#33_Siapakah Sejatinya Abu Maryam al Mukhlif? (2)


Download File Audio Kajian (.rm)

_______________________________

Hakekat siapakah Abu Mariam almukhlif

Tidak talaqi trhadap ulama

Membangga-banggakan diri bhw telah memahami Al Qur'an n sunnah dengan baik dan merasa tidak perlu lagi melihat syarah2 hadits/ ijma' para ulama2. Padhal sejatinya :

a. Ia taqlid kepada orang lain dan tidak melakukan tahqiq (penelitian yang cermat) dan banyak tamyiz (memilah yang benar dari yang salah).

b. Atau ia mengklaim sebuah pemahaman tersendiri dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. 

orang yang sok berlagak ulama lagi tertipu oleh kapasitas ilmunya sendiri, disebabkan oleh pemahamannya yang buruk dan boleh jadi karena rasa ujub (membangga-banggakan diri sendiri) dan ghurur (tertipu oleh kemampuannya sendiri). Ia menyangka telah menguasai sepenuhnya 

sering berdusta untuk menolong kepercayaannya

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Landasan pokok mereka dalam setiap ilmu mereka adalah menghafalkan teks-teks perkataan para ulama dakwah Nejed dan mendalaminya, juga kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam bab-bab tertentu, disertai kelemahan yang sangat jelas dalam seluruh ilmu lainnya dan ilmu-ilmu alat serta cara yang buruk dalam mempelajarinya!

Tentunya bab-bab yang biasa dibahas adalah bab syirik, ada udzur atau tidak, asma’ wal ahkam, dll. Bacanya kitab-kitab aqidah saja, terpisah dengan bab-bab lainnya. Misalnya membahas masalah takfir, yang dibaca kitab-kitab fatwa ulama Nejd atau Syaikul Islam Ibnu Taimiyah pada bab-bab aqidah yang bicaranya pada masalah perbuatan atau ucapannya, tetapi tidak mengaitkannya dengan proses qadha/ peradilannya. Bagaimana sebuah ucapan dan perbuatan itu ketika dilihat pelakunya seperti apa cara qadhi menghukuminya. Lemah pada seluruh bidang ilmu lainnya juga ilmu alatnya. Tahu dalil tapi tidak tahu bagaimana cara istimbat yang benar karena ushul fiqihnya lemah. Umpamanya berdalil dengan sangat mantap tapi ternyata hadits-haditsnya dha’if, atau shahih tapi ada hadits lain yang shahih yang secara lahiriah bertentangan, yang mana dalil-dalil itu seharusnya dikompromikan, dipadukan  satu dengan lainnya, dll.

Ilmunya juga dipelajari bukan dari para ulama langsung, tapi dibesarkan dari internet, facebook, baca-baca sendiri, tidak talaqi kepada para ulama.

Wahai saudara-saudaraku, ketahuilah bahwa Abu Maryam Al-Mukhlif berkoar-koar bahwa ia memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang baik, bahwa ia mengambil pelajaran dari keduanya secara langsung.

Tidak memerlukan perkataan ulama, tanpa perlu melihat penjelasan para ulama tafsir atau syarh-syarh hadits. Ada dalilnya, bisa bahasa Arab, baca ayat dan hadits lalu disimpulkan sendiri, tanpa melihat penjelasan para ulama bagaimana cara memahami dalil itu secara benar.

Dalam perkataannya, ia sering menyampaikan “bela sungkawa” terhadap para ulama yang menurutnya jauh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta berargumentasi dengan pendapat tokoh-tokoh. Dia anggap yang faham Al Qur’an dan sunnah adalah dia dan pengikutnya saja, padahal dia tidak tahu bahwa cara dia memahami ayat, dalil itu salah.

Maka janganlah ucapan-ucapan Abu Maryam Al-Mukhlif itu menggoncangkan kalian. Perkataannya bahwa yang faham AL Qur’an dan Sunnah hanya dia, “berdalil dan kembali kepada Al Qur’an dan Assunnah”, “kalau sudah ada dalil maka tidak perlu perkataan ulama lagi”, “dalil kok dilawan dengan perkataan ulama”. Sampai hampir-hampir turun dari langit hujan batu, maka jangan kita ‘sudah kena teror’ duluan. “Berdalil kok dengan syaikh ini-itu”, “dalil itu ya mana ayat dan haditsnya”. Hendaklah kita tidak takut, gentar dengan hal-hal yang seperti itu.

Karena ia hanyalah klaim-klaim yang setiap orang pun bisa melakukannya. Seperti “kita kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah”, “kita tidak taqlid kepada ulama”, “setiap masalah kita bangun di atas dalil syar’i yang jelas”. Klaim-klaim yang setiap orang juga bisa yang seperti itu. Sesungguhnya medan kepeloporan adalah dalam melakukan kajian yang cermat dalam ilmu, nampak bagusnya pemahaman dalam ilmu tersebut menurut ukuran para ulama, banyaknya kesesuaian dengan kebenaran dan berlaku lurus secara umum.

Itulah ukuran sebenarnya apakah dia orang hebat atau bukan, melakukan pengkajian yang cermat, teliti, hati-hati, pemahamannya yang baik diakui oleh para ulama, lebih banyak hasil kajiannya yang sesuai dengan kebenaran dari pada yang keliru, dan ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran, tepat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasulnya.

Padahal jika kalian mencermati niscaya kalian akan mendapati fakta bahwa dalam banyak perkara tersebut yang Abu Maryam Al-Mukhlif tersohor dengannya dan tersesat di dalamnya, sebenarnya Abu Maryam Al-Mukhlif berada di antara dua keadaan berikut ini:

a. Ia taqlid kepada orang lain dan mengikuti alur pendapat mereka tanpa melakukan tahqiq (penelitian yang cermat) dan banyak tamyiz (memilah yang benar dari yang salah, mana yang dhaif dan mana yang shahih).

b. Atau ia mengklaim sebuah pemahaman tersendiri dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya: ia mengklaim perbedaan antara kekafiran dan kesyirikan. Pemahaman yang baru yang mana mereka klaim pada abad-abad sebelumnya belum dikenal oleh para ulama, atau permasalahan yang pada zaman dulu dianggap ikhtilaf tapi sekarang dianggap ushul tauhid, minimalnya orang yang berbeda mereka sebut pendapat dhalun mudhil_sesat menyesatkan, ahlul ahwa wal bida’. Berargumen dengan ayat Sesungguhnya Allah tidak mengampuni jika ia disekutukan dengan selain-Nya untuk menyatakan tiadanya udzur kebodohan, dan contoh-tontoh lainnya yang dengan izin Allah Ta’ala akan kami patahkan pada tempatnya yang tepat. Allahu’alam apakah Syaikh ‘Athiyatullah menulis bantahan khusus yang belum dipublikasikan, atau belum sempat menulis. Kita tahu beliau memimpin Al Qaidah dalam kondisi sulit-sulitnya, dalam kondisi pengejaran oleh musuh terhadap para pimpinan Al Qaidah. Mungkin sangat wajar jika beliau belum sempat menyelesaikan niat beliau itu.

Jika diteliti dengan cermat, Abu Maryam Al-Mukhlif adalah orang yang sok berlagak ulama lagi tertipu oleh kapasitas ilmunya sendiri, disebabkan oleh pemahamannya yang buruk dan boleh jadi karena rasa ujub (membangga-banggakan diri sendiri) dan ghurur (tertipu oleh kemampuannya sendiri). Ia menyangka telah menguasai sepenuhnya pemahaman dan pengetahuan atas berbagai hakekat kebenaran!

Penting untuk mengetahui jati dirinya agar kita bisa menilainya. Tentu jika yang menilainya orang awam seperti kita dengan ulama, tentu cara menilainya akan berbeda. Jika ada orang bodoh sok pinter ngaku ulama, tentu orang bodoh tidak akan tahu karena orang bodoh belum pernah jadi orang pinter, tapi kalau ulama dia akan bisa menilai apakah dia itu ulama betulan, sok ulama, atau sebetulnya orang awam. Karena memang ulama pernah ‘bodoh’, mengalami fase itu.

Adapun mengenai kedustaan, sesungguhnya Abu Maryam Al-Mukhlif telah sering berdusta untuk menolong kepercayaannya yang sesat dan diada-adakan tersebut. Ia berdusta saat mengklaim bahwa para ulama telah bersepakat atas tiadanya udzur kebodohan dalam perkara pokok agama (ashlud dien), atau seperti yang ia katakan “dalam perkara syirik akbar”. Padahal sebenarnya tidak ada ijma’ yang shahih menurut penelitian yang cermat. Mari kita beri waktu satu tahun kepada Abu Maryam Al-Mukhlif jika ia mampu untuk mendatangkan ijma’ yang sharih (tegas) lagi selamat dari kecacatan dalam perkara ini yang membuat seluruh ulama harus menerima ijma’ (yang shahih, sharih dan selamat dari cacat) tersebut!

Allahu’alam, mungkin sejak risalah ini ditulis(1428H) sampai tahun ini (1434H), 6 tahun 1 bulan dan belum ada beritanya bahwa Abu Maryam al Mukhlif mampu membuktikan klaim ijma’ yang dia sebutkan. Jika dia berdalil dengan perkataan ulama dakwah Nejd yang generasi belakangan, maka dengan mudah orang lain akan mementahkan argumentasi dia. Putranya syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab sendiri dengan tegas berpendapat bahwa ada udzur ketika beliau berbicara tentang Ibnu Hajar al Haitami. Beliau, Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab jelas dengan para ulama dakwah Nejd yang menyatakan tidak tercapainya ijma’ dalam perkara tidak adanya udzur bil jahl dalam syirik akbar itu bedanya 3-4 generasi. Dimana yang menyatakan seperti itu adalah ulama-ulama belakangannya, Syaikh ‘Abdul Latif bin ‘abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab beserta murid-murid beliau seperti Syaikh Sulaiman bin San’an, ‘Abdullah Sulaiman bin Sahman, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Abu Bute. Yang mereka itu adalah ulama-ulama yang hidupnya 100-150 tahun setelah Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Dengan pendahulunya saja beda, bagaimana dengan orang belakangan yang mengklaim ijma’, sama saja dia menyalahkan nenek moyangnya.

Hendaklah orang jeli memperhatikan, seandainya perkara ini sudah mencapai taraf qath’i dan ijma’ serta ma’lum (dikenal luas oleh seluruh kaum awam umat Islam dan para ulamanya sebagai bagian dari ajaran Islam); kenapa dari hari ke hari perpustakaan Islam senantiasa dibanjiri oleh buku-buku, bahasan-bahasan dan kajian-kajian dalam masalah ini? Hari ini terbit buku yang menerangkan ada ijma’ tentang tidak adanya udzur, besoknya lagi terbit buku bahwa ada ‘ijma tetang adanya udzur. Yang satu bilang ini Syaihul Islam Ibnu Taimiyah ini tidak ada udzur, besoknya lagi ada buku bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah ada udzur. Nanti satunya mengeluarkan tulisan bahwa Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab tidak ada udzur, besoknya ada lagi risalah menyatakan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab ada udzur. Hari demi hari bermunculan terus, jika memang sudah ijma’ maka tidak akan boleh buku-buku itu ada. Tapi ternyata buku-buku itu keluar terus, dalil-demi dalil terjadi diskusi yang seru.

Apa pula artinya perbedaan pendapat dalam perkara ini di antara para ulama senior yang dikenal luas dengan ketekunannya dalam melakukan penelitian dan kajian?

Di Arab Saudi saja misalnya, seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz berpendapat bahwa sama sekali tidak ada udzur bil jahl dalam masalah syirik akbar, nanti Syaikh ‘Utsaimin berpendapat ada. Nanti dewan ulama Audi berpendapat tidak ada udzur, tapi nanti ada yang sama-sama anggotanya berpendapat ada udzur seperti Syaikh ‘Abdur Razaq al ‘Afifi. Tidak akan ada ijma’ yang sharih salim minal qath’i. Tidak akan ada!

Justru, sekiranya ada yang mengatakan bahwa ijma’ telah tercapai atas pendapat yang sebaliknya (berlakunya udzur kebodohan dalam syirik akbar), niscaya perkataan itulah yang lebih dekat kepada kebenaran. Kami sendiri tidak berani menyebutkan ijma’ dalam perkara ini!

Ijma’nya nanti disebutkan pada perkataan Imam Ibnu Hazm adz Dzahiri yang disebutkan setelah ini. Ulama yang meninggal pada tahun 546H, artinya ulama abad 5H. Sementara sebagian ulama yang menyatakan bahwa tidak ada udzur itu adalah ulama yang hidupnya pada abad 12-13H, 7 abad setelah meninggalnya Imam Ibnu Hazm. Barangkali dia belum baca buku-bukunya Imam Ibnu Hazm, apalagi di Nejd yang pada zaman itu belum ada percetakan buku secanggih sekarang. Peredaran buku-buku dari Andalusia tentu tidak menyebar luas di daerah Nejd. Apalagi Nejd pada waktu itu adalah daerah pedalaman, padang pasir yang jauh dari pusat-pusat dunia Islam. Orang-orang pada waktu itu mengenal dunia Islam pusatnya ilmu itu adalah Mekah dan Madinah pada zaman Daulah ‘Utsmaniyah itu. Kalau tidak di Mekah dan Madinah ya di Mesir atau Damaskus. Nejd belum terhitung pada masa itu.

Allahu’alam..




Teks Arab :


وعمدتهم في كل علمهم حفظ نصوص علماء الدعوة النجدية والاستغراق فيها، وفي كتب شيخ الإسلام ابن تيمية في أبواب معينة، مع ضعفٍ واضحٍ في سائر أبواب العلم وآلاته، وتشوّه في تلقّيه.!
واعلموا إخواني أن هذا المخلف يتبجّح بأنه يفهم القرآن والسنة حُسنَ الفهم، وأنه يعوّل عليهما مباشرة، ويكثر في كلامه النعي على أهل العلم البُعدَ عن القرآن والسنة والاستدلال بأقوال الرجال، فلا يهولنكم ذلك فإنما هي دعاوى الكلُ يحسِنُها، وإنما مجالُ السبق: التحقيق في العلم وظهورُ حسن الفهم فيه عند أهله وكثرةُ إصابة الحق والاستدادُ في الجملة.. مع أنكم لو تأمّلتم لوجدتم أنه في كثير من هذه المسائل التي اشتهر بها وضلّ فيها دائرٌ بين أمرين:
* إما مقلّد لغيره جارٍ مجراهم بدون تحقيق ولا كبير تمييز..!
*  أو مدّعٍ فهماً مستقلا في الكتاب والسنة (كما يدعيه في مسألة الفرق بين الكفر والشرك، وفي الاستدلال بآية إن الله لا يغفرُ أن يُشرَك به على عدم العذر بالجهل، ونحو ذلك مما سننقضه بإذن الله في موضعه المناسب)، وهو عند التحقيق متعالمٌ مغرورٌ، أتيَ من سوء فهمه وربما من عُجبه وغروره، ويظن أنه قد استولى على الفهم وإدراك الحقائق..!
وأما الكذب فالمخلف يكذب كثيرا لينصر دينه الضالّ الموضوع، فإنه يكذب في ادعاء أن العلماء مجمعون على عدم العذر بالجهل في أصل الدين أو يقول: "في باب الشرك الأكبر"، مع أنه ليس هناك إجماعٌ صحيح عند التحقيق، وهاكم أمهلوا المخلف عاماً إن قدر على أن يأتي بحكاية إجماع صريح سالم من القدح في هذا الباب يجبُ التسليم له عند أهل العلم.!
وليتأمل العاقلُ: لو كانت المسألة بهذا القطع والإجماعُ فيها معلوماً فما بال هذه الكتب والأبحاث والدراسات التي تتدفق على المكتبة الإسلامية يوما بعد يوم في هذه المسألة؟! وما بالُ هذا الاختلاف فيها بين العلماء الكبار المعروفين بالتحقيق؟!


بل لو قال قائل إن الإجماع محكيّ على خلافه لكان أقربَ، مع أننا لم نجرؤ على حكاية إجماع في المسألة.!

About

Here you can share some biographical information next to your profile photo. Let your readers know your interests and accomplishments.