Hakekat siapakah Abu Mariam almukhlif
Tidak talaqi trhadap ulama
Membangga-banggakan diri bhw telah memahami Al Qur'an n sunnah dengan baik dan merasa tidak perlu lagi melihat syarah2 hadits/ ijma' para ulama2. Padhal sejatinya :
a. Ia taqlid kepada orang lain dan tidak melakukan tahqiq (penelitian yang cermat) dan banyak tamyiz (memilah yang benar dari yang salah).
b. Atau ia mengklaim sebuah pemahaman tersendiri dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah.
orang yang sok berlagak ulama lagi tertipu oleh kapasitas ilmunya sendiri, disebabkan oleh pemahamannya yang buruk dan boleh jadi karena rasa ujub (membangga-banggakan diri sendiri) dan ghurur (tertipu oleh kemampuannya sendiri). Ia menyangka telah menguasai sepenuhnya
sering berdusta untuk menolong kepercayaannya
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Landasan pokok mereka dalam setiap
ilmu mereka adalah menghafalkan teks-teks perkataan para ulama dakwah Nejed dan
mendalaminya, juga kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam bab-bab
tertentu, disertai kelemahan yang sangat jelas dalam seluruh ilmu lainnya dan
ilmu-ilmu alat serta cara yang buruk dalam mempelajarinya!
Tentunya bab-bab yang biasa dibahas
adalah bab syirik, ada udzur atau tidak, asma’ wal ahkam, dll. Bacanya
kitab-kitab aqidah saja, terpisah dengan bab-bab lainnya. Misalnya membahas masalah
takfir, yang dibaca kitab-kitab fatwa ulama Nejd atau Syaikul Islam Ibnu
Taimiyah pada bab-bab aqidah yang bicaranya pada masalah perbuatan atau
ucapannya, tetapi tidak mengaitkannya dengan proses qadha/ peradilannya.
Bagaimana sebuah ucapan dan perbuatan itu ketika dilihat pelakunya seperti apa
cara qadhi menghukuminya. Lemah pada seluruh bidang ilmu lainnya juga ilmu
alatnya. Tahu dalil tapi tidak tahu bagaimana cara istimbat yang benar karena
ushul fiqihnya lemah. Umpamanya berdalil dengan sangat mantap tapi ternyata
hadits-haditsnya dha’if, atau shahih tapi ada hadits lain yang shahih yang
secara lahiriah bertentangan, yang mana dalil-dalil itu seharusnya
dikompromikan, dipadukan satu dengan
lainnya, dll.
Ilmunya juga dipelajari bukan dari para
ulama langsung, tapi dibesarkan dari internet, facebook, baca-baca sendiri,
tidak talaqi kepada para ulama.
Wahai saudara-saudaraku, ketahuilah
bahwa Abu Maryam Al-Mukhlif berkoar-koar bahwa ia memahami Al-Qur’an dan
As-Sunnah dengan pemahaman yang baik, bahwa ia mengambil pelajaran dari
keduanya secara langsung.
Tidak memerlukan perkataan ulama, tanpa
perlu melihat penjelasan para ulama tafsir atau syarh-syarh hadits. Ada
dalilnya, bisa bahasa Arab, baca ayat dan hadits lalu disimpulkan sendiri,
tanpa melihat penjelasan para ulama bagaimana cara memahami dalil itu secara
benar.
Dalam perkataannya, ia sering
menyampaikan “bela sungkawa” terhadap para ulama yang menurutnya jauh dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta berargumentasi dengan pendapat tokoh-tokoh. Dia anggap yang
faham Al Qur’an dan sunnah adalah dia dan pengikutnya saja, padahal dia tidak
tahu bahwa cara dia memahami ayat, dalil itu salah.
Maka janganlah ucapan-ucapan Abu
Maryam Al-Mukhlif itu menggoncangkan kalian. Perkataannya bahwa yang faham AL
Qur’an dan Sunnah hanya dia, “berdalil dan kembali kepada Al Qur’an dan
Assunnah”, “kalau sudah ada dalil maka tidak perlu perkataan ulama lagi”, “dalil
kok dilawan dengan perkataan ulama”. Sampai hampir-hampir turun dari langit
hujan batu, maka jangan kita ‘sudah kena teror’ duluan. “Berdalil kok dengan
syaikh ini-itu”, “dalil itu ya mana ayat dan haditsnya”. Hendaklah kita tidak
takut, gentar dengan hal-hal yang seperti itu.
Karena ia hanyalah klaim-klaim yang
setiap orang pun bisa melakukannya. Seperti “kita kembali kepada Al Qur’an
dan Sunnah”, “kita tidak taqlid kepada ulama”, “setiap masalah kita bangun di
atas dalil syar’i yang jelas”. Klaim-klaim yang setiap orang juga bisa yang
seperti itu. Sesungguhnya
medan kepeloporan adalah dalam melakukan kajian yang cermat dalam ilmu, nampak
bagusnya pemahaman dalam ilmu tersebut menurut ukuran para ulama, banyaknya
kesesuaian dengan kebenaran dan berlaku lurus secara umum.
Itulah ukuran sebenarnya apakah dia
orang hebat atau bukan, melakukan pengkajian yang cermat, teliti, hati-hati,
pemahamannya yang baik diakui oleh para ulama, lebih banyak hasil kajiannya
yang sesuai dengan kebenaran dari pada yang keliru, dan ada upaya yang sungguh-sungguh
untuk mencari kebenaran, tepat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan
Rasulnya.
Padahal jika kalian mencermati
niscaya kalian akan mendapati fakta bahwa dalam banyak perkara tersebut yang Abu
Maryam Al-Mukhlif tersohor dengannya dan tersesat di dalamnya, sebenarnya Abu
Maryam Al-Mukhlif berada di antara dua keadaan berikut ini:
a. Ia taqlid kepada orang lain dan
mengikuti alur pendapat mereka tanpa melakukan tahqiq (penelitian yang cermat) dan
banyak tamyiz (memilah yang benar dari yang salah, mana yang
dhaif dan mana yang shahih).
b. Atau ia mengklaim sebuah pemahaman
tersendiri dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya: ia mengklaim
perbedaan antara kekafiran dan kesyirikan. Pemahaman yang baru yang mana mereka
klaim pada abad-abad sebelumnya belum dikenal oleh para ulama, atau
permasalahan yang pada zaman dulu dianggap ikhtilaf tapi sekarang dianggap
ushul tauhid, minimalnya orang yang berbeda mereka sebut pendapat dhalun
mudhil_sesat menyesatkan, ahlul ahwa wal bida’. Berargumen dengan ayat Sesungguhnya Allah tidak mengampuni
jika ia disekutukan dengan selain-Nya untuk menyatakan tiadanya udzur
kebodohan, dan contoh-tontoh lainnya yang dengan izin Allah Ta’ala akan kami
patahkan pada tempatnya yang tepat. Allahu’alam apakah Syaikh ‘Athiyatullah
menulis bantahan khusus yang belum dipublikasikan, atau belum sempat menulis.
Kita tahu beliau memimpin Al Qaidah dalam kondisi sulit-sulitnya, dalam kondisi
pengejaran oleh musuh terhadap para pimpinan Al Qaidah. Mungkin sangat wajar
jika beliau belum sempat menyelesaikan niat beliau itu.
Jika diteliti dengan cermat, Abu
Maryam Al-Mukhlif adalah orang yang sok berlagak ulama lagi tertipu oleh
kapasitas ilmunya sendiri, disebabkan oleh pemahamannya yang buruk dan boleh
jadi karena rasa ujub (membangga-banggakan diri sendiri) dan ghurur
(tertipu oleh kemampuannya sendiri). Ia menyangka telah menguasai sepenuhnya
pemahaman dan pengetahuan atas berbagai hakekat kebenaran!
Penting untuk mengetahui jati dirinya
agar kita bisa menilainya. Tentu jika yang menilainya orang awam seperti kita
dengan ulama, tentu cara menilainya akan berbeda. Jika ada orang bodoh sok
pinter ngaku ulama, tentu orang bodoh tidak akan tahu karena orang bodoh belum
pernah jadi orang pinter, tapi kalau ulama dia akan bisa menilai apakah dia itu
ulama betulan, sok ulama, atau sebetulnya orang awam. Karena memang ulama
pernah ‘bodoh’, mengalami fase itu.
Adapun mengenai kedustaan,
sesungguhnya Abu Maryam Al-Mukhlif telah sering berdusta untuk menolong
kepercayaannya yang sesat dan diada-adakan tersebut. Ia berdusta saat mengklaim
bahwa para ulama telah bersepakat atas tiadanya udzur kebodohan dalam perkara
pokok agama (ashlud dien), atau seperti yang ia katakan “dalam perkara syirik
akbar”. Padahal sebenarnya tidak ada ijma’ yang shahih menurut penelitian yang
cermat. Mari kita beri waktu satu tahun kepada Abu Maryam Al-Mukhlif jika ia
mampu untuk mendatangkan ijma’ yang sharih (tegas) lagi selamat dari
kecacatan dalam perkara ini yang membuat seluruh ulama harus menerima ijma’
(yang shahih, sharih dan selamat dari cacat) tersebut!
Allahu’alam, mungkin sejak risalah ini
ditulis(1428H) sampai tahun ini (1434H), 6 tahun 1 bulan dan belum ada
beritanya bahwa Abu Maryam al Mukhlif mampu membuktikan klaim ijma’ yang dia
sebutkan. Jika dia berdalil dengan perkataan ulama dakwah Nejd yang generasi
belakangan, maka dengan mudah orang lain akan mementahkan argumentasi dia.
Putranya syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab sendiri dengan tegas berpendapat
bahwa ada udzur ketika beliau berbicara tentang Ibnu Hajar al Haitami. Beliau,
Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab jelas dengan para ulama dakwah
Nejd yang menyatakan tidak tercapainya ijma’ dalam perkara tidak adanya udzur
bil jahl dalam syirik akbar itu bedanya 3-4 generasi. Dimana yang menyatakan
seperti itu adalah ulama-ulama belakangannya, Syaikh ‘Abdul Latif bin ‘abdurrahman
bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab beserta murid-murid beliau seperti
Syaikh Sulaiman bin San’an, ‘Abdullah Sulaiman bin Sahman, Syaikh ‘Abdullah bin
‘Abdurrahman Abu Bute. Yang mereka itu adalah ulama-ulama yang hidupnya 100-150
tahun setelah Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Dengan pendahulunya saja beda,
bagaimana dengan orang belakangan yang mengklaim ijma’, sama saja dia
menyalahkan nenek moyangnya.
Hendaklah orang jeli memperhatikan,
seandainya perkara ini sudah mencapai taraf qath’i dan ijma’ serta ma’lum
(dikenal luas oleh seluruh kaum awam umat Islam dan para ulamanya sebagai
bagian dari ajaran Islam); kenapa dari hari ke hari perpustakaan Islam
senantiasa dibanjiri oleh buku-buku, bahasan-bahasan dan kajian-kajian dalam
masalah ini? Hari ini terbit buku yang menerangkan ada ijma’ tentang tidak adanya udzur,
besoknya lagi terbit buku bahwa ada ‘ijma tetang adanya udzur. Yang satu bilang
ini Syaihul Islam Ibnu Taimiyah ini tidak ada udzur, besoknya lagi ada buku
bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah ada udzur. Nanti satunya mengeluarkan tulisan bahwa
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab tidak ada udzur, besoknya ada lagi risalah
menyatakan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab ada udzur. Hari demi hari
bermunculan terus, jika memang sudah ijma’ maka tidak akan boleh buku-buku itu
ada. Tapi ternyata buku-buku itu keluar terus, dalil-demi dalil terjadi diskusi
yang seru.
Apa pula artinya perbedaan pendapat
dalam perkara ini di antara para ulama senior yang dikenal luas dengan
ketekunannya dalam melakukan penelitian dan kajian?
Di Arab Saudi saja misalnya, seperti
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz berpendapat bahwa sama sekali tidak
ada udzur bil jahl dalam masalah syirik akbar, nanti Syaikh ‘Utsaimin
berpendapat ada. Nanti dewan ulama Audi berpendapat tidak ada udzur, tapi nanti
ada yang sama-sama anggotanya berpendapat ada udzur seperti Syaikh ‘Abdur Razaq
al ‘Afifi. Tidak akan ada ijma’ yang sharih salim minal qath’i. Tidak akan ada!
Justru, sekiranya ada yang mengatakan
bahwa ijma’ telah tercapai atas pendapat yang sebaliknya (berlakunya udzur
kebodohan dalam syirik akbar), niscaya perkataan itulah yang lebih dekat kepada
kebenaran. Kami sendiri tidak berani menyebutkan ijma’ dalam perkara ini!
Ijma’nya nanti disebutkan pada perkataan
Imam Ibnu Hazm adz Dzahiri yang disebutkan setelah ini. Ulama yang meninggal
pada tahun 546H, artinya ulama abad 5H. Sementara sebagian ulama yang menyatakan
bahwa tidak ada udzur itu adalah ulama yang hidupnya pada abad 12-13H, 7 abad
setelah meninggalnya Imam Ibnu Hazm. Barangkali dia belum baca buku-bukunya
Imam Ibnu Hazm, apalagi di Nejd yang pada zaman itu belum ada percetakan buku
secanggih sekarang. Peredaran buku-buku dari Andalusia tentu tidak menyebar
luas di daerah Nejd. Apalagi Nejd pada waktu itu adalah daerah pedalaman,
padang pasir yang jauh dari pusat-pusat dunia Islam. Orang-orang pada waktu itu
mengenal dunia Islam pusatnya ilmu itu adalah Mekah dan Madinah pada zaman
Daulah ‘Utsmaniyah itu. Kalau tidak di Mekah dan Madinah ya di Mesir atau
Damaskus. Nejd belum terhitung pada masa itu.
Allahu’alam..
Teks Arab :
وعمدتهم في كل علمهم حفظ
نصوص علماء الدعوة النجدية والاستغراق فيها، وفي كتب شيخ الإسلام ابن تيمية في أبواب
معينة، مع ضعفٍ واضحٍ في سائر أبواب العلم وآلاته، وتشوّه في تلقّيه.!
واعلموا إخواني أن هذا
المخلف يتبجّح بأنه يفهم القرآن والسنة حُسنَ الفهم، وأنه يعوّل عليهما مباشرة، ويكثر
في كلامه النعي على أهل العلم البُعدَ عن القرآن والسنة والاستدلال بأقوال الرجال،
فلا يهولنكم ذلك فإنما هي دعاوى الكلُ يحسِنُها، وإنما مجالُ السبق: التحقيق في العلم
وظهورُ حسن الفهم فيه عند أهله وكثرةُ إصابة الحق والاستدادُ في الجملة.. مع أنكم لو
تأمّلتم لوجدتم أنه في كثير من هذه المسائل التي اشتهر بها وضلّ فيها دائرٌ بين أمرين:
* إما مقلّد لغيره جارٍ
مجراهم بدون تحقيق ولا كبير تمييز..!
* أو مدّعٍ فهماً مستقلا في الكتاب والسنة (كما يدعيه
في مسألة الفرق بين الكفر والشرك، وفي الاستدلال بآية إن الله لا يغفرُ أن يُشرَك به
على عدم العذر بالجهل، ونحو ذلك مما سننقضه بإذن الله في موضعه المناسب)، وهو عند التحقيق
متعالمٌ مغرورٌ، أتيَ من سوء فهمه وربما من عُجبه وغروره، ويظن أنه قد استولى على الفهم
وإدراك الحقائق..!
وأما الكذب فالمخلف يكذب
كثيرا لينصر دينه الضالّ الموضوع، فإنه يكذب في ادعاء أن العلماء مجمعون على عدم العذر
بالجهل في أصل الدين أو يقول: "في باب الشرك الأكبر"، مع أنه ليس هناك إجماعٌ
صحيح عند التحقيق، وهاكم أمهلوا المخلف عاماً إن قدر على أن يأتي بحكاية إجماع صريح
سالم من القدح في هذا الباب يجبُ التسليم له عند أهل العلم.!
وليتأمل العاقلُ: لو كانت
المسألة بهذا القطع والإجماعُ فيها معلوماً فما بال هذه الكتب والأبحاث والدراسات التي
تتدفق على المكتبة الإسلامية يوما بعد يوم في هذه المسألة؟! وما بالُ هذا الاختلاف
فيها بين العلماء الكبار المعروفين بالتحقيق؟!
بل لو قال قائل إن الإجماع
محكيّ على خلافه لكان أقربَ، مع أننا لم نجرؤ على حكاية إجماع في المسألة.!