#20_Udzur Kebodohan Dalam Syirik Akbar [3/7]


Download File Audio Kajian (.rm)

::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Pembahasan Tentang Dalil yang Diperselisihkan, Tentang Ada ataukah tidak Udzur dalam Perkara Syirik Akbar.

Tentunya tidak semua syirik akbar yang memungkinkan untuk menjadi perkara yang samar, tidak diketahui oleh masyarakat pada suatu tempat dan zaman tertentu.

Sebelumnya sudah kita bahas tentang dalil pertama, QS. Al A’raf 172 dan 174. Kali ini kita akan membahas Al A’raf ayat 30,

“Maka sebagian golongan Allah beri petunjuk dan satu golongan lainnya telah pasti atas mereka kesesatan. Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan sebagai wali-wali mereka dengan meninggalkan Allah dan mereka menyangka bahwasannya mereka berada di atas petunjuk.”
Ayat ini mereka anggap sebagai dalil bahwa dalam masalah syirik ini tidak ada udzur jahl sama sekali. Kemudian mereka mengutip perkataan Imam Ibnu Jarir Ath Thabari dalam “Jami’ul Bayan fii Takwili Ayyul Qur’an”_Tafsirnya Imam Ath Thabari dimana dalam tafsir itu beliau mengatakan,
“Firman Allah yang bunyinya “mereka sesat tetapi menyangka mendapatkan petunjuk” itu merupakan dalil yang paling nyata atas salahnya orang yang berpendapat bahwa Allah tidak akan mengazab seorangpun atas maksiat yang dia kerjakan atau kesesatan yang dia yakini kecuali jika orang itu tahu mana yang benar dan mana yang salah, sehingga dia mengerjakan keselahan tadi atas dasar penentangan. Karena jika makna ayat itu yang diazab hanya orang yang berbuat salah atas dasar kesadaran, maka tidak ada bedanya antara orang yang berbuat salah tapi mengira dia mendapat petunjuk dengan orang yang mendapat petunjuk karena sama-sama mendapatkan petunjuk, tapi ternyata yang satu sekalipun mendapat petunjuk tapi karena dia di atas kesesatan maka Allah tetap mengazabnya. Sementara Allah dalam ayat ini membedakan namanya dan hukumnya antara 2 golongan itu.”

Ini perkataan Ibnu Jariri yang mereka jadikan bukti tidak ada udzur sama sekali dalam perkara syirik. Karena disebutkan dalam ayat ini orang menjadikan sebagai walinya, orang berbuat syirik, berbuat kufur tapi tetap dianggap sesat oleh Allah sekalipun mereka meyakini sedang di atas petunjuk, amak tidak ada udzur sama sekali atas perbuatan syirik akbar.

Ini cara mereka memahami ayat ini, tentunya selain melihat perkataan seorang tafsir, kita juga perlu melihat penjelasan ulama tafsir lainnya seperti apa, termasuk melihat ayat-ayat lainnya. Tentu ayat ini tidak berdiri sendiri, ada ayat-ayat lain yang lebih jelas maknanya yang menunjukkan dalam posisi apa seorang manusia itu dianggap sebagai hisbu syaitan, apakah muslim yang keliru padahal dia mencari petunjuk dan sudah mempunyai pokok keimanan, keislama yang global tapi di sebagian perkara dia keliru, apakah itu juga disebut hisbu syaitan, auliya Syaitan atau seperti yang bagaimana.
Terhadap ayat ini, Imam Al Baidhawi mengatakan,

“Kesimpulannya sebagaimana yang telah dikatankan oleh al qadhi al baidhowi dalam tafsirnya “Asraru Ta’wil” ayat ini menunjukkan bahwa orang kafir yang keliru dan orang kafir yang membangkang sama-sama mendapatkan celaan.”

Ada orang kafir mufti’, orang hindu yang meyakini beribadah kepada Tuhannya tapi dia tetap sesat, inilah bahwa ayat ini berbicara tetang seperti itu. Orang hindu yang tidak tahu kalau agamanya salah dengan orang hindu yang sudah kita dakwahi berkali-kali tapi tetap ngotot di atas agamanya itu sama nilainya. Kafir mufti’ dan kafir mu’anit sama nilainya, bukan muslim mufti’ keliru karena ijtihad dengan orang kafir asli yang seperti itu, tapi ayat ini berbicara tentang orang yang kafir asli. Ada kafir Mu’anit, didakwahi berkali-kali tapi tetap tidak mau masuk Islam, ngotot di atas agamanya Dan ada orang kafir yang belum sampai dakwah kita kepadanya, atau dia bersungguh-sungguh mencari kebenaran Dia meyakini beribadah kepada Tuhannya, ternyata karena dia beragama di atas agama yang salah maka dia tetap tercela dan masuk neraka kelak di akhirat. Ini yang disebutkan “mereka orang-orang yang menjadikan syaitan sebagai walinya dan meninggalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mereka menganggap mereka sudah mendapatkan petunjuk”. Yang seperti itulah yang terkena ayat ini.

Imam Al Baidhawi melanjutkan,
“Dan bagi ulama yang membedakan antara kafir Mufti’ dengan kafir Mu’anit, mereka membawa ayat ini pada pengertian “orang kafir yang teledor, tidak sungguh-sungguh mencari kebenaran.”

Itu saja masih ada ulama berpendapat seperti itu, orang kafir jika dia tidak sungguh-sungguh cari kebenaran maka terkena ayat ini, tapi ayat ini tidak bicara  mengenai orang kafir yang sudah ada kesungguhan mencari kebenaran. Ini Imam Al Baidhawi mengatakan seperti itu.

Imam Asy Syinqithi dalam “Adh Dhoul Bayan’ mengatakan,
“Dalam ayat yang mulia ini Allah menjelaskan, bahwasannya orang-orang kafir itu menjadikan setan-setan sebagai wali-wali selain Allah. diantara bentuk wala’ orang kafir kepada setan adalah mereka mentaati setan dalam hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Allah. Meski demikian, mereka menyangka di atas petunjuk. Dan dalam ayat yag lain Allah menyatakan bahwa orang yang seperti itu adalah orang yang paling rugi amalnya, na’udhubillah. Yaitu firman Allah dalam QS. Al Kahfi ayat 103-104, “Katakanlah wahai Muhammad,’maukah aku katakan kepada kalian orang-orang yang paling merugi amalnya, yaitu orang-orang yang sesat amal perbuatan mereka di kehidupan dunia dan mereka menyangka bahwa mereka melakukan hal yang paling baik”. Ayat-ayat Al Qur’an ini menunjukkan bahwasannya orang kafir tidak akan bermanfaat bagi dia persangkaan dia bahwa dia berada di atas petunjuk. Karena dali-dalil, bukti-bukti yang dibawa oleh para rasul itu tidak menyisakan sedikitpun tercampur-adukan juga tidak ada kesamaran dalam kebenaran. Maka rasul datang membawa ayat syar’iyah, wahyu yang dibacakan, wahyu yang ditulis, juga mu’jizat-mu’jizat yang merontokkan semua hujjah manusia, maka tidak ada kesamaran sedikitpun pada dakwah nabi, akan tetapi orang kafir karena terlalunya ta’ashub pada kekafirannya maka dia hampir-hampir tidak mau sedikitpun memikirkan dalil-dalil yang dibawa para rasul tadi yang terangnya seperti matahari di siang bolong karena dia ngotot mempertahankan kebatilannya dan ingin bersikeras menentang rasul, oleh karena itulah dia tidak mendapatkan udzur.”

Allah sebutkan bahwa mereka ini golongan yang sudah pasti atas mereka kesesatan. Difonis sesat dan di akhirat mendapat siksaan karena bukti-bukti yang dibawa para rasul tidak mau di gubris sedikitpun, tidak mau dia pelajari karena ngotot, ta’ashub ingin mempertahankan kebatilan, kekufuran yang dia anut.

Imam Jamaluddin al Qasimi dalam tafsirnya “Mahasinu Ta’wil” beliau menetapkan,
“Satu golongan Allah beri petunjuk yaitu Allah beri taufik kepada mereka untuk beriman masuk Islam, dan satu golongan lainnya telah pasti atas mereka kesesatan, mereka adalah orang-orang kafir. Mereka mengangkat setan-setan sebagai wali-wali, sebagai penolong, sebagai tuhan-tuhan selain Allah yang mereka taati dalam kekafiran dan kemaksiatan. Mereka menyangka bahwa diri mereka di atas petunjuk dan kebenaran.”

Disini beliau menyebutkan kafir asli, dan jika kita baca tafsir-tafsir lainnya misalkan tafsirnya Imam Muhammad bin ‘Ali asy Syaukani, tafsir Fathul Qadir, tafsir Abu Hafs Umar bin ‘Ali, al Hambali dalam tafsirnya Al Lubab Fii Ulumil Kitab, tafsir An Nasafi, dan hampir semua tafsir lain mereka menyebutkan “fariqan haqqa ‘alaihim dhalalah” itu ‘al kaafiruun’. Jika dalam tafsir Al Baghawi disebutkan “al kaafir”, “al jahil” wal “kaafir al mu’anit” itu tidak ada bedanya. Tapi semuanya menyebutkan bahwa itu berbicara mengenai orang kafir asli yang memang sejak awal belum pernah secara sah masuk Islam, belum pernah sah memiliki iman dan Islam yang global. Berbeda halnya dengan orang yang sudah memiliki keimanan dan keislaman global lalu keliru dalam satu-dua perkara (karena ijtihad jika dia ulama, dan karena taklid kepada mujtahid jika dia seorang awam). Maka ada ayat-ayat dan hadits-hadits tersendiri yang membahas itu, seperti ayat “Rabbana laa tuakhitnaa..”. Ayat ini ditafsirkan oleh  2 hadits dalam Shahih Muslim dimana Allah mengabulkan doa dalam ayat ini. Dan masih ada hadits-hadits lainnya yang itu tidak berlaku untuk orang-orang kafir, berlakunya hanya untuk orang-orang yang memiliki keislaman dan keimanan yang global.
Inilah jika kita menafsirkan sebuah dalil hanya dengan 1-2 tafsiran saja, tidak melihat tafsir-tafsir dan ayat-ayat lainnya. Jika kita lihat dalam ayat-ayat lainnya maka setidaknya tentang “ittakhadhu syayaathina auliya’a mindzunillah wa...” itu terjadi dalam 3 kondisi :

1.       Pada diri orang-orang kafir asli, baik Ahlul kitab maupun non-ahlul kitab (Hindu, Budha, Kebatinan, Komunis, dll). Dalilnya :
a.       Qs. Al ‘Araf ayat 27, dalam ujung ayat ini “sesungguhnya kami telah menjadikan setan-setan sebagai wali-wali bagi orang-orang yang tidak beriman”. Wali setan di sini adalah orang-orang yang tidak beriman.
b.      QS. An Nahl (16) ayat 98 dan 100, “Dan jika engkau bacakan Al Qur’an maka berlindunglah kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sesungguhnya setan itu tidak mempunyai kekuasaan atas diri orang-orang yang beriman dan yang hanya bertawakal kepada Rabb mereka saja. Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah kepada orang-orang yang mempunyai loyalitas kepada setan dan yang menyekutukan Allah dengan setan.”
c.       QS. An Naml (27) ayat 24, “Burung Hud-hud mengatakan ‘Aku mendapati ratu itu dan rakyatnya bersujud menyembah matahari, bukannya menyembah Allah, dan setan menghiasi perbuatan mereka, maka setan menghalangi mereka dari jalan Allah dan mereka tidak mendapatkan petunjuk’”. Dalam ayat ini dijelaskan tentang orang yang sehingga dirinya tidak mendapatkan petunjuk adalah orang-orang yang sejak awal tidak memiliki iman. Dia salah mengidentifikasi siapa Tuhannya, dikira Tuhannya matahari. Ini orang kafir asli, belum pernah secara sah masuk Islam, kelirunya bukan keliru yang ada permasalahan cabang/ rincian tauhid, tapi sudah pokok, Tuhannya sudah keliru.
d.      QS. Saba’ (34) ayat 40-41, “Dan pada hari Allah mengumpulkan semua makhluk di akhirat kelak, Allah berfirman kepada Malaikat ‘Apakah para manusia ini dahulunya beribadah kepada kalian?’ maka para Malaikat menjawab ‘Maha Suci Engkau wahai Allah, Engkaulah wali kami, bukan mereka. Justru mereka dahulu menyembah Jin/ setan dan sebagian besar mereka beriman kepada Jin/ setan’.” Ayat ini juga berbicara bukan orang yang memiliki Islam, iman yang global, yang sejak awal memang telah menyembah Jin, setan, bukan menyembah Allah.
e.      QS. Yaasin ayat 60-61
f.        QS. Ibrahim (14) ayat 22, “Dan berkatalah setan ketika perkara sudah diputuskan di akhirat kelak ‘Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada kalian dengan janji kebenaran dan akupun menjanjikan kepada kalian lalu aku selisihi janjiku dan akau tidak memiliki kekuasaan sedikitpun atas kalian selain mengajak kalian lalu kalianlah yang memenuhi ajakanku, maka janganlah kalian mencela diriku tapi celalah diri kalain sendiri. Sesungguhnya aku tidak bisa menolong kalian dan kalian tidak bisa menolongku, sesungguhnya aku ingkar terhadap kesyirikan yang kalian kerjakan, sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu bagi mereka adzab yang pedih’.” Ayat ini juga mengisahkan tentang orang-orang yang sejak awal memang musyrikin asli, kafir asli, bukan orang-orang yang memiliki keislaman dan keimanan yang global.
2.       Orang yang berpaling dari dakwah Islam yang datang kepadanya atau orang yang punya kesempatan, tahu ada dakwah kebenaran tapi tidak mau mencari/ mendatanginya. Atau orang yang sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah namun yang benar dia lepaskan karena kepentingan duniawi yang hendak dia raih. Dalilnya :
a.       QS. Al ‘Araf ayat 175-176, orang yang menajdikan  setan sebagai walinya itu orang yang sudah tahu kebenaran tapi dia lepaskan kebaenaranitu karena mencari dunia. “Dan bacakanlah kepada mereka berita tentang orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami, kemudia dia lepaskan ayat itu. Maka diapun termasuk golongan orang-orang yang tersesat.Seandainya Kami mau tentu Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat tadi, tapi dia cenderung condong ke dunia dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka permisalannya seperti anjing, kalau kamu halau dia maka dia julurkan lidahnya dan kamu biarkan dia juga julurkan lidahnya. Itulah permislan kaum yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah seperti itu agar mereka mau berfikir”.
‘insalaqa’ jika dalam tafsir Al Manar_Rasyid Ridha dalam bahasa arab dipakai untuk ular yang gati kulit. Bahwa orang sebetulnya sudah menjiwai kebenaran, bahkan dalam tafsirnya diriwayatkan oleh para sahabat bahwa orang ini adalah orang yanag yang dikaruniai asbabun Nuzul, ayat-ayat Allah yang paling agung, asma-asma Allah yang paling agung tapi dia pergunakan untuk memusuhi nabi Musa. Inilah ‘fanshalakha minha’, maka dia lepaskan dirinya dari ayat-ayat Allah lalu setan menguntitnya. Inilah orang yang sudah tahu benar tapi dia lepaskan karena mengejar dunia.
b.      QS. Az Zukhruf (43) ayat 36 dan 39, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan Ar Rahman (dari wahyu Allah, dari syariat Allah) maka kami kuasakan atasnya seorang setan maka setan tadi menjadi kawan tetap dia. Dan sungguh setan-setan itu menyesatkan mereka dari jalan Allah, tapi mereka menyangka mendapatkan petunjuk.” Dalam ayat ini jelas sekali bahwa yang disebutkan menjadi wali setan itu adalah orang-orang yang sudah tahu peringatan Allah tapi berpaling tidak mau mengindahkan, tidak mau belajar.
c.       QS. Thaha (20) ayat 123-126, “Barang siapa berpaling dari peringatanku maka baginya kehidupan yang sempit di dunia dan kami kumpulkan dia di hari kiamat dalam keadaan buta. ‘Wahai Allah kenapa Engkau mengumpulkan aku dalam keadaan buta padahal dulu aku dalam keadaan bisa melihat?’Maka Allah menjawab ‘Hal itu karena telah datang ayat-ayat Kami kemudian kamu melupakannya maka demikian juga pada hari ini kamu dilupakan.’”
d.      QS. Qaaf (50) ayat 23-28
e.      QS. Al Furqan (25) ayat 17,18,27-29
3.       Mengutamakan adat istiadat, agama nenek moyang atas agama Allah. Datang kepadanya agama, syariat Allah tapi dia tolak karena lebih mempertahankan adat kepercayaan, budaya nenek moyang. Dalilnya :
a.       QS. Luqman (31) ayat 21, “Dan jika dikatakan kepada mereka ‘ikutilah wahyu yang Allah turunkan!’ mereka mengatakan ‘Kami hanya mau mengikuti warisan nenek moyang kami’. Apakah mereka mau seperti itu padahal setan mengajak mereka kepada adzab neraka Sa’ir.” Di sini disebutkan bahwa lawan dari wahyu Allah, ajaran nenek moyang itu sama nilainya dengan setan itu sendiri karena ajaran nenek moyang yang sesat itu adalah hasil bisikan setan juga.
b.      QS. Ghafir (40) ayat 82-83, Orang-orang yang mebanggakan warisan nenek moyangnya, ketika datang wahyu, syariat Allah maka mereka tolak. “Maka tatkala datang kepada mereka para rasul membawa bukti-bukti yang nyata mereka membanggakan ilmu (warisan nenek moyang) yang mereka miliki sendiri. Maka pastilah akan menimpa mereka apa yang dahulu mereka olok-olokan.

Inilah yang disebut “ittakhadhu syayathiina auliya...annahum muhtadun” itu, dalam 3 kondisi ini. Nanti masih banyak ayat lainnya. Intinya, sebagian besar ahli tafsir menyebutkan ayat ini berkenaan dengan :
1.       Orang kafir asli, atau
2.       Orang yang pernah muslim, mukmin tapi dia campakkan karena mengejar duniawi, atau
3.       Orang yang sudah datang kepadanya petunjuk tapi dia berpaling, tidak mau ada usaha, belajar untuk mencari kebenaran, atau
4.       Orang yang ketika datang kepadanya kebenaran tapi dia lebih mengutamakan ajaran nenek moyang, dia tolak wahyu/ syariat Allah itu.


About

Here you can share some biographical information next to your profile photo. Let your readers know your interests and accomplishments.