#25_Antara Kufur dan Syirik


__________________________________


Sebetulnya ini bukan masalah aqidah, tapi masalah fiqh, perbedaan pendapat dari sejak 2 H.

Dalil mazhab Imam Abu Hadifah ( kafir beda dengan musyrik) :
QS. Al Bayyinan ayat 1 + Argumentasi dari sisi bahasa

Ibnu Hazm mengomentari perbedaan itu :
Andai tidak ada selain ayat ini (Al Bayyinah ayat 1) yg membahas masalah ini, maka menang Namun ada ayat-ayat lain yang intinya musyrik sama dengan kafir ada 3 ayat yang menunjukan syirik yg nyata tentang yahudi dan nasrani.

Dalam alqur'an, syirik dan kafir adalah 2 istilah untuk 1 perbuatan/makna, meski disebutkan terpisah dalam 1 ayat.

Maka gugurlah yang beragumen dgn ayat itu bahwa kafir beda dengan musyrik

Tentang argumen dari sisi bahasa (syarik=sekutu), Sanggahannya bahwa penamaan itu hak Alloh, bukan selain Alloh. 

Dalil yang dipakai Imam Asy syafi'I (musyrik=kafir) :

Alloh menyebukan orang musyrik sbg orang kafir, padahal belum datang hujjah :
QS. At Taubah ayat 17,37 ____ QS. Ar Ra'du13 ayat 14 ____ QS. Al Mu'minun 117

Ayat bahwa orang tdk disebut kafir, tapi musyrik padahal  telah datang hujjah :
QS. At Taubah 36___QS. Al Fath 6

::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

b. Masalah membeda-bedakan antara kufur dan syirik

Seperti yang dikatakan oleh Abu Maryam Al-Mukhlif. Sebab perkara ini ada uraian rincinya. Semoga Allah dengan daya dan kekuatan-Nya memudahkan kita untuk menjelaskannya dalam kesempatan lain.

Dalam risalah ini beliau tidak membahhas secara langsung masala kufur dan syirik, tapi secara sekilas beliau telah memberi isyarat bawa diantara yang membahas masalah ini adalah Imam Ibnu Hazm al Andalusi dalam kitab beliau Al Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal.

Bagi yang sudah mempelajari kitab Al Khaqaid fii Tauhid maka akan memahami  madzhab Abu Maryam al Mukhlif tentang masalah tafrik bainal kufri wa syirki, membeda-bedakan antara kufur dengan syirik. Dan menurut mereka, hal ini merupakan bagian dari inti tauhid. Namun memang selain dia, Syaikh ‘Ali al Khudzairpun memiliki pendapat serupa dan Allahu’alam mungkin beberapa ulama lain, terutama ulama dakwah nejed pada masa-masa belakangan. Dari risalah-risalah, fatwa-fatwa mereka memang membedakan antara kufur dan syirik, antara kafir dan musyrik. Kalau menurut mereka orang beda dalam masalah kufur atau syirik itu adalah dari sisi hujjah dan hukumnya. Kalau dari sisi nama, hujjah, kalau orang berbuat syirik dan sebelum datang kepada dia hujjah maka namanya musyrik, tapi jika sudah datang maka namanya kafir-musyrik, dan jika awalnyya muslim dan lalu melakukan syirik maka namanya kafir-syirik-murtad. Itu definisi mereka, yang mereka jadikan pembahasan itu sebagai inti tauhid, jika belum bisa membedakan mana musyrik dan mana kafir, mana syirik mana kufur maka dianggap belum faham tauhid. Itu kesimpulan dari fatwa-fatwa ulama dakwah Nejd dan mereka kuatkan dengan beberapa ayat dan hadits.

Bagaimanakah sebenarnyya tentang hal tersebut dalam Islam? Apakah permasalahan tersebut memang masuk dalam masalah tauhid atau sebenarnya masuk dalam masalah hukum? Pelajaran iiman, aqidah, tauhid, atau sebenarnyya pelajaran fiqih? Apakah ini ijma’ atau sebenarnya ikhtilaf, yang bukan hanya dikenal bukan hanya di zaman ulama dakwah Nejed atau Ibnu Taimiyah yang hidup di tahun 8H. Namun ternyata sudah dikenal di kalangan salaf sebagai masalahh fiqih yang mereka ikhtilafkan.

Dalam hal ini Ibnu Hazm al Andalusi adz Dzahiri dalam kitab Al Fishal fil Milal wal Ahwa’ wa Nihal Juz 3, beliau menyatakan : “Dan manusia (para ulama) berbeda pendapat tentang kufur dan syirik. Satu golongan berpendapat bahwa itu dua nama untuk 2 makna sendiri-sendiri, setiap bentuk syirik adalah kekufuran, tapi tidak setiap kekufuran itu syirik. Dan ulama-ulama itu mengatakan tidak ada syirik kecuali orang yang menyatakan bahwa Allah memiliki sekutu dan Yahudi-Nashari itu orang kafir, bukan musyrik. Semntara agama-agama lain selain 2 itu, mereka kafir-musyrik. Dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan selainnya.”

Ibnu Hazm menyatakan, sejak zaman abad k-2H pun sudah ada ulama fiqih berpendapat bbahwa syirik dan kufur itu 2 hal yang berbeda. Daan disitu tidak disebutkan ulama selainnya, tapi kmungkinan besar adalah para ulama Kuffah, Iraq, yang pada zaman itu memang cenderung dalam kalangan madzhab pada masa itu disebut Madrasah Ahlul Ra’yi.

Kemudian Imam Ibnu Hazm mengatakan lagi, “Dan sekelompok ulama lainnya berpendapat kufur dan syirik itu sama saja, tidak ada bedanya. Setiap orang kafir adalah musyrik, dan setiap orang musyrik adalah kafir. Dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan lainnya.”  Tidak disebutkan ‘lainnya’, tapi pada masa itu Imam Syafi’i mewakili Madrasah Ahlul Hadits, madzhab Ahlul Hadits. Artinya berarti sejak abad 2H, ikhtilaf seperti ini sudah ada, bukan masalhh aqidah tapi ini masalah fiqih. Dan dari zaman itu sampai mungkin zaman abad 7-8H tidak kita dengar di kalangan para ulama ada orang cekcok, menganggap ini inti tauhid, pelajaran yang sangat baru. Padahal bukan hal baru, dikalangan salaf seperti Imam Syafi’i dan Abu Hanifah saja sudah berpeda pendapat seperti itu. Dan kita tahu bahwa Imam Syafi’i wafat tahun 204 dan pernah ke Baghdad 2-3 kali dan tidak langsung bertemu dengan Abu Hanifah tapi dengan 2 murid senior beliau, Muhammad bin Hasan asy Syaibani dan Khadhi Abu Yusuf, dan terjadi dialog yang lama, tukar-menukar fikiran. Artinya ada kemungkinan juga bahwa pendapatnya Imam Abu Hanifah itu sebelum kedatangan Imam Syafi’i ke Iraq mengingat bahwa meninggalnya Imam Abu Hanifah itu sebelum datangnya Imam Syafi’i ke Iraq. Sementara kita tahu Imam Abbu Hanifahh itu kuat di bidanng ijtihad dengan ra’yun/ kias, tapi lemah di bidang hadits. Banyak sekali hadits shahih yang tidak sampai kepada Imam Abu Hanifah. Bahkan Imam Ahmad binn Hambal sendiri mengakui bahhwa sebelum datangnya Imam Syafi’i ke Iraq, orang iraq itu nyaris tidak tahhu ilmu ushul fiqih, baagaimana cara memadukan mutlak dan muqayyad, ‘aam, khas, dsb. Sampai Imam Ahhmad menyatakan, “Hampir-hampir ilmu fiqih itu tergembok sampai akhirnya Allah membukanya dengan kunci yang namanya ‘Imam Syafi’i’.” Itulah pengakuan Imam Ahmad yang mana beliau kuat di bidang hadits.

Biasanya para ulama yang di sini Imam Ibnu Hazm menyebutkan “Kelommpok pertama yang membedakan, mereka berdalil dengan firman Allah QS. Al Bayyinah ayat pertama, “orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata/ seorang rasul.” Dalam hhal ini mereka menyatakan “Dalam ayat ini Allah membedakan antara orang kafir dengan orang musyrik”. Kemudian secara bahasa mereka berargumentasi syirik itu diambil dari kata ‘syarik’ yang artinya sekutu/ kawan. Barangsiapa yang tidak menjadikan bagi Allah sekutu maka dia bukan orang mmuusyrik. Lalu Imam Ibnu Hazm mengatakan, “Inilah pokok dari argumentasi mereka, kami tidak mengetahui selain dua argumen ini.” 2 argumen itu :

1.      Argumen ayat, dimana Allah membedakan bahwa ada orang kafir yaitu ahli kitab dan ada orang musyrik.

2.      Argumen dari sisi bahasa, dimana syirik itu artinya mengambil sekutu, berarti jika orang yang kekafirannya bukan karena membuat sekutu bagi selain Allah berarti dia kafir saja, bukan musyrik
Itulah argumentasi Imam Abu Hanifah pada abad 2H, yang belakangan argumen ini ditambah oleh paara ulama yang mendukung mazhab ini, diantaranya Syaikh Ali Khudzair dalam kitabnya Al Khaqaiq fii Tauhid.

Kemudian Imam Ibnu Hazm menanggapi, pendapat mana yang benar antara Imam Syafi’i dengan Imam Abu Hanifah itu. Beliau mengatakan “Adapun argumentasi mereka dengan ayat itu, seandainya dalam Al Qur’an  yang membahas perkara ini hanya ayat ini maka tentulah hujjah mereka menang. Akan tetapi Allah yang menurunkan ayat ini, Dia-lah juga yang berfirman di dalam QS. At Taubah.
“Mereka orang-orang Yahudi dan Nashrani mengambil para ulama dan pendeta mereka sebagai tandingan-tandingan selain Allah dan mereka menuhankan Al Masih bin Maryam, Sementara mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Illah yang satu.”

Yahudi dan Nashrani yang tadi disebut Imam Abu Hanifah bahwa mereka kafir saja, tidak musyrik, dimana dalam ayat ini Allah nyatakan bahwa mereka musyrik, menjadikan para pendeta dan ulama mereka sebagai tandingan selain Allah, juga menjadikann Al Masih putra Maryam sebagai sekutu bagi Allah. Berarti orang Yahudi dan Nashrani pun bukan hanya kafir tapi juga musyrik.

Allah juga berfirman dalam akhir QS. Al Maidah, dimana di akhirat kelak, di padang Mahsyar Allah akan bertanya kepada nabi Isa apakah dulu beliau mengatakan kepada umat beliau untuk mengambil beliau dan ibu beliau sebagai Tuhan selain Allah. Dan Allah juga berfirman dalm QS. Al Maidah juga,

“Sungguh telah kafirlah orang yang menyatakan Allah adalah salah satu dari 3 Tuhan.”

Tiga ayat ini menunjukkan syirik yang nyata/ tidak ada yang tersembunyi lagi, artinya tidak benar jika disebut orang-orang Yahudi dan Nashrani itu kafir saja, namun juga musyrik. Dan dalam ayat itu kenapa lafalnya bukan ‘laa qad asyraka’? karena lafal itu dengan ‘laa qad kafara’ tidak ada bedanya.
Ibnu Hazm mengatakan lagi “kalau memang sudah benar dalam Al Qur’an bahwa orang Yahudi dan Nashrani juga berbuat syirik maka benarlah jika mereka juga orang-orang musyrikun. Dan syirik dan kufur itu dua nama untuk satu perbuatan.”

Orang komunis tidak percaya ada Tuhan dan tidak mau beribadah kepada-Nya namanya tetap musyrik karena dia menyembah hawa nafsunya. “Apakah engkau tidak melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya”. Dan disebutkan oleh para ulama, pada banyak ayat pada hakikatnya mereka itu menyembah setan karena setanlah yang menjerumuskan dia untuk mengingkari adanya Allah. Maka dari itulah komunispun pada hakikatnya musyrik.

“Jika memang perkaranya seperti itu, yaitu tidak ada bedanya antara musyrik dan kafir maka ayat dalam QS. Al Bayyinah tadi tidak ada bedanya dengan ayat dalm QS. An Nisa’ ayat 140, “Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafiq dan orang-orang kafir di dalam Jahanam selamanya”. Tidak ada seorang muslimpun yang berbeda pendapat bahwa orang-orang munafiq itu juga orang-orang kafir.”

Kenapa Allah bedakan ‘al kaafiriin’ dengan ‘al munafiqiin’ padahal sama-sama kafirnya. Pada hakikatnya tidak ada bedanya, munafiqin itu kafir, dua-duanya sama-sama kafirnya.

Ibnu Hazm memberikan contoh lain dalam QS. Al Baqarah, “ Barang siapa menjadi musuh Allah, musuh para malaikatNya, musuh para rasulNya, musuh Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah menjadi musuh bagi orang-orang kafir.” Tidak ada seorang muslimpun yang mengkingkari bahwa Jibril dan Mikail itu malaikat. Bukan berarti jika disebutkan tersendiri dalam satu ayat maka mereka bukan golongan malaikat. Jika disebutkan musyrik, kafir, ahli kitab tersendiri dalam satu ayat, bukan berarti beda.

Beliau beri contoh lain dalam QS. Ar Rahman, “Di dalam surga itu ada buah-buahan, ada nakhl, delima.” Padahal baik pisang, delima, dll itu buah-buahan. Dan disebutkan sendiri-sendiri bukan berarti itu bukan buah-buahan.

Al Qur’an itu turun dengan bahasa Arab dan orang Arab itu mempunyai kebiasaan mengulang sesuatu dengan menyebutkan namanya secara khusus sekalipun sebelumnya sudah disebutkan secara global. Itu untuk menegaskan permasalahannya, dan dalam pendapat lainnya seperti penyebutan Jibril dan Mikail itu untuk penyebutan tasyrifan/ memuliakan. Maka gugurlah argumentasi orang yang menjadikan ayat Allah tadi untuk argumentasi dalam membedakan antara kufur dan syirik.

“Adapun argumentasi mereka secara bahasa (syirik=syarik=sekutu) maka kami telah katakan bahwa penamaan itu adalah hak Allah, bukan hak selain Allah. Allahh bebas mau mengggunakan satu nama untuk sebutan apapun. Buktinya, jika ada seorang majikan mempunyai 2 budak dan diberi 1 pekerjaan berarti membuat 2 budak itu bersekutu mengerjakan sebuah pekerjaan. Maka secara bahasa tidak bisa majikan itu disebut musyrik, menyekkutukan anak buahnya dan juga tidak bisa majikan itu disebut syirik dan tidak boleh dikatakan perbuatannya itu syirik. Maka benarlah bahwa lafal ‘syirik’ itu adalahh lafal yang secara bahasa artinya memang seperti itu tapi sudah dipindahkan ke makna yang baru dalam syariat. Dan sebagaimana juga lafal ‘kafir’ (kafir=menutupi).” Bukan berarti setiap orang yang menutup sesuatu itu dikatakan kafir.

“Yang mengherankan sekali dari ulama yang memegang pendapat ini mengatakan bahwa orang Yahudi dan Nashrani bukan orang musyrik, sementara kesyirikan orang Nashrani itu sudah sangat terang, terkenal. Karena semua orang Nashrani mengatakan bahwa beribadah, menyembah, menganut Trinitas dan mereka meyakini Al Masih itu tuhan yang benar. Dan para ulama itu menjadikan para brahmana sebagi orang musyrik, semetara para brahmana itu mengakui 1 illah saja. Konsekuensi pendapat para ulama itu adalah mereka tidak akan mengadakan, menyebut orang yang di muka bumi ini ornag kafir kecuali tidak mengakui adanya Allah.” Karena kalau orang berbuat syirik=musyrik, kalau tidak berbuat musyrik=kafir, sementara hampir sebagian besar di dunia itu orang melakukan syirik, bukan melakukan pengingkaran kepada Allah. Nanti yang disebut kafir yang tidak peercaya Allah saja, padahal tidak seperti itu.

Inilah argumentasi yang dahulu pernah diajukan oleh Imam Ibnu Hazm al Andalusi mengenai perbedaan yang terjadi pada abad 2H. Dan jika kita baca kitab aqidah Ath Thahawi_Imam Abu Ja’far Ath Thahawi, ulama fiqih dan hadits madzhab Abu Hanifah, beliau menyatakan bahwa itu aqidahnya Imam Abu Hanifah dan 2 orang muridnya. Dan di dalam buku itu tidak disebutkan tentang Imam Abu Hanifah membedakan antara kufur-syirik, artinya pembahasana seperti itu masuknya dalam kitab fiqihnya Imam Abu Hanifah, bukan kitab aqidah beliau. Artinya itu adalah pembahasan fiqih, bukan intinya tauhid.

Kita lihat ringkasan beberapa dalil bahwa pendapat Imam Syafi’i yang lebih benar dari pada pendapatnya Imam Abu Hanifah :

a.      Dalil Al Qur’an bahwa Allah menyebutkan orang berbuat syirik sebagai orang kafir, sekalipun belum tegak hujjah kepadanya, yaitu :

1.      QS. At Taubah ayat 17 : “Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.”___Di sini Allah tidak menyebut ‘melakukan kesyirikan’, tapi Allah sebut ‘melakukan kekafiran’. Padahal ayat ini asbabul nuzulnya ada kaitannya dengan 2 ayat setelahnya, dimana orang-orang musyrik Quraisy merasa lebih layak mengelola Masjidil Haram dari pada kaum muslimin. Mereka mengurus Masjidil Haram sudah ratusan tahun sebelum datang Rasulullah. Dan yang mereka kerjakan itu syirik, menyembah Latta, Uzza, dll, tapi Allah sebutkan ‘kekafiran’ bukan ‘kesyirikan’.

2.      QS. At Taubah ayat 37 : “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”___Di sini Allah tidak menyebutkan ‘musyrikin’, tapi ‘kafirin’, padahal perbuatan orang musyrik Quraisy itu dalam mengundur-undur bulan Haram itu sudah mereka kerjakan ratusan tahun sebelum lahirnya Rasulullah. Dalam ayat ini berbicara tentang bulan yang haram yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Mereka orang-orang musyrik Quraisy tidak berani mengusik Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, tapi kalau bulan Rajab berani. Misalkan tahun ini mau berperang, sementara pada bulan Rajab tidak boleh berperang maka mereka tunda bulan Rajjab untuk diundur agar mereka bisa berperang.

3.      QS. Ar Ra’d (13) ayat 14 : “Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, Padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya, dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.”___Allah sebutkan di sini, orang-orang yang berdoa, menyembah kepada selain Allah, artinya mereka syirik. Tapi Allah tidak menyebutnya ‘musyrikin’. Tidak dibahas apakah sudah atau belum datang hujjah.

4.      QS. Al Mu’minun (23) ayat 117 : ‘Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, Padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”___Allah tidak menyebutkan ‘musyrikun’ dalam ayat ini padahal berbicara tentang syirik.

b.      Dalil ayat-ayat Al Qur’an bahwa orang berbuat kesyirikan dan disebut musyrik, bukan kafir, padahal telah datang kepadanya hujjah, yaitu :

1.      QS. At Taubah ayat 36 : “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[640]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”___Kita tahu bahwa dalam surat ini perintah untuk memerangi seluruh orang musyrik dan kafir ini turunnya setelah fase terakhir dari fase jihad. Dan turun tahun 9H pada bulan Dzulhijjah, dimana tahun 9H ini dalam sehjarahnya disepakati oleh para ulama sebagai ‘Tahun Para Utusan’, dimana bangsa-bangsa Arab semua mengirim utusannya ke kota Madinah untuk menyatakan masuk Islam. Jika orang yang berbuat musyrik itu syirik sebelum datangnya hujjah saja, sementara yang sudah datang hujjah disebut kafir berarti jika menurut ayat ini orang yang sudah datang hujjah tidak boleh diperangi. Sementara yang belum datang hujjah malah diperangi. Padahal maksud ‘perangilah kaum musyrikin itu semuanya’ dalam ayat ini ya orang kafir semuanya dan tidak boleh diperangi jika belum disampaikan kepadanya dakwah Islam. Artinya ini orang musyrik kita sampaikan kepadanya dakwah Islam dan kita perangi dia. Ini orang musyrik dan sudah datang hujjah kepadanya tapi Allah sebut musyrik. Artinya musyrik dan kafir itu sama saja, jika kita menyatakan sebagaimana para ulama dakwah Nejed bahwa kita tidak mengkafirkan mereka tapi cuma bilang mereka musyrik itu sebenarnya juga sama saja, sebagaimana dalam Al Qur’an pun juga seperti itu.

2.      QS. Al Fath (48) ayat 6 : “Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang Amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. dan (neraka Jahannam) Itulah sejahat-jahat tempat kembali.”___QS. Fath adalah surat yang turun satu surat penuh 29 ayat sekali turun, yang mana turunnya setelah perjanjian Hudaibiyyah tahun 6H. Kita lihat rangkaian pada ayat pertama, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu wahai Muhammad kemenangan yang nyata.” Pendapat yang paling kuat maksudnya itu adalah perjanjian Hudaibiyyah, sementara pendapat sebagian ulama menyatakan Fathul Mekah, dan ada sebagian lagi Fathul Khaibar. Artinya ini zaman ketika dakwah Islam sudah sampai kemana-mana. Dan jika kita ikuti pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa itu maksudnya perjanjian Hudaibiyyah, kita tahu setelah perjanjian Hudaibiyyah bahwa Rasulullah mengirimkan surat dakwah sampai ke Kaisar Romawi, Persia, Habasyah, Mesir, Yaman, Bahrain, dsb. Artinya bahwa dakwah Islam sudah mencapai keluar wilayah Jazirah Arab, tapi Allah nyatakan bahwa salah satu hikmah perjanjian Hudaibiyyah itu selain memberikan petunjuk kepada kaum mu’minin juga agar Allah mengazab orang munafiq laki-laki ataupun perempuan, musyrik laki-laki maupun perempuan. Padahal menurut mereka yang membedakan 2 istilah itu bahwa tidak akan datang azab kecuali jika sudah datang kepada mereka hujjah (orang kafir). Namun dalam ayat ini Allah memakai lafalnya bukan ‘kaafirin wal kaafirat’, tapi ‘musyrikin wal musyrikat’. Artinya kadang orang yang sudah datang hujjah pun Allah kadang menyebutkan ‘musyrikin wal musyrikat’, tidak mesti ‘kaafirin wal kaafirat’, bahkan di dalam Al Qur’an tidak ada lafal ‘kaafirin wal kaafirat’. Allahu’alam.

Ini belum dihitung lagi jika berbicara masalah umpamanya “Allah mengumpulkan orang-orang munafik dan kafir semuanya di neraka Jahanam”. Jika disebutkan di situ ‘kaafirin’, lalu bagaimana orang-orang musyrikin? Apakah tidak masuk di situ? Jadi, tidak disebutnya musyrikin di situ bukan berarti musyrikin tidak masuk neraka. Maka samalah musyrikin dan kafirin itu.

Inilah, dalam ayat Al Qur’an seperti itu, dan jika kita lihat dalam hadits-hadits yang shahih bahwa Rasulullah juga memakai kata ‘musyrikin’ untuk orang-orang yang telah sampai kepadanya hujjah. Contohnya :

-          Dalam Shahih Bukhari-Muslim, hadits “Akhrijul musyrikiina min jaziratil ‘arab”. Hadits ini banyak sekali dalam Shahih Bukhari disebutkan, diulang sampai 7 kali lebih. Di dalam Shahih Bukhari-Muslim dijelaskan bahwa hadits ini  disabdakan ooleh Rasulullah hari Kamis, 5 hari sebelum beliau wafat pada 12 Rabi’ul Awal. Dan ini termasuk sabda terakhir sebelum beliau meninggal, “Usirlah orang-orang musyrik dari Jazirah Arab”. Padahal semua orang musyrik di Jazirah Arab sudah sampai dakwah, tegak hujjah kepada mereka. Dalam lafal lainnya, “Aku benar-benar akan mengusir Yahudi dan Nashrani dari Jazirah Arab”. Padahal kita tahu Yahudi dan Nashrani di sini ya orang-orang musyrikin  yang disebutkan pada lafal hadits sebelumnya. “Sampai aku tidak menyisakan di Jazirah Arab kecuali seorang muslim.” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad.

-          Hadits dalam riwayat lainnya, “Tidak boleh berkumpul 2 agama di Jazirah Arab.” Hanya boleh ada 1 agama yaitu Islam, selain Islam seperti Nashrani, Yahudi, penyembah berhala itu semua dianggap 1 din karena di dunia ini hanya ada 2 agama, jika tidak Islam ya non-Islam. “Kekufuran itu satu aliran”, mau namanya Yahudi, Nashrani, musyrik, komunis, atau lainnya namanya Dinul Kufri.

Dengan keterangan ini maka bisa kita pahami, ketika sebagian ulama pada masa belakangan yang mungkin dimulai pada zaman ulama dakwah Nejd, ketika mereka bilang bahwa mereka tidak mengkafirkan, tapi hanya bilang bahwa orang itu musyrik, itu bagi sebagian ulama menanggapinya itu sama saja mengkafirkan, tidak ada bedanya, karena Al Qur’an dan Assunnah juga menyebutkan seperti itu.

Allahu’alam..

 ::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

  

Teks Arab :


Ÿ  مسألة التفريق بين الكفر والشرك
(على النحو الذي يقوله المخلف)، لأن المسألة فيها تفصيل لعل الله تعالى ييسر توضيحه في موضع آخر بحوله وقوته.

About

Here you can share some biographical information next to your profile photo. Let your readers know your interests and accomplishments.