Download File Audio Kajian (.rm)
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Masih pada pembahasan tidak
adanya udzur bil jahl pada perkara syirik akbar. Kita bahas dalil yang 3 dan 4,
Firman Allah dalam QS. Al Kahfi
(18) ayat 103-104, “Katakanlah wahai Muhammad ‘maukah aku beritahukan tentang
orang-orang yang paling merugi amalny, yang sesat sia-sia amal perbuatan mereka
dalam kehidupan di dunia dan mereka menyangka bahwasannya mereka telah
melakukan perbuatan yang paling baik’.”
Ayat ini sebenarnya mirip dengan
dalil yang kedua, QS. Al A’raf ayat 30.
Dan mirip dengan dalil yang ke-4,
QS. Al Ghasyiah (88) ayat 2-4, “Ada wajah-wajah pada hari kiamat itu tertunduk
lesu, ketakutan, mereka beramal, bekerja, dan berpayah-payah tapi di akhirat
dia tetap memasuki neraka yang sangat mendidih, sangat panas, sangat membakar.”
Intinya pada 2 ayat ini
disebutkan nahwa ada orang-orang yang di dunia ini beramal, dia sangka beramal
baik namun ternyata di akhirat dia tidak mendapatkan apa-apa. Mereka sangka
ketika di dunia sudah mengerjakan hal yang paling tepat, paling baik, paling
benar. Lalu dari 2 dalil ini dikutip perkataan Imam Ath Thabari yang menyatakan
bahwa ayat ini menunjukkan orang yang disiksa di akhirat itu tidak harus
mengetahui jika dia sedang berbuat salah. Lalu mereka juga membawakan perkataan
Imam Ibnu Katsir yang menyatakan bahwa ayat dalam QS. Al Kahfi ini berlaku
umum, tidak hanya Yahudi, Nasrani, Khawarij, tapi setiap orang yang melakukan
perbuatan buruk di dunia dan dia menyangka bahwa dirinya di atas kebenaran.
Kemudian mereka juga menyebutkan sebuah riwayat dari ‘Ali
bin Abi Thalib, suatu hari beliau ditanya oleh salah seorang khawarij tentang
siapakah yang dimaksud dengan “Qul hal nunabiukum bi akhsarina…sun’a”. Beliau
lalu menjawab bahwa ayat itu berbicara tentang orang (yang bertanya) itu dan
kawan-kawannya. Lalu mereka simpulkan ayat ini dan dari penjelasan para ulama
tafsir, maka menjadi jelas bahwasannya tidak ada udzur jahl pada perbuatan syirik
akbar.
***
Bagaimana cara memahami ayat-ayat di atas yang
benar menurut penjelasan para ulama?
- Imam Ibnu Hazm dalam kitab beliau “Al Fishal fiil Milal wa Ahwa wan Nihal” juz 3, meyatakan bahwa sebagian orang, mereka berdalil tidak ada udzur bil jahl dengan mebawakan ayat “Qul hal…sun’a”. Bahwa lanjutan dari ayat itu sendiri membatalkan takwilan mereka seperti itu, karena Allah melanjutkan firmannya “Ulaa ikalladzi…”, “Mereka itulah orang-orang yang kafir dengan Rabb mereka dan dengan perjumpaan denganNya (hari kiamat, hari kebangkitan). Maka terhapuslah amal-amal perbuatan mereka, maka kami tidak akaan menegakkan pada hari kiamat satu timbanganpun. Mereka itu balasannya neraka Jahanam disebabkan karena mereka telah kafir dan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan para rasul-Ku sebagai bahan olok-olokan.”
Jadi ayat itu dan ayat sesudahnya masih
berhubungan. Dan jika kita baca tafsir-tafsir para ulama, sebenarnya selain
kita membaca ayatnya secara lengkap, kita juga perlu membaca konteks ayat ini.
Karena dalam 10 ayat terakhir ini (ayat 100-110) Allah membahas 2 golongan,
orang kafir dan mukmin. Dimana golongan orang kafir itu diawali sejak ayat
ke-100 dan berakhir pada ayat 106, sedang golongan mukmin dari ayat 107 sampai
110. Ayat “qulhal..sun’a (ayat 103-104) itu didahului oleh ayat-ayat yang
membahas tetntang orang-orang kafir dan masih satu rangkaian. Maka kata Imam
Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara mereka memahami ayat itu dibatalkan oleh
lanjutan ayat itu sendiri dan juga ayat-ayat sebelumnya.
“Maka hal ini menunjukkan bagian awal ayat
adalah tentang orang-orang kafir yang menyelisihi agama Islam secara total,
orang kafir yang sejak awal memang belum pernah masuk Islam secara sah, baik
Yahudi, nashrani maupun animisme, dinamisme, komunis, dll yang mereka secara
total. Kemudian dikatakan kepada mereka seandainya ayat ini juga turun
berkenaan orang-orang yang melakukan ta’wil dari kalangan ahlul Islam
sebagaimana mereka klaim, maka tentulah akan termasuk terkena dalam ayat ini
setiap orang yang melakukan ta’wil kemudian dia keliru dalam ta’wil/ fatwanya. “
Maka setiap mujtahid yang keliru berfatwa
setelah dia berijtihad maka dia akan masuk dalam ayat ini, jika ayat ini
dimaknai untuk setiap orang Islam yang keliru. Dipukul rata untuk semua, tidak
peduli muslim atau non muslim jika keliru dan menyangka baik maka masuk ayat
ini. Jika memahami ayatnya seperti itu maka setiap orang melakukan ta’wil namun
keliru, tidak peduli dia ulama mujtahid maka akan terkena oleh ayat ini.
“Jika seperti itu maka dia mempunyai
konsekuensi mengkafirkan semua sahabat radhiallahu’anhu. Karena Sahabat itu
satu sama lain seringkali berbeda pendapat dalam masalah apapun.
Sementara kita tahu dengan yakin bahwa masing-masing sahabat itu terkadang
benar dan terkadang juga keliru.
Bahkan dia juga akan mengkafirkan
seluruh umat Islam karena umat Islam pasti masing-masing pernah berbuat benar
dan pernah berbuat keliru. Bahkan konsekuensinya dia mengkafirkan dirinya
sendiri karena setiap orang yang berbicara dalam masalah agama itu tidak mesti
tidak pasti dia pernah menarik kembali pendapatnya dan lalu berpindah ke
pendapat yang lain yang menurut dia lebih benar. Kecuali kalau dia orang
taqlid, maka justru lebih buruk lagi karena taqlid itu seluruhnya keliru, tidak
boleh, tidak sah.”
Kemudian Ibnu Hazm menyebutkan
beberapa riwayat bagaimana para sahabat keliru dalam berfatwa sementara
Rasulullah masih hidup. Dan berita kekeliruan mereka sampai kepada Rasulullah
dan beliau tidak mengkafirkan, tidak memfasikan, dan tidak juga menganggap
mereka berdosa atas kekeliruan fatwa mereka.
Diantaranya disebutkan kisah
tetntang Abu Sanabil, yang berfatwa tentang Fatimah binti Qais. Kata Abu
Sanabil, “Bagaimana, apakah kamu sudah mau berhias?” Sementara Fatimah binti
Qais hamil dan ditinggal mati suaminya. Tentang iddahnya apakah iddah hamil
atau iddah mati suaminya (4 bulan 10 hari). Abu Sanabil memfatwakan bahwa
iddahnya 4 bulan 10 hari, iddah yang paling panjang. Ternyata Fatimah
melahirkan bayinya sebulan-dua bulan setelah ditinggal mati, ketika dia
berhias, dia dimarahi oleh Abu Sanabil.
Dan ada beberapa kasus lainnya
bahwa para sahabat keliru dalam berfatwa, menambil tindakan. Termasuk riwayat
bagaimana ‘Ali bin Abi Thalib membakar orang yang murtad, mengakui ‘Ali sebagai
Tuhannya yang di Kuffah itu. Ketika berita itu sampai kepada Ibnu ‘Abbas,
beliau berkomentar bahwa seandainya beliau tahu tentu tidak akan membiarkan hal
itu, karena tidak boleh mengazab dengan api kecuali Allah (Barang siapa yang
mengganti agamanya maka hukumannya hukum bunuh, penggal, bukan hukum bakar).
Itu ‘Ali Radhiallahu’anhu, keliru.
Dan Sahabat ‘Umar pun pernah
keliru dalam beberapa hal. Jadi kalau setiap orang keliru, sudah beramal
sungguh-sungguh, keliru dan dia yakin apa yang dia yakini bahwa apa yang dia
pegangi itu benar, kemudian terkena ayat ini yang tidak ada udzur jahil sama
sekali, termasuk umat Islam berbuat syirik karena faktor kekeliruan takwil,
maka konsekuensinya semua Sahabat kafir, semua umat Islam kafir dan dirinya
sendiri juga dikafirkan. Karena pasti dia pernah keliru juga.
“Dan lainnya lagi alasannya bahwa
ayat di atas tidak mungkin bisa dimaknai seperti yang dipegangi oleh orang yang
menyelisihi kami tadi kecuali jika dia menyatakan bahwa dalam ayat tadi ada
‘harfun’. “
Inilah pentingnya bahasa arab,
agar tidak terkena kesesatan. Memahami ayat dengan modal bahasa Arab, selain
untuk membaca kitab-kitab tafsir para ulama. Orang-orang yang mengambil
kesimpulan bahwa ayat ini umum semua kena, tidak ada udzur bil jahl sama
sekali, mereka mesti mengartikan “bil akhsarinaa maala alladzina dhallaa..” itu
kata mereka dalam ayat itu ada harfun, ada mubtada’ yang dibuang.
“Karena mereka menyatakan bahwa
dalam ayat itu “alladzina” posisinya sebagai khobar bagi mubtada’ yang mutmar,
mubtada’ ya ma’dhub, yang ditakdirkan oleh mereka ‘hum’”
Kenapa diartikan seperti itu?
Karena biar nanti tidak kena ayat 105-106 yang sebenarnya khabarnya ada di
sana. Sebenarnya jumlah mubtada’ khabar yang lengkap ada di ayat 105-106.
Sebetulnya siapa “akhsarinaa a’malaa”? ‘hummuladzi..”_ yaitu mereka orang-orang
yang.. Jadi sebagai jumlah/ kalimat positif, sebagai jawaban atas pertanyaan.
Padahal jawabannya bukan di situ, jawabannya pada ayat 105nya. “ulaaika..” ,
kata ini pasti sebelumnya ada kata tempat dia kembali.
“Tidak mungkin dimaknai seperti
itu kecuali ada mubtada’ yang ‘ma’dhub’. Seakan-akan Allah berfirman
“Hummulladziina..”, padahal tidak boleh bagi siapapun bahwasannya di dalam Al
Qur’an ada lafal yang dibuang kecuali ada dalil lain yang tegas menunjukkan
bahwa ada lafal yang dibuang, yang menuntut hal itu. Atau ada kesepakatan dari
seluruh ulama bahwa ada lafal yang ma’dhub, atau ada tuntutan konteks ayat yang
bisa dipahami langsung dari ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Maka batallah
perkataan, pendapat mereka dan menjadi klaim tanpa landasan dalil.”
“Adapun kami, sesungguhnya lafal
“Alladzinaa..” pada ayat 104 adalah sudah sesuai tempatnya seperti itu, tidak
ada lafal yang dibuang. Posisisnya di situ sebagai ‘na’at’ sebagai sifat bagi “al akhsariina”.
Dan yang menjadi khobar, pemberitahuan, jawabannya adalah “ulaa ikalladzina
kafaru...wasna”.”
Jadi bila dimaknai apa adanya
tanpa anggapan bahwa ada makna yang hilang maka kalimat pertanyaannya “Qul hal
nunabbiukum..sun’a” disitulah baru tanda tanya. Jawabannya adalah “Ulaa
ikalladzia kafaru”_mereka adalah orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat
Rabbnya. “ulaa ika” sebagai ism isarah, menunjukkan “alladzi”nya ke kalimat
sebelumnya. Siapa yang “akhsarina ‘amala...sun’a”, jawabannya adalah “ulaa
ikalladzina kafaru biaayatii rabbihim”. “Mereka yang kafir pada Al Qur’an, kafir
pada hadits, dan mereka kafir kepada Hari Kiamat, perjumpaan dengan Allah. Dan
karena mereka kafir maka amal-amal mereka terhapus , maka pada hari kiamat Kami
tidak akan menegakkan bagi mereka satu timbanganpun. Hal itu adalah balasan
bagi mereka disebabkan mereka telah kafir dan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku
dan rasul-rasul-Ku sebagai bahan mainan.”
Inilah cara membaca ayat itu,
tidak boleh diputus sembarangan lalu tanpa mengindahkan ayat sebelum dan
sesudahnya. Karena namanya ism isarah itu pasti sebelumnya harus ada yang
disebutkan lebih dahulu. “alladzina’, ism maushul di situ kembalinya kepada
dhamir sebelumnya dst.
Inilah tafsiran yang sebenarnya,
tidak mungkin kita tafsirkan bahwa ada lafal yang hilang kecuali jika ada dalil
yang menunjukkan bahwa ada “hum” yang hilang. Sementara tidak ada karena memang
jawabannya disebutkan dalam ayat 105 dan 106.
- Imam Ibnu ‘Athiyah al Andalusi dalam tafsirnya “Al Mukharrar Al Wajiz fii Tafsiril Kitabil ‘Aziz”, beliau menyebutkan, dan yang dikutib juga oleh Imam Al Qurtubi dalam “Al Jami’ fii Ahkamil Qur’an”, yaitu tentang pendapat ‘Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa ayat ini juga berkenaan dengan khawarij, mereka terkena ayat ini. Kemudian itu dijadikan dalil oleh ulama-ulama belakangan yang mana ‘Ali bin Abi Thalib menggunakannya juga untuk umat Islam, berarti jika umat Islam berbuat syirik karena faktor ta’wil dan jahl dalam perkara yang memungkinkan untuk terjadinya ta’wil dan jahl itu tetap tidak ada udzur.
Maka Imam Ibnu ‘Athiyah dalam
tafsirnya menyebutkan, “Cara ta’wilan itu semua dilemahkan oleh firman Allah
sendiri setelah itu. Sementara pada golongan-golongan ini, khawarij, dan
lainnya tidak ada yang kafir kepada Allah, kafir kepada perjumpaan dengan
Allah, tidak ada yang mengkufuri kebangkitan dan pengadilan di akhirat kelak. Ayat
ini -konteksnya- berbicara tentang orang-orang musyrik Mekah, para penyembah
berhala. Adapun ‘Ali bin Abi Thalib dan Sa’ad bin Abi Waqas mengatakan bahwa
khawarij mengatakan seperti itu maksudnya adalah bahwa mereka adalah sebagian
kaum yang punya bagian dari ayat ini tapi tidak keseluruhannya.” Karena nanti
dalam hadits yang mutawatir tentang firqah najiyah disebutkan bahwa umat
Muhammad akan terpecah menjadi 73 golongan, yang salah satu pasti selamat
(firqah najiyah) dan yang 72 akan masuk neraka. Dalam hadits muttawatir itu Rasulullah
mengakui mereka sebagai umat beliau, berarti masih muslim sekalipun “dholla sa’yum
fil khayaati dunya” tapi dia masih muslim, tidak akan kekal di neraka. Dan itu
madzhab yang mayoritas sahabat seperti itu.
- Imam Al Qurtubi mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwasaannya diantara manusia itu ada orang yang beramal dan dia menyangka telah berbuat baik padahal amalannya sia-sia. Yang menyebab amalan itu sia-sia adalah rusaknya aqidah atau riya’, adapun yang dimaksud dalam ayat ini adalah kekufuran. Ayat ini maknanya adalah celaan, maksudnya “katakanlah wahai Muhammad kepada orang-orang kafir yang beribadah kepada selain Ku”. Amal perbuatan dan cita-cita mereka akan rugi, sia-sia kelak pada hari kiamat. Mereka itulah orang-orang yang paling rugi amalnya.
Dan ada beberapa perkataan
lainnya,
- Imam Ansyinqiti dalam tafsir beliau “Abwaul Bayan”, beliau mengatakan “Hasil penelitian tetang ayat ini adalah berkaitan dengan orang-orang kafir yang meyakini kekafiran mereka itu benar dan bahwa kekafiran mereka mendatangkan ridha Tuhan mereka. Sebagaimana firman Allah tentang orang-orang penyembah berhala, QS. Az Zumar ayat 3. Juga dalam QS. Yunus ayat 18, orang-orang kafir, musyrik mengatakan sekutu-sekutu yang kami sembah itu akan memberi kami syafaat di sisi Allah. Allah juga berfirman tetang para pendeta yang mendekatkan diri kepada Allah di atas syariat dan tidak benar, menurut pendapat yang menyatakan ayat ini berkenaan dengan para pendeta. Juga firman Allah tetatang orang-orang kafir dalam QS. Al A’raf ayat 30, mereka itulah orang-orang yang menjadikan setan sebagai wali-walinya dengan meninggalkan Allah dan mereka menyangka telah mendapatkan petunjuk. Juga firman Allah dalam QS. Az Zuhruf, “Dan sungguh para setan itu memalingkan, menghalangi mereka dari jalan Allah dan mereka menyangka bahwa mereka di atas petunjuk.” Adapun dalil yang menunjukkan bahwa ayat-ayat ini tetang orang kafir (asli) adalah penjelasan Allah yang terang-terangan pada ayat berikutnya.” Itulah dalil yang menunjukkan bahwa ayat ini berkaitan dengan orang kafir asli, bukan orang Islam yang keliru, bukan orang Islam yang ta’wil, bukan orang Islam yang khoto’, bukan orang Islam yang Jahl. Karena ada ayat-ayat dan hadits-hadits tersendiri tentang hal itu.
Untuk penjelasan lebih lengkapnya
bisa kita baca dalam kitab-kitab tafsir para ulama salaf. Untuk selanjutnya
insya Allah akan kita bahas dalil yang ke-4, QS. Al Ghasyiah pada ayat-ayat
awal. Yang mana cara memahami ayat itu juga seperti yang sudah disebutkan oleh
para ulama tadi, yaitu tentang orang-orang kafir asli. Kalaupun orang Islam ada
yang seperti itu maka dia tidak kekal di neraka, sehingga tidak secara otomatis
dia dihukumi kafir.
Allahu’alam..