dari berbagai kekeliruan. Ia tidak memiliki sifat obyektif, moderat, selalu berusaha untuk lurus dan banyaknya ketepatan dalam bidang ilmu.

Tentang diri Abu Maryam Al-Mukhlif, silahkan kalian bertanya kepada para ulama yang mengenalnya dan mendengar pendapat-pendapatnya atau membaca tulisannya. Adapun orang-orang bodoh dan kaum awam umat Islam, maka mereka memang tidak mengetahui tingkatan-tingkatan orang dalam bidang ilmu!

Bagi Abu Maryam al Mukhlif,mungkin dia menganggap telah satu level dengan Syaikh Athiyatullah karena mungkisn sama-sama bisa berbahasa arab, sama-sama bisa mengeluarkan dalil. Orang awam melihatnya hanya sebatas itu, tidak melihat bagaimana mereka melngeluarkan dalil. Jika Cuma mengelaurkan dalil, semua kelompok bid’ah dan bahkan wihdatul wujudpun juga mengeluarkan dalil, karena mereka juga mempunyai ulama yang sampai mengelurkan tfsir 30 juz. Maka bagaimana cara memahami dalil itu, dan itulah mengapa memerlukan ilmu bukan sekedar tahu bahasa Arab.

Inilah sosok tokoh, pemimpin, mufti dan pengajar kesesatan kepada mereka. Bagaimana lagi dengan para pengikut dan orang-orang kecil di antara mereka? Mereka adalah kumpulan dari kesesatan di atas kesesatan lainnya, dari kebodohan-kebodohan, kebutaan-kebutaan, sedikitnya pengetahuan dan hilangnya bashirah. Lebih-lebih penyakit-penyakit menonjol mereka lainnya yang nampak jelas bagi orang mengetahui keadaan mereka.

Subhanallah, seperti itulah repotnya orang awam, orang bodoh dari kalangan kaum muslimin tidak bisa mengetahui tingkatan-tingkatan orang dalam masalah ilmu. Dikiranya ulama itu satu tingkat, si fulan dengan si fulan satu tingkatan. Misalkan tidak bisa menilai/ mengukur tingkatan antara ulama salaf dengan khalaf, tidak bisa membandingkan antara ulama mujtahid dengan mukhalid, ini santri biasa dan ini kyai. Orang awam tidak bisa seperti itu, tahunya kalau orang bisa lancer berbahasa arab ya sudah, dianggap orang benar.

Allahu’alam..
Teks Arab :

وأكتفي بهذين المثالين، خشية التطويل، والأمثلة كثيرة جدا على هذا المنهج المستقيم لعلماء الملة وأئمة الدين. والحمد لله رب العالمين.
Ÿ  مسألة الأسماء والأحكام التي كثيرا ما يتشدقون بها، ولا يفقهون حقيقتها كما سأبيّنه في موضع آخر إن شاء الله تعالى، فلا يستعجل الإخوة وليصبروا، إن الله مع الصابرين.
Ÿ  ادعاء الإجماعات والقطع واليقين، كما أشرنا إلى ذلك.
Ÿ  وقبل ذلك كله فتنة الله تعالى لهم وإضلاله سبحانه لهم ومنعه إياهم عن الهدى، إلا أن يشاء سبحانه، وهو مالكُ الملك جل وعلا، يهدي من يشاء ويضل من يشاء، لا إله غيره ولا رب سواه، نسأله عز وجل أن يهدينا وإياهم إلى الحق والصواب والخير والفلاح.. آمين
السابع: معرفة أن هؤلاء القوم جهلة وكذبة أيضا، وأصحاب أخلاق سيئة فاسدة، وأنهم ما أتوا -في الغالب- إلا من فساد في نياتهم وقلوبهم وأمراض دفينة، من العجب والغرور وطلب العلوّ على الخلق والترفع والكبر... والعياذ بالله.. قال الله تعالى: ﴿فلما زاغوا أزاغ الله قلوبهم﴾، وقال تعالى: ﴿واعلموا أن الله يحول بين المرء وقلبه وأنه إليه تحشرون﴾، وقال تعالى: ﴿ويضل الله الظالمين﴾ وقال تعالى: ﴿إن الله لا يهدي القومَ الفاسقين﴾.
فأما جهلهم فظاهرٌ جدا معروفٌ، فأكثرهم لا يعرف من العلم وفنونه وأدواته شيئا، ولم يطلبوا علما يسمّون به طلبة علم أصلا، ولا أخذوا العلم بطريق صحيح معتبرٍ، ورئيسهم وكبيرهم المخلف وإن كان قد عُرف بطلب العلم والتكلم في العلم منذ مدة، إلا أن العلماء وطلبة العلم يعرفون نقصه وعجبه وغروره ومجازفاته وتنطعاته وتحكّمه وخروجه عن أصول العلم، وضعفه في عربيته وفهمه للغة القرآن، ويعرفون أن لم يتلقَ العلم على مشايخ معروفين متقنين، وإنما عمدته على قراءة الكتب، دون أن يكون له تأسيس جيد يمنعه عن الشطط، أو تاريخ حسنٌ في الاعتدال والاستداد وكثرة الإصابة في العلم، واسألوا عنه أهل المعرفة ممن عرفوه وسمعوا له أو قرأوا.. وأما العامة والجهلة من المسلمين فلا يعرفون مقامات الناس في العلم.!


فهذا كبيرهم ورئيسهم ومفتيهم ومعلمهم الضلال، فكيف بالصغار الأتباع، إنهم عبارة عن ظلمات بعضها فوق بعض من الجهالات والعمايات وقلة المعرفة وفقد البصيرة، فضلا عن سائر الأمراض الظاهرة فيهم لمن عرف حالهم.

About

Here you can share some biographical information next to your profile photo. Let your readers know your interests and accomplishments.