___________________________________
Syaikh Ansyaqiti memahami hadits2 tsb :
Hadits2 tersebut hadits ahad, sementara ada dalil lain yang kedudukannya mutawatir, bukan ahad lagi yang berasal dari Al Qur'an
QS. Al Isra17 ayat 15___QS. Al Mulk ayat 8-9____QS. Al An'am ayat 130___QS. Thoha ayat 134____QS. Az Zumar ayat 71____QS. Qof ayat 28_____QS. Mukmin ayat 49-50____QS. An Nisa ayat 165
Inti ayat2 di atas : Org masuk neraka itu setelah mendapat peringatan Rasul
_______________________
Tarjih, ketika mendapati pertentangan dalil. Mendahulukan yg mutawatir daripada ahad.
Dipadukan dengan dalil lain, cari dalil lain yang bisa dikompromikan. Ada 10 hadits_org yg masuk neraka bukan karena musyrik, tapi karena tidak lulus ujian di akhirat
Tidak pas jika menyamakan kasus orang2 ahlul fatroh di 3 hadits tersebut dengan orang2 setelah rasul datang
_________________________
Hadits ttg Abdulloh bin Jud'an
Imam nawawi : perbuatan baik yg dia kerjakan tdk memberi manfat diakhirat karena dia orang kafir, kafir trhdp hari akhir. Karena seumur-umur dia tidak pernah berdoa yg intinya smg Alloh mengampuni dosa2nya nanti pada hari kiamat
_________________________
Apa benar musyrikin fatroh itu orang2 muslim? Menurut sejarah tidak.
Dalil : QS. Al Isra' 6____QS. Az Zumar 45____QS. Ash Shofat 35-36____QS. Asy Syuro' 13____QS. Shod 4-7
Inti : Orang musyrik sebelum rasul tidak bisa menerima la illa ha illallah
_______________________
Muslim yang kliru berbeda dgn kafir asli
QS. Al Baqarah 286___QS. At Taubah 115___QS. Al Ahzab 5
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Masih membahas beberapa hadits yang sebelumnya kita bahas 3
buah hadits yang menyebutkan tentang bapak-ibu Rasulullah dan Abdullah bin
Jud’an, yang mereka adalah orang musyrik yang hidup pada zaman fatrah (zaman
jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah). Dalam hadits itu disebutkan bahwa
mereka masuk neraka dan dipahami oleh beberapa ulama bahwa mereka adalah orang
musyrik. Mereka berbuat di dunia disebut musyrik sekalipun belum datang
kepadanya dakwah Rasulullah, dan di akhirat mereka masuk neraka. Berarti menurut
beberapa ulama, itu adalah dalil bahwa tidak ada udzur sama sekali dalam jahl,
pokoknya siapa yang berbuat syirik maka dia disebut musyrik. Itu kalau belum
sampai dakwah, jika sudah sampai dakwah namanya ‘musyrik-kafir-murtad’.
Bagaimana cara para ulama lainnya memahami dalil-dalil
tersebut? Kemarin sudah kita jelaskan, sebenarnya orang-orang musyrik yang
hidup pada zaman Fatrah sebelum diutusnya Rasulullah itu bermacam-macam, tidak
semuanya bisa dianggap orang bodoh yang belum sampai kepadanya ilmu. Karena ada
orang-orang yang masih memiliki ilmu baik dikalangan orang musyrik Arab
sendiri, atau Yahudi, atau Nashrani. Sebetulnya di kalangan orang-orang musyrik
Arab sendiri mereka sudah tahu yang berhak disembah itu hanya Allah saja.
Begitu juga tidak semuanya kesalahannya berbuat syirik, ada kesalahannya karena
tidak percaya dengan Hari Akhir yang itu dalam Al Qur’an ayatnya bisa ratusan
karena surat-surat Makiyah itu 19 Juz sendiri dalam Al Qur’an. Sementara dari
19 Juz surat Makiyah itu intinya ada 3, yaitu iman kepada Allah, iman kepada
Hari Kiamat, dan iman kepada nabi dan rasul. Artinya akan kita temukan mungkin
lebih dari 1000 ayat yang membahas Hari Kiamat sendiri. Dan bagaimana
orang-orang musyrik itu kesalahan mereka bukan karena faktor syiriknya saja
tapi karena ada faktor mengingkari Hari Kiamat.
Kita lanjutkan bagaimana cara memahami hadits-hadits
tersebut,
·
Syaikh Ansyinqiti-rahimahullah- dalam tafsirnya
Adwaul Bayan, beliau memberikan jawaban yang ringkas tapi sangat pas, menyatakan “Dan para ulama menjawab alasan keempat
bahwasannya hadits-hadits yang tercantum dalam Shahih Bukhari (3 hadits) itu
adalah hadits-hadits Ahad. Sementara ada dalil-dalil lain yang kedudukannya
bukan lagi Ahad, tapi juga Muttawatir, karena berupa ayat-ayat Al Qur’an (semua
ulama sepakat yang ada dalam Al Qur’an itu diriwayatkan secara Muttawatir,
sehingga tidak ada ikhtilaf tentang shahih-tidaknya, karena pasti shahih, yaitu
ayat-ayat Al Qur’an dan sifatnya qat’i. Yaitu firman Allah dalam :
-
QS.
Al Isra’ (17) ayat 15 “..dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus
seorang rasul.”
-
QS.
Al Mulk ayat 8-9, “Hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah
lantaran marah. Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang
kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum
pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?" Mereka
menjawab: "Benar ada", Sesungguhnya telah datang kepada Kami seorang
pemberi peringatan, Maka Kami mendustakan(nya) dan Kami katakan: "Allah
tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang
besar.”
-
QS.
Al An’am (6) ayat 30
-
QS.
Thaha (20) ayat 134
-
QS.
Az Zumar (39) ayat 71
-
QS.
Qaaf (50) ayat 28
-
QS.
Al Mu’min/ Ghafir (40) ayat 49-50
-
QS.
An Nisa (4) ayat 165
Semua
ayat itu menyebutkan bahwasannya orang masuk neraka itu setelah mendapatkan
peringatan dari Rasul. Orang sudah tidak punya hujjah lagi ketika sedah diutus
kepadanya dakwah rasul. Ayat-ayat diatas adalah Muttawatir secara kekuatan
wurud, qath’iyatul wurud, dhalalahnya juga qath’i. Jadi jika ada hadits bahwa
orang belum datang kepadanya dakwah rasul tapi dimasukkan ke neraka, jika
ditarjih yag didahulukan bukan hadits Ahad tapi ayat-ayat yang Muttawatir, yang
qath’i. Itu cara pertama dalam memahami hadits ini.
Cara
tarjih di atas sebetulnya cara terakhir yang ditempuh ketika kita mendapati
bertentangan dalil. Yang mana cara pertama yang harus diusahakan adalah dengan
Jama’, mengkompromikan antara kedua dalil itu. Kalau tidak ada baru dicek
apakah ada nashih-mansukhnya. Jika tidak ada, baru diadakan tarjih. Kalau
secara tarjih, jelas yang menang ayat-ayat yang muttawatir dan qath’i. Dilihat
dari cara tarjih saja itu sudah tidak pas, kemudian hadits-hadits tadi
digunakan pokoknya tidak ada udzur jahl.
·
Disebutkan
oleh para ulama bahwa semua hadits tadi berbicara tentang kasus ahlul fatrah
(orang yang belum datang kepadanya dakwah Rasulullah) ini beda halnya ketika
kita membahas orang-orang yang hidup setelah zaman Rasulullah, dimana secara
global mereka beriman kepada Allah dan Rasulullah, punya komitmen global baik
amalan lisan, hati , maupun anggota badan terhadap syahadat. Maka tidak pas
jika hadits tentang orang yang belum masuk Islam digunakan untuk orang-orang
yang telah masuk Islam secara sah.
·
Apakah
benar orang-orang ahlul fatrah tersebut dianggap sebagai orang muslim, orang
yang berada di atas agamanya nabi Ibrahim dan nabi Ismail? Itu secara sejarah
ternyata tidak pas. Dimana sudah kita bahas pada pembahasan sebelumnya. ‘Amru
bin Luhai bin Khuzai’, pemimpin suku Khuza’ah yang melakukan kudeta di Mekah
mungkin 1000 tahun lebih setelah nabi Ismail itu mendapati masyarakat di atas
tauhid kemudian dia tidak puas dengan tauhid itu lalu dengan sengaja membuat
agama baru, yaitu agama syirik, penyembahan terhada berhala. Penggalian
arkeologi di pantai Laut Merah dan menemukan 5 buah patung orang sholeh yang
disembah pada zamannya nabi Nuh ‘alaihissalam. Lalu dibagikan kepada suku-suku
besar di Mekah. Sejak zaman itulah jika orang meninggal berarti meninggal di
atas syirik padahal sebenarnya dia tahu bahwa itu sebetulnya bukan agamanya
nabi Ibrahim. Kalau anaknya sejak lahir dalam kondisi seperti itu bukan lagi
dia dari keluarga muslim, tapi lahir dari keluarga musyrik. Sampai zamannya
orang tua Rasulullah dengan kira-kira lebih dari 500an tahun orang berbuat
syirik, jadi tidak bisa lagi dia disebut muslim karena sejak lahir sampai tua
dan sampai meninggal dia tidak mengakui satu-satunya yang berhak diibadahi itu
hanya Allah. Dia tidak percaya, tidak bisa menerima konsep ‘laa illaha
illallah’, satu-satunya yang berhak diibadahi hanya Allah. Mereka meyakini yang
harus diibadahi itu harus banyak, soalnya jika Tuhan hanya satu, bagaimana
Tuhan bisa mengurusi keperluan hambanya.
Itulah
yang ditegaskan dalam QS. Al Isra’ (17) ayat 6, QS. Az Zumar (39) ayat 45, QS.
Al Mu’min (40) ayat 12, QS. Ash Shafat (37) ayat 35-36, QS. Asy Syura (42) ayat
13, QS. Shaad (38) ayat 4-7. Yang mana ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa
orang-orang musyrik sebelum zamannya Rasulullah itu tidak bisa menerima konsep
‘laa illaha illallah’. Beda dengan orang yang sejak awal dia menerima itu,
punya komitmen untuk melaksanakan ‘laa illaha illallah’ tapi kemudian dia
keliru, mufti’ atau mutta’awil. Itu punya hokum tersendiri, beda dengan orang
kafir yang memang sejak awal tidak punya komitmen dengan tauhid, dengan Islam
secara global.
Untuk
mufti’ dan mutta’awil maka bisa dibaca dalam QS. Al Baqarah ayat 286, yang itu
dalam tafsir hadits-hadits yang menyebutkan malaikat turun dari langit khusus
membawa 2 wahyu kepada Rasulullah yang mana wahyu tersebut belum pernah
diwahyukan kepada seorang nabipun sebelum beliau. Yang pertama surat Al Fatihah
dan yang kedua penutupan dari surat Al Baqarah. Wahyu itu untuk umat Muhammad
Shalallahu ‘alaihi Wassalam. Sejak zaman nabi Adam ‘alaihissalam sampai nabi
‘Isa ‘alaihissalam, wahyu itu belum turun untuk mereka.
-
Dan
ayat itu diterangkan dalam 2 hadits shahih dalam Shahih Muslim bahwasannya
Allah mengabulkan doa itu, "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami
jika Kami lupa atau Kami tersalah.”
-
Kemudian
dalam QS. At Taubah ayat 115, “dan Allah sekali-kali tidak akan
menyesatkan[663] suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka
sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” Jadi jika orang sudah beriman, sudah
mendapat petunjuk maka dia tidak difonis sesat, kafir, lain-lain sampai Allah
jelaskan padanya bahwa apa yang dia kerjakan itu keliru, apa yang dia kerjakan
itu harusnya dia tinggalkan.
-
Juga
dalam QS. Al Ahzab (33) ayat 5, “dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.
dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ini yang membedakan
muslim mutta’awil, mufti’ dengan orang kafir asli yang tidak punya komitmen
dengan Islam secara global.
Kembali
pada pembahasan hadits, jika ditarjih sebagaimana perkataan Syaikh Ansyinqiti,
maka yang didahulukan adalah dalil yang muttawatir, qath’i. Tapi sebenarnya
sebelum itu masih memungkinkan untuk mengkompromikan dalil-dalil. Ada dalil
yang menerangkan ada orang tidak akan masuk neraka, dll kecuali setelah datang
padanya rasul, sementara ada hadits lain yang menerangkan bahwa orang masuk
neraka padahal belum datang padanya dakwah rasul. Maka memahaminya adalah
mencari dalil lain yang bisa mengkromomikan, dan dalil itulah yang dibahas oleh
para ulama. Dimana disebutkan terdapat 10 hadits yang menyatakan bahwa orang
yang masuk neraka sebelum datangnya dakwah rasul itu bukan karena kesyirikan
yang dilakukan semata tapi karena di akhirat dia tidak lulus ujian, dimana di akhirat akan diadakan ujian
ulang. Allah utus kepada mereka seorang rasul, yang mana rasul tersebut
akan memerintahkan kepada mereka supaya masuk neraka, siapa yang taat kepada
rasul ini maka dia dianggap taat pada Allah dan rasulNya dan diselamatkan dari
neraka, akan menjadi penduduk surga. Dan sebaliknya siapa yang menolak perintah
rasul tadi berarti dia membangkang kepada Allah dan rasulNya, sehingga dia akan
dimasukkan ke neraka. Orang-orang yang tadi musyrik tapi divonis masuk neraka
berarti golongan ini, golongan yang nanti di akhirat dites dan dia tidak lulus.
Tentang itu para menyebutkan beberapa hadits ketika menafsirkan QS. Al Isra’
ayat 15.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah saat menafsirkan, “Dan
kami tidak mungkin mengadzab siapapun sampai kami mengutusnya seorang rasul”, beliau
menyatakan “Ayat ini merupakan pemberitahuan tentang keadilan Allah dan Dia
tidak ungkin mengadzab seorangpun kecuali setelah Allah tegakkan hujjah
kepadanya dengan mengutus seorang rasul padanya. Sebagaimana Allah firmankan
dalam QS. Al Mulk dan ayat “Orang-orang yang masuk neraka berteriak-teriak ‘Wahai
Tuhan kami, keluarkan kami dari neraka agar kami bisa beramal shalih yang dulu
tidak kami kerjakan’, maka Allah menjawab, ‘Bukankah kalian telah Aku beri umur
yang cukup bagi orang yang akan mengambil peringatkan, dan bukankah telah
datang kepada kalian seorang pemberi peringatan’.” Dan ayat-ayat lainnya yang
menunjukkan bahwasannya Allah tidak mungkin memasukan seorangpun ke dalam
neraka kecuali setelah Allah mengutus padanya seorang rasul.”
Jadi seperti bapak-ibu Rasulullah, Abdullah bin jud’an,
dll jika masuk neraka pasti ada proses diutusnya rasul kepada mereka, kalau
tidak di dunia ya di akhirat.
“Dan di sini ada beberapa hadits yang akan saya
sebutkan kepada anda dengan pertolongan dan taufiq Allah. Kemudian saya akan
menyebutkan satu pembahasan ringkasan dari perkataan para ulama.”
Hadits pertama yang beliau sebutkan :
Hadits dari al
Aswad bin Sari’, Bahwasannya Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda “Akan
ada 4 golongan yang di hari kiamat nanti membantah Allah, yang pertama adalah
orang yang tuli, tidak bisa mendengar apapun, yang kedua orang yang idiot, yang
ketiga orang yang tua/ pikun, yang keempat adalah orang yang mati di zaman
fatrah. Maka orang yang buta maka dia akan berkata kepada Allah ‘Wahai Allah
Islam telah datang kepadaku tapi aku tidak bisa mendengar apa-apa ketika orang
menjelaskan Islam’. Orang kedua yang idiot ‘Ya Allah Islam memang telah datang
kepadaku, tapi anak-anak kecil saja melempari aku dengan kotoran unta (artinya
juga tidak bisa memahami dakwah Islam seperti apa). Adapun orang yang pokun
mengatakan ‘Wahai Allah Islam telah datang kepadaku tapi aku sudah tidak bisa
memahami apa-apa’. Adapun orang yang mati di zaman fatrah, ‘Wahai Allah belum
datang kepadaku seorang rasulpun yang Engkau utus.’ Lalu Allah mengambil
perjanjian dari 4 golongan tadi bahwa mereka akan taat kepada Allah dan
rasulNya. Kemudian Allah mengutus kepada mereka seorang rasul dengan membawa
perintah ‘masuklah kalian ke dalam neraka!’ Demi Allah yang nyawa Muhammad di tanganNya
seandainya orang-orang tadi mau mengikuti perintah rasul tadi maka tentulah api
neraka itu akan dingin dan selamat bagi mereka.”
Ini hadits yang pertama, disebutkan oleh Imam Ahmad,
al Baihaqi, dll. Kemudian beliau mengatakan “hadits ini sanadnya shahih.”
Dan ada 9 hadits lainnya yang sejenis, bisa dibaca
pada tafsir Ibnu Katsir. Maka beliau menyebutkan disitu tentang nasib orang
yang mati di zaman fatrah tadi, beliau menyatakan “Dan diantara ulama
menyatakan bahwa orang yang mati di zaman fatrah itu akan diuji di pelataran
sebelum ujian untuk melewati shirat, maka barang siapa taat kepada rasul itu
maka dia akan masuk surga dan akan terbuktilah ilmu Allah bahwasannya orang itu
layak menjadi ahlu sa’adah. Dan barang siapa membangkang maka dia akan masuk
neraka dalam keadaan hina dan akan terbuktilah ilmu Allah yang terdahulu bahwasannya
orang itu memang menjadi oarng yang celaka. Pendapat ini adalah pendapat yang
mengkompromikan semua dalil dan kesimpulan ini telah ditegaskan oleh
hadits-hadits di atas yang satu sama lain saling menguatkan. Dan pendapat
inilah yang diriwayatkan oleh Syaikh Abu Hasan al Asy’ari dari ahlussunnah wal
jama’ah. Dan pendapat ini juga yang ditarjih oleh Imam al Baihaqi dalam
kitabnya ‘Al I’tiqad’. Dan pendapat ini juga yang dikuatkan oleh para ahli tahqiq
dari kalangan ulama kufah, ahli hadits, dan para kritikus hadits.”
“Hadits-hadits di sebaiannya shahih sebagaimana telah
ditegaskan oleh banyak ulama dan ada juga yang drajatnya hasan, ada juga yang
drajatnya dha’if tapi dikuatkan oleh yang shahih dan hasan. Jika hadits-hadits
dalam satu bahasan itu satu sama lain saling bersambung dan menguatkan menurut
cara diatas maka hadits-hadits tersebut menjadi hujjah menurut para ulama yang
mengkaji hadits.”
Nah inilah yang beliau kuatkan, dan jika kita baca
karya-karya para ulama ahlussunnah lainnya seperti Imam Ibnul Qayyim dalam ‘Thariqul
Hijratain’, Imam Ibnu Taimiyah, dll menyatakan seperti itu. Cara mengkompromikan
dalil antara hadits-hadits yang menyebutkan orang berbuat syirik zaman jaihilah
tapi masuk neraka padahal belum diutus kepadanya rasul. itu dipadukan dulu
dengan ayat-ayat yang muttawatir dan qath’i tadi dan juga dengan hadits-hadits
tersebut di atas sehingga disimpulkan mereka masuk neraka itu jika di dunia
faktornya karena belum datangnya rasul maka sepuluh hadits ini menyatakan di
akhirat di uji dulu. Jadi dia masuk neraka itu bukan karena syirik semata tapi
karena juga dia tidak taat kepada rasul.
Inilah cara memahami dalil yang mengkompromikan semua
dalil yang ada. Jika dipahami dari hadits-hadits tersebut semua orang berbuat syirik
baik sudah datang padanya dakwah atau belum, baik dia bodoh ataukah tidak semua
masuk neraka dan tetap dibilang musyrik berarti orang yang memahami seperti itu
mengabaikan ayat-ayat yang muttawatir dan kesepuluh hadits di atas. Itu cara
berdalil yang tidak pas, ahlussunnah memahami dali tidak seperti itu. Kalau ada
satu bab, maka semua ayat danhadits yang berkenaan dengan hal itu dikumpulkan
semua, dikompromikan jika ada pertentangan.
Inilah cara memahami hadits-hadits tersebut. Jadi
tidak kemudian dipahami secara mudah pokoknya orang berbuat syirik tidak ada
udzur sama sekali, tapi perlu dilihat dulu kondisinya, perlu dilihat
dalil-dalil lain, dan perlu dilihat dia muslim yang berbuat keliru ta’wil
ataukah kafir asli, dsb.
Tentang hadits Abdullah bin Jud’an, dalam syarh Shahih
Muslim, Imam Nawawi menyatakan bahwa makna hadits tersebut perbuatan baik yang
dikerjakan oleh Abdullah bin Jud’an itu tidak memberikan manfaat kepadanya di
akhirat karena dia orang kafir. Dan itulah maksud dari sabda nabi “Dia belum
pernah berdoa ‘Wahai Allah ampunilah dosaku kelak pada hari kiamat”, maksudnya
dia tidak percaya dengan kebangkitan setelah mati. Artinya kafirnya adalah
kafir kepada Hari Akhir. Dan barang siapa tidak membenarkan Hari Kiamat maka
dia orang kafir sehingga amalannya di akhirat tidak akan ada manfaatnya. Dan
para ulama lainnya menambahkan bahwa ‘...ampunilah dosa-dosaku..’ itu berarti
tidak mungkin orang akan berdoa seperti itu jika dia tidak tahu bahwa dia berbuat
dosa, berarti sebenarnya berbuat dosa bukan karena kebodohan. Dia tahu berbuat
dosa, tapi karena dia tidak percaya Hari Kebangkitan, tidak ada pembalasan.
Berarti dia bukan orang jahil, dia melakukan perbuatan dosa itu di atas ilmu,
pengetahuan.
Allahu’alam..
-