__________________________________
Sebetulnya ini bukan masalah aqidah, tapi masalah fiqh, perbedaan pendapat dari sejak 2 H.
Dalil mazhab Imam Abu Hadifah ( kafir beda dengan musyrik) :
QS. Al Bayyinan ayat 1 + Argumentasi dari sisi bahasa
QS. Al Bayyinan ayat 1 + Argumentasi dari sisi bahasa
Ibnu Hazm mengomentari perbedaan itu :
Andai tidak ada selain ayat ini (Al Bayyinah ayat 1) yg membahas masalah ini, maka menang Namun ada ayat-ayat lain yang intinya musyrik sama dengan kafir ada 3 ayat yang menunjukan syirik yg nyata tentang yahudi dan nasrani.
Dalam alqur'an, syirik dan kafir adalah 2 istilah untuk 1 perbuatan/makna, meski disebutkan terpisah dalam 1 ayat.
Maka gugurlah yang beragumen dgn ayat itu bahwa kafir beda dengan musyrik
Tentang argumen dari sisi bahasa (syarik=sekutu), Sanggahannya bahwa penamaan itu hak Alloh, bukan selain Alloh.
Dalil yang dipakai Imam Asy syafi'I (musyrik=kafir) :
Alloh menyebukan orang musyrik sbg orang kafir, padahal belum datang hujjah :
QS. At Taubah ayat 17,37 ____ QS. Ar Ra'du13 ayat 14 ____ QS. Al Mu'minun 117
QS. At Taubah ayat 17,37 ____ QS. Ar Ra'du13 ayat 14 ____ QS. Al Mu'minun 117
Ayat bahwa orang tdk disebut kafir, tapi musyrik padahal telah datang hujjah :
QS. At Taubah 36___QS. Al Fath 6
QS. At Taubah 36___QS. Al Fath 6
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
b. Masalah membeda-bedakan antara
kufur dan syirik
Seperti yang dikatakan oleh Abu
Maryam Al-Mukhlif. Sebab perkara ini ada uraian rincinya. Semoga Allah dengan
daya dan kekuatan-Nya memudahkan kita untuk menjelaskannya dalam kesempatan
lain.
Dalam risalah ini beliau tidak membahhas
secara langsung masala kufur dan syirik, tapi secara sekilas beliau telah
memberi isyarat bawa diantara yang membahas masalah ini adalah Imam Ibnu Hazm
al Andalusi dalam kitab beliau Al Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal.
Bagi yang sudah mempelajari kitab Al
Khaqaid fii Tauhid maka akan memahami
madzhab Abu Maryam al Mukhlif tentang masalah tafrik bainal kufri wa
syirki, membeda-bedakan antara kufur dengan syirik. Dan menurut mereka, hal ini
merupakan bagian dari inti tauhid. Namun memang selain dia, Syaikh ‘Ali al
Khudzairpun memiliki pendapat serupa dan Allahu’alam mungkin beberapa ulama
lain, terutama ulama dakwah nejed pada masa-masa belakangan. Dari
risalah-risalah, fatwa-fatwa mereka memang membedakan antara kufur dan syirik,
antara kafir dan musyrik. Kalau menurut mereka orang beda dalam masalah kufur
atau syirik itu adalah dari sisi hujjah dan hukumnya. Kalau dari sisi nama,
hujjah, kalau orang berbuat syirik dan sebelum datang kepada dia hujjah maka
namanya musyrik, tapi jika sudah datang maka namanya kafir-musyrik, dan jika
awalnyya muslim dan lalu melakukan syirik maka namanya kafir-syirik-murtad. Itu
definisi mereka, yang mereka jadikan pembahasan itu sebagai inti tauhid, jika
belum bisa membedakan mana musyrik dan mana kafir, mana syirik mana kufur maka
dianggap belum faham tauhid. Itu kesimpulan dari fatwa-fatwa ulama dakwah Nejd
dan mereka kuatkan dengan beberapa ayat dan hadits.
Bagaimanakah sebenarnyya tentang hal
tersebut dalam Islam? Apakah permasalahan tersebut memang masuk dalam masalah
tauhid atau sebenarnya masuk dalam masalah hukum? Pelajaran iiman, aqidah,
tauhid, atau sebenarnyya pelajaran fiqih? Apakah ini ijma’ atau sebenarnya
ikhtilaf, yang bukan hanya dikenal bukan hanya di zaman ulama dakwah Nejed atau
Ibnu Taimiyah yang hidup di tahun 8H. Namun ternyata sudah dikenal di kalangan
salaf sebagai masalahh fiqih yang mereka ikhtilafkan.
Dalam hal ini Ibnu Hazm al Andalusi adz
Dzahiri dalam kitab Al Fishal fil Milal wal Ahwa’ wa Nihal Juz 3, beliau
menyatakan : “Dan manusia (para ulama) berbeda pendapat tentang kufur dan
syirik. Satu golongan berpendapat bahwa itu dua nama untuk 2 makna
sendiri-sendiri, setiap bentuk syirik adalah kekufuran, tapi tidak setiap
kekufuran itu syirik. Dan ulama-ulama itu mengatakan tidak ada syirik kecuali
orang yang menyatakan bahwa Allah memiliki sekutu dan Yahudi-Nashari itu orang
kafir, bukan musyrik. Semntara agama-agama lain selain 2 itu, mereka
kafir-musyrik. Dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan selainnya.”
Ibnu Hazm menyatakan, sejak zaman abad
k-2H pun sudah ada ulama fiqih berpendapat bbahwa syirik dan kufur itu 2 hal
yang berbeda. Daan disitu tidak disebutkan ulama selainnya, tapi kmungkinan
besar adalah para ulama Kuffah, Iraq, yang pada zaman itu memang cenderung
dalam kalangan madzhab pada masa itu disebut Madrasah Ahlul Ra’yi.
Kemudian Imam Ibnu Hazm mengatakan lagi,
“Dan sekelompok ulama lainnya berpendapat kufur dan syirik itu sama saja, tidak
ada bedanya. Setiap orang kafir adalah musyrik, dan setiap orang musyrik adalah
kafir. Dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan lainnya.” Tidak disebutkan ‘lainnya’, tapi pada masa
itu Imam Syafi’i mewakili Madrasah Ahlul Hadits, madzhab Ahlul Hadits. Artinya
berarti sejak abad 2H, ikhtilaf seperti ini sudah ada, bukan masalhh aqidah
tapi ini masalah fiqih. Dan dari zaman itu sampai mungkin zaman abad 7-8H tidak
kita dengar di kalangan para ulama ada orang cekcok, menganggap ini inti
tauhid, pelajaran yang sangat baru. Padahal bukan hal baru, dikalangan salaf
seperti Imam Syafi’i dan Abu Hanifah saja sudah berpeda pendapat seperti itu.
Dan kita tahu bahwa Imam Syafi’i wafat tahun 204 dan pernah ke Baghdad 2-3 kali
dan tidak langsung bertemu dengan Abu Hanifah tapi dengan 2 murid senior
beliau, Muhammad bin Hasan asy Syaibani dan Khadhi Abu Yusuf, dan terjadi
dialog yang lama, tukar-menukar fikiran. Artinya ada kemungkinan juga bahwa
pendapatnya Imam Abu Hanifah itu sebelum kedatangan Imam Syafi’i ke Iraq
mengingat bahwa meninggalnya Imam Abu Hanifah itu sebelum datangnya Imam Syafi’i
ke Iraq. Sementara kita tahu Imam Abbu Hanifahh itu kuat di bidanng ijtihad
dengan ra’yun/ kias, tapi lemah di bidang hadits. Banyak sekali hadits shahih
yang tidak sampai kepada Imam Abu Hanifah. Bahkan Imam Ahmad binn Hambal sendiri
mengakui bahhwa sebelum datangnya Imam Syafi’i ke Iraq, orang iraq itu nyaris
tidak tahhu ilmu ushul fiqih, baagaimana cara memadukan mutlak dan muqayyad,
‘aam, khas, dsb. Sampai Imam Ahhmad menyatakan, “Hampir-hampir ilmu fiqih itu
tergembok sampai akhirnya Allah membukanya dengan kunci yang namanya ‘Imam
Syafi’i’.” Itulah pengakuan Imam Ahmad yang mana beliau kuat di bidang hadits.
Biasanya para ulama yang di sini Imam
Ibnu Hazm menyebutkan “Kelommpok pertama yang membedakan, mereka berdalil dengan
firman Allah QS. Al Bayyinah ayat pertama, “orang-orang kafir Yakni ahli kitab
dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan
(agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata/ seorang rasul.” Dalam
hhal ini mereka menyatakan “Dalam ayat ini Allah membedakan antara orang kafir
dengan orang musyrik”. Kemudian secara bahasa mereka berargumentasi syirik itu
diambil dari kata ‘syarik’ yang artinya sekutu/ kawan. Barangsiapa yang tidak
menjadikan bagi Allah sekutu maka dia bukan orang mmuusyrik. Lalu Imam Ibnu
Hazm mengatakan, “Inilah pokok dari argumentasi mereka, kami tidak mengetahui
selain dua argumen ini.” 2 argumen itu :
1.
Argumen ayat, dimana Allah membedakan bahwa ada orang
kafir yaitu ahli kitab dan ada orang musyrik.
2.
Argumen dari sisi bahasa, dimana syirik itu artinya
mengambil sekutu, berarti jika orang yang kekafirannya bukan karena membuat
sekutu bagi selain Allah berarti dia kafir saja, bukan musyrik
Itulah argumentasi Imam Abu Hanifah pada
abad 2H, yang belakangan argumen ini ditambah oleh paara ulama yang mendukung
mazhab ini, diantaranya Syaikh Ali Khudzair dalam kitabnya Al Khaqaiq fii
Tauhid.
Kemudian Imam Ibnu Hazm menanggapi,
pendapat mana yang benar antara Imam Syafi’i dengan Imam Abu Hanifah itu.
Beliau mengatakan “Adapun argumentasi mereka dengan ayat itu, seandainya dalam Al
Qur’an yang membahas perkara ini hanya
ayat ini maka tentulah hujjah mereka menang. Akan tetapi Allah yang menurunkan
ayat ini, Dia-lah juga yang berfirman di dalam QS. At Taubah.
“Mereka orang-orang Yahudi dan Nashrani
mengambil para ulama dan pendeta mereka sebagai tandingan-tandingan selain
Allah dan mereka menuhankan Al Masih bin Maryam, Sementara mereka tidak
diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Illah yang satu.”
Yahudi dan Nashrani yang tadi disebut
Imam Abu Hanifah bahwa mereka kafir saja, tidak musyrik, dimana dalam ayat ini
Allah nyatakan bahwa mereka musyrik, menjadikan para pendeta dan ulama mereka
sebagai tandingan selain Allah, juga menjadikann Al Masih putra Maryam sebagai
sekutu bagi Allah. Berarti orang Yahudi dan Nashrani pun bukan hanya kafir tapi
juga musyrik.
Allah juga berfirman dalam akhir QS. Al
Maidah, dimana di akhirat kelak, di padang Mahsyar Allah akan bertanya kepada
nabi Isa apakah dulu beliau mengatakan kepada umat beliau untuk mengambil
beliau dan ibu beliau sebagai Tuhan selain Allah. Dan Allah juga berfirman dalm
QS. Al Maidah juga,
“Sungguh telah kafirlah orang yang
menyatakan Allah adalah salah satu dari 3 Tuhan.”
Tiga ayat ini menunjukkan syirik yang
nyata/ tidak ada yang tersembunyi lagi, artinya tidak benar jika disebut
orang-orang Yahudi dan Nashrani itu kafir saja, namun juga musyrik. Dan dalam
ayat itu kenapa lafalnya bukan ‘laa qad asyraka’? karena lafal itu dengan ‘laa
qad kafara’ tidak ada bedanya.
Ibnu Hazm mengatakan lagi “kalau memang
sudah benar dalam Al Qur’an bahwa orang Yahudi dan Nashrani juga berbuat syirik
maka benarlah jika mereka juga orang-orang musyrikun. Dan syirik dan kufur itu
dua nama untuk satu perbuatan.”
Orang komunis tidak percaya ada Tuhan
dan tidak mau beribadah kepada-Nya namanya tetap musyrik karena dia menyembah
hawa nafsunya. “Apakah engkau tidak melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya”. Dan disebutkan oleh para ulama, pada banyak ayat pada
hakikatnya mereka itu menyembah setan karena setanlah yang menjerumuskan dia
untuk mengingkari adanya Allah. Maka dari itulah komunispun pada hakikatnya
musyrik.
“Jika memang perkaranya seperti itu,
yaitu tidak ada bedanya antara musyrik dan kafir maka ayat dalam QS. Al
Bayyinah tadi tidak ada bedanya dengan ayat dalm QS. An Nisa’ ayat 140, “Sesungguhnya
Allah akan mengumpulkan orang-orang munafiq dan orang-orang kafir di dalam
Jahanam selamanya”. Tidak ada seorang muslimpun yang berbeda pendapat bahwa
orang-orang munafiq itu juga orang-orang kafir.”
Kenapa Allah bedakan ‘al kaafiriin’
dengan ‘al munafiqiin’ padahal sama-sama kafirnya. Pada hakikatnya tidak ada
bedanya, munafiqin itu kafir, dua-duanya sama-sama kafirnya.
Ibnu Hazm memberikan contoh lain dalam
QS. Al Baqarah, “ Barang siapa menjadi musuh Allah, musuh para malaikatNya,
musuh para rasulNya, musuh Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah menjadi
musuh bagi orang-orang kafir.” Tidak ada seorang muslimpun yang mengkingkari
bahwa Jibril dan Mikail itu malaikat. Bukan berarti jika disebutkan tersendiri
dalam satu ayat maka mereka bukan golongan malaikat. Jika disebutkan musyrik,
kafir, ahli kitab tersendiri dalam satu ayat, bukan berarti beda.
Beliau beri contoh lain dalam QS. Ar
Rahman, “Di dalam surga itu ada buah-buahan, ada nakhl, delima.” Padahal baik
pisang, delima, dll itu buah-buahan. Dan disebutkan sendiri-sendiri bukan
berarti itu bukan buah-buahan.
Al Qur’an itu turun dengan bahasa Arab
dan orang Arab itu mempunyai kebiasaan mengulang sesuatu dengan menyebutkan
namanya secara khusus sekalipun sebelumnya sudah disebutkan secara global. Itu
untuk menegaskan permasalahannya, dan dalam pendapat lainnya seperti penyebutan
Jibril dan Mikail itu untuk penyebutan tasyrifan/ memuliakan. Maka gugurlah
argumentasi orang yang menjadikan ayat Allah tadi untuk argumentasi dalam
membedakan antara kufur dan syirik.
“Adapun argumentasi mereka secara bahasa
(syirik=syarik=sekutu) maka kami telah katakan bahwa penamaan itu adalah hak
Allah, bukan hak selain Allah. Allahh bebas mau mengggunakan satu nama untuk
sebutan apapun. Buktinya, jika ada seorang majikan mempunyai 2 budak dan diberi
1 pekerjaan berarti membuat 2 budak itu bersekutu mengerjakan sebuah pekerjaan.
Maka secara bahasa tidak bisa majikan itu disebut musyrik, menyekkutukan anak
buahnya dan juga tidak bisa majikan itu disebut syirik dan tidak boleh
dikatakan perbuatannya itu syirik. Maka benarlah bahwa lafal ‘syirik’ itu
adalahh lafal yang secara bahasa artinya memang seperti itu tapi sudah
dipindahkan ke makna yang baru dalam syariat. Dan sebagaimana juga lafal
‘kafir’ (kafir=menutupi).” Bukan berarti setiap orang yang menutup sesuatu itu
dikatakan kafir.
“Yang mengherankan sekali dari ulama
yang memegang pendapat ini mengatakan bahwa orang Yahudi dan Nashrani bukan
orang musyrik, sementara kesyirikan orang Nashrani itu sudah sangat terang,
terkenal. Karena semua orang Nashrani mengatakan bahwa beribadah, menyembah,
menganut Trinitas dan mereka meyakini Al Masih itu tuhan yang benar. Dan para
ulama itu menjadikan para brahmana sebagi orang musyrik, semetara para brahmana
itu mengakui 1 illah saja. Konsekuensi pendapat para ulama itu adalah mereka
tidak akan mengadakan, menyebut orang yang di muka bumi ini ornag kafir kecuali
tidak mengakui adanya Allah.” Karena kalau orang berbuat syirik=musyrik, kalau
tidak berbuat musyrik=kafir, sementara hampir sebagian besar di dunia itu orang
melakukan syirik, bukan melakukan pengingkaran kepada Allah. Nanti yang disebut
kafir yang tidak peercaya Allah saja, padahal tidak seperti itu.
Inilah argumentasi yang dahulu pernah
diajukan oleh Imam Ibnu Hazm al Andalusi mengenai perbedaan yang terjadi pada
abad 2H. Dan jika kita baca kitab aqidah Ath Thahawi_Imam Abu Ja’far Ath
Thahawi, ulama fiqih dan hadits madzhab Abu Hanifah, beliau menyatakan bahwa
itu aqidahnya Imam Abu Hanifah dan 2 orang muridnya. Dan di dalam buku itu
tidak disebutkan tentang Imam Abu Hanifah membedakan antara kufur-syirik,
artinya pembahasana seperti itu masuknya dalam kitab fiqihnya Imam Abu Hanifah,
bukan kitab aqidah beliau. Artinya itu adalah pembahasan fiqih, bukan intinya
tauhid.
Kita lihat ringkasan beberapa dalil
bahwa pendapat Imam Syafi’i yang lebih benar dari pada pendapatnya Imam Abu
Hanifah :
a.
Dalil Al Qur’an bahwa Allah menyebutkan orang berbuat
syirik sebagai orang kafir, sekalipun belum tegak hujjah kepadanya, yaitu :
1.
QS. At Taubah ayat 17 : “Tidaklah pantas orang-orang
musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa
mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka
kekal di dalam neraka.”___Di sini Allah tidak menyebut ‘melakukan kesyirikan’,
tapi Allah sebut ‘melakukan kekafiran’. Padahal ayat ini asbabul nuzulnya ada
kaitannya dengan 2 ayat setelahnya, dimana orang-orang musyrik Quraisy merasa
lebih layak mengelola Masjidil Haram dari pada kaum muslimin. Mereka mengurus
Masjidil Haram sudah ratusan tahun sebelum datang Rasulullah. Dan yang mereka
kerjakan itu syirik, menyembah Latta, Uzza, dll, tapi Allah sebutkan ‘kekafiran’
bukan ‘kesyirikan’.
2.
QS. At Taubah ayat 37 : “Sesungguhnya mengundur-undurkan
bulan Haram itu adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir
dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan
mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan
bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang
diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang
buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”___Di
sini Allah tidak menyebutkan ‘musyrikin’, tapi ‘kafirin’, padahal perbuatan
orang musyrik Quraisy itu dalam mengundur-undur bulan Haram itu sudah mereka
kerjakan ratusan tahun sebelum lahirnya Rasulullah. Dalam ayat ini berbicara
tentang bulan yang haram yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Mereka orang-orang musyrik Quraisy tidak berani mengusik Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, dan Muharram, tapi kalau bulan Rajab berani. Misalkan tahun ini mau
berperang, sementara pada bulan Rajab tidak boleh berperang maka mereka tunda
bulan Rajjab untuk diundur agar mereka bisa berperang.
3.
QS. Ar Ra’d (13) ayat 14 : “Hanya bagi Allah-lah (hak
mengabulkan) doa yang benar. dan berhala-berhala yang mereka sembah selain
Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti
orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke
mulutnya, Padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya, dan doa (ibadat)
orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.”___Allah sebutkan di sini,
orang-orang yang berdoa, menyembah kepada selain Allah, artinya mereka syirik.
Tapi Allah tidak menyebutnya ‘musyrikin’. Tidak dibahas apakah sudah atau belum
datang hujjah.
4.
QS. Al Mu’minun (23) ayat 117 : ‘Dan barangsiapa
menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, Padahal tidak ada suatu dalilpun
baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”___Allah tidak
menyebutkan ‘musyrikun’ dalam ayat ini padahal berbicara tentang syirik.
b.
Dalil ayat-ayat Al Qur’an bahwa orang berbuat kesyirikan
dan disebut musyrik, bukan kafir, padahal telah datang kepadanya hujjah, yaitu
:
1.
QS. At Taubah ayat 36 : “Sesungguhnya bilangan bulan pada
sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[640]. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.”___Kita tahu bahwa dalam surat ini perintah untuk
memerangi seluruh orang musyrik dan kafir ini turunnya setelah fase terakhir
dari fase jihad. Dan turun tahun 9H pada bulan Dzulhijjah, dimana tahun 9H ini
dalam sehjarahnya disepakati oleh para ulama sebagai ‘Tahun Para Utusan’,
dimana bangsa-bangsa Arab semua mengirim utusannya ke kota Madinah untuk
menyatakan masuk Islam. Jika orang yang berbuat musyrik itu syirik sebelum datangnya
hujjah saja, sementara yang sudah datang hujjah disebut kafir berarti jika
menurut ayat ini orang yang sudah datang hujjah tidak boleh diperangi.
Sementara yang belum datang hujjah malah diperangi. Padahal maksud ‘perangilah
kaum musyrikin itu semuanya’ dalam ayat ini ya orang kafir semuanya dan tidak
boleh diperangi jika belum disampaikan kepadanya dakwah Islam. Artinya ini
orang musyrik kita sampaikan kepadanya dakwah Islam dan kita perangi dia. Ini
orang musyrik dan sudah datang hujjah kepadanya tapi Allah sebut musyrik.
Artinya musyrik dan kafir itu sama saja, jika kita menyatakan sebagaimana para
ulama dakwah Nejed bahwa kita tidak mengkafirkan mereka tapi cuma bilang mereka
musyrik itu sebenarnya juga sama saja, sebagaimana dalam Al Qur’an pun juga
seperti itu.
2.
QS. Al Fath (48) ayat 6 : “Dan supaya Dia mengazab
orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan
perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. mereka akan
mendapat giliran (kebinasaan) yang Amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk
mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. dan (neraka Jahannam)
Itulah sejahat-jahat tempat kembali.”___QS. Fath adalah surat yang turun satu
surat penuh 29 ayat sekali turun, yang mana turunnya setelah perjanjian
Hudaibiyyah tahun 6H. Kita lihat rangkaian pada ayat pertama, “Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu wahai Muhammad kemenangan yang nyata.” Pendapat
yang paling kuat maksudnya itu adalah perjanjian Hudaibiyyah, sementara
pendapat sebagian ulama menyatakan Fathul Mekah, dan ada sebagian lagi Fathul
Khaibar. Artinya ini zaman ketika dakwah Islam sudah sampai kemana-mana. Dan
jika kita ikuti pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa itu maksudnya
perjanjian Hudaibiyyah, kita tahu setelah perjanjian Hudaibiyyah bahwa
Rasulullah mengirimkan surat dakwah sampai ke Kaisar Romawi, Persia, Habasyah,
Mesir, Yaman, Bahrain, dsb. Artinya bahwa dakwah Islam sudah mencapai keluar
wilayah Jazirah Arab, tapi Allah nyatakan bahwa salah satu hikmah perjanjian
Hudaibiyyah itu selain memberikan petunjuk kepada kaum mu’minin juga agar Allah
mengazab orang munafiq laki-laki ataupun perempuan, musyrik laki-laki maupun
perempuan. Padahal menurut mereka yang membedakan 2 istilah itu bahwa tidak
akan datang azab kecuali jika sudah datang kepada mereka hujjah (orang kafir).
Namun dalam ayat ini Allah memakai lafalnya bukan ‘kaafirin wal kaafirat’, tapi
‘musyrikin wal musyrikat’. Artinya kadang orang yang sudah datang hujjah pun
Allah kadang menyebutkan ‘musyrikin wal musyrikat’, tidak mesti ‘kaafirin wal
kaafirat’, bahkan di dalam Al Qur’an tidak ada lafal ‘kaafirin wal kaafirat’.
Allahu’alam.
Ini belum dihitung lagi jika berbicara masalah umpamanya “Allah
mengumpulkan orang-orang munafik dan kafir semuanya di neraka Jahanam”. Jika
disebutkan di situ ‘kaafirin’, lalu bagaimana orang-orang musyrikin? Apakah tidak
masuk di situ? Jadi, tidak disebutnya musyrikin di situ bukan berarti musyrikin
tidak masuk neraka. Maka samalah musyrikin dan kafirin itu.
Inilah, dalam ayat Al Qur’an seperti itu, dan jika kita
lihat dalam hadits-hadits yang shahih bahwa Rasulullah juga memakai kata ‘musyrikin’
untuk orang-orang yang telah sampai kepadanya hujjah. Contohnya :
-
Dalam Shahih Bukhari-Muslim, hadits “Akhrijul musyrikiina
min jaziratil ‘arab”. Hadits ini banyak sekali dalam Shahih Bukhari disebutkan,
diulang sampai 7 kali lebih. Di dalam Shahih Bukhari-Muslim dijelaskan bahwa
hadits ini disabdakan ooleh Rasulullah
hari Kamis, 5 hari sebelum beliau wafat pada 12 Rabi’ul Awal. Dan ini termasuk
sabda terakhir sebelum beliau meninggal, “Usirlah orang-orang musyrik dari
Jazirah Arab”. Padahal semua orang musyrik di Jazirah Arab sudah sampai dakwah,
tegak hujjah kepada mereka. Dalam lafal lainnya, “Aku benar-benar akan mengusir
Yahudi dan Nashrani dari Jazirah Arab”. Padahal kita tahu Yahudi dan Nashrani
di sini ya orang-orang musyrikin yang
disebutkan pada lafal hadits sebelumnya. “Sampai aku tidak menyisakan di Jazirah
Arab kecuali seorang muslim.” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, dan Ahmad.
-
Hadits dalam riwayat lainnya, “Tidak boleh berkumpul 2
agama di Jazirah Arab.” Hanya boleh ada 1 agama yaitu Islam, selain Islam
seperti Nashrani, Yahudi, penyembah berhala itu semua dianggap 1 din karena di
dunia ini hanya ada 2 agama, jika tidak Islam ya non-Islam. “Kekufuran itu satu
aliran”, mau namanya Yahudi, Nashrani, musyrik, komunis, atau lainnya namanya
Dinul Kufri.
Dengan keterangan ini maka bisa kita pahami, ketika sebagian
ulama pada masa belakangan yang mungkin dimulai pada zaman ulama dakwah Nejd,
ketika mereka bilang bahwa mereka tidak mengkafirkan, tapi hanya bilang bahwa
orang itu musyrik, itu bagi sebagian ulama menanggapinya itu sama saja
mengkafirkan, tidak ada bedanya, karena Al Qur’an dan Assunnah juga menyebutkan
seperti itu.
Allahu’alam..
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Teks Arab :
مسألة التفريق بين الكفر والشرك (على النحو الذي يقوله المخلف)، لأن المسألة فيها تفصيل لعل الله تعالى ييسر توضيحه في موضع آخر بحوله وقوته.