Download File Audio Kajian (.rm)
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Pembahasan Tentang Dalil yang
Diperselisihkan, Tentang Ada ataukah tidak Udzur dalam Perkara Syirik Akbar.
Tentunya tidak semua syirik akbar
yang memungkinkan untuk menjadi perkara yang samar, tidak diketahui oleh
masyarakat pada suatu tempat dan zaman tertentu.
Sebelumnya sudah kita bahas
tentang dalil pertama, QS. Al A’raf 172 dan 174. Kali ini kita akan membahas Al
A’raf ayat 30,
“Maka sebagian golongan Allah
beri petunjuk dan satu golongan lainnya telah pasti atas mereka kesesatan.
Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan sebagai wali-wali mereka dengan
meninggalkan Allah dan mereka menyangka bahwasannya mereka berada di atas
petunjuk.”
Ayat ini mereka anggap sebagai
dalil bahwa dalam masalah syirik ini tidak ada udzur jahl sama sekali. Kemudian
mereka mengutip perkataan Imam Ibnu Jarir Ath Thabari dalam “Jami’ul Bayan fii
Takwili Ayyul Qur’an”_Tafsirnya Imam Ath Thabari dimana dalam tafsir itu beliau
mengatakan,
“Firman Allah yang bunyinya
“mereka sesat tetapi menyangka mendapatkan petunjuk” itu merupakan dalil yang
paling nyata atas salahnya orang yang berpendapat bahwa Allah tidak akan
mengazab seorangpun atas maksiat yang dia kerjakan atau kesesatan yang dia
yakini kecuali jika orang itu tahu mana yang benar dan mana yang salah,
sehingga dia mengerjakan keselahan tadi atas dasar penentangan. Karena jika
makna ayat itu yang diazab hanya orang yang berbuat salah atas dasar kesadaran,
maka tidak ada bedanya antara orang yang berbuat salah tapi mengira dia
mendapat petunjuk dengan orang yang mendapat petunjuk karena sama-sama
mendapatkan petunjuk, tapi ternyata yang satu sekalipun mendapat petunjuk tapi
karena dia di atas kesesatan maka Allah tetap mengazabnya. Sementara Allah
dalam ayat ini membedakan namanya dan hukumnya antara 2 golongan itu.”
Ini perkataan Ibnu Jariri yang
mereka jadikan bukti tidak ada udzur sama sekali dalam perkara syirik. Karena
disebutkan dalam ayat ini orang menjadikan sebagai walinya, orang berbuat
syirik, berbuat kufur tapi tetap dianggap sesat oleh Allah sekalipun mereka meyakini
sedang di atas petunjuk, amak tidak ada udzur sama sekali atas perbuatan syirik
akbar.
Ini cara mereka memahami ayat
ini, tentunya selain melihat perkataan seorang tafsir, kita juga perlu melihat
penjelasan ulama tafsir lainnya seperti apa, termasuk melihat ayat-ayat
lainnya. Tentu ayat ini tidak berdiri sendiri, ada ayat-ayat lain yang lebih
jelas maknanya yang menunjukkan dalam posisi apa seorang manusia itu dianggap
sebagai hisbu syaitan, apakah muslim yang keliru padahal dia mencari petunjuk dan
sudah mempunyai pokok keimanan, keislama yang global tapi di sebagian perkara
dia keliru, apakah itu juga disebut hisbu syaitan, auliya Syaitan atau seperti
yang bagaimana.
Terhadap ayat ini, Imam Al
Baidhawi mengatakan,
“Kesimpulannya sebagaimana yang telah
dikatankan oleh al qadhi al baidhowi dalam tafsirnya “Asraru Ta’wil” ayat ini
menunjukkan bahwa orang kafir yang keliru dan orang kafir yang membangkang
sama-sama mendapatkan celaan.”
Ada orang kafir mufti’, orang
hindu yang meyakini beribadah kepada Tuhannya tapi dia tetap sesat, inilah
bahwa ayat ini berbicara tetang seperti itu. Orang hindu yang tidak tahu kalau
agamanya salah dengan orang hindu yang sudah kita dakwahi berkali-kali tapi
tetap ngotot di atas agamanya itu sama nilainya. Kafir mufti’ dan kafir mu’anit
sama nilainya, bukan muslim mufti’ keliru karena ijtihad dengan orang kafir
asli yang seperti itu, tapi ayat ini berbicara tentang orang yang kafir asli.
Ada kafir Mu’anit, didakwahi berkali-kali tapi tetap tidak mau masuk Islam,
ngotot di atas agamanya Dan ada orang kafir yang belum sampai dakwah kita
kepadanya, atau dia bersungguh-sungguh mencari kebenaran Dia meyakini beribadah
kepada Tuhannya, ternyata karena dia beragama di atas agama yang salah maka dia
tetap tercela dan masuk neraka kelak di akhirat. Ini yang disebutkan “mereka
orang-orang yang menjadikan syaitan sebagai walinya dan meninggalkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan mereka menganggap mereka sudah mendapatkan petunjuk”.
Yang seperti itulah yang terkena ayat ini.
Imam Al Baidhawi melanjutkan,
“Dan bagi ulama yang membedakan
antara kafir Mufti’ dengan kafir Mu’anit, mereka membawa ayat ini pada
pengertian “orang kafir yang teledor, tidak sungguh-sungguh mencari kebenaran.”
Itu saja masih ada ulama
berpendapat seperti itu, orang kafir jika dia tidak sungguh-sungguh cari
kebenaran maka terkena ayat ini, tapi ayat ini tidak bicara mengenai orang kafir yang sudah ada
kesungguhan mencari kebenaran. Ini Imam Al Baidhawi mengatakan seperti itu.
Imam Asy Syinqithi dalam “Adh
Dhoul Bayan’ mengatakan,
“Dalam ayat yang mulia ini Allah
menjelaskan, bahwasannya orang-orang kafir itu menjadikan setan-setan sebagai
wali-wali selain Allah. diantara bentuk wala’ orang kafir kepada setan adalah
mereka mentaati setan dalam hal-hal yang bertentangan dengan syari’at Allah.
Meski demikian, mereka menyangka di atas petunjuk. Dan dalam ayat yag lain
Allah menyatakan bahwa orang yang seperti itu adalah orang yang paling rugi
amalnya, na’udhubillah. Yaitu firman Allah dalam QS. Al Kahfi ayat 103-104, “Katakanlah
wahai Muhammad,’maukah aku katakan kepada kalian orang-orang yang paling merugi
amalnya, yaitu orang-orang yang sesat amal perbuatan mereka di kehidupan dunia
dan mereka menyangka bahwa mereka melakukan hal yang paling baik”. Ayat-ayat Al
Qur’an ini menunjukkan bahwasannya orang kafir tidak akan bermanfaat bagi dia
persangkaan dia bahwa dia berada di atas petunjuk. Karena dali-dalil,
bukti-bukti yang dibawa oleh para rasul itu tidak menyisakan sedikitpun
tercampur-adukan juga tidak ada kesamaran dalam kebenaran. Maka rasul datang
membawa ayat syar’iyah, wahyu yang dibacakan, wahyu yang ditulis, juga
mu’jizat-mu’jizat yang merontokkan semua hujjah manusia, maka tidak ada
kesamaran sedikitpun pada dakwah nabi, akan tetapi orang kafir karena terlalunya
ta’ashub pada kekafirannya maka dia hampir-hampir tidak mau sedikitpun
memikirkan dalil-dalil yang dibawa para rasul tadi yang terangnya seperti
matahari di siang bolong karena dia ngotot mempertahankan kebatilannya dan
ingin bersikeras menentang rasul, oleh karena itulah dia tidak mendapatkan
udzur.”
Allah sebutkan bahwa mereka ini
golongan yang sudah pasti atas mereka kesesatan. Difonis sesat dan di akhirat
mendapat siksaan karena bukti-bukti yang dibawa para rasul tidak mau di gubris
sedikitpun, tidak mau dia pelajari karena ngotot, ta’ashub ingin mempertahankan
kebatilan, kekufuran yang dia anut.
Imam Jamaluddin al Qasimi dalam
tafsirnya “Mahasinu Ta’wil” beliau menetapkan,
“Satu golongan Allah beri
petunjuk yaitu Allah beri taufik kepada mereka untuk beriman masuk Islam, dan
satu golongan lainnya telah pasti atas mereka kesesatan, mereka adalah
orang-orang kafir. Mereka mengangkat setan-setan sebagai wali-wali, sebagai
penolong, sebagai tuhan-tuhan selain Allah yang mereka taati dalam kekafiran
dan kemaksiatan. Mereka menyangka bahwa diri mereka di atas petunjuk dan
kebenaran.”
Disini beliau menyebutkan kafir
asli, dan jika kita baca tafsir-tafsir lainnya misalkan tafsirnya Imam Muhammad
bin ‘Ali asy Syaukani, tafsir Fathul Qadir, tafsir Abu Hafs Umar bin ‘Ali, al
Hambali dalam tafsirnya Al Lubab Fii Ulumil Kitab, tafsir An Nasafi, dan hampir
semua tafsir lain mereka menyebutkan “fariqan haqqa ‘alaihim dhalalah” itu ‘al
kaafiruun’. Jika dalam tafsir Al Baghawi disebutkan “al kaafir”, “al jahil” wal
“kaafir al mu’anit” itu tidak ada bedanya. Tapi semuanya menyebutkan bahwa itu
berbicara mengenai orang kafir asli yang memang sejak awal belum pernah secara
sah masuk Islam, belum pernah sah memiliki iman dan Islam yang global. Berbeda
halnya dengan orang yang sudah memiliki keimanan dan keislaman global lalu
keliru dalam satu-dua perkara (karena ijtihad jika dia ulama, dan karena taklid
kepada mujtahid jika dia seorang awam). Maka ada ayat-ayat dan hadits-hadits tersendiri
yang membahas itu, seperti ayat “Rabbana laa tuakhitnaa..”. Ayat ini
ditafsirkan oleh 2 hadits dalam Shahih
Muslim dimana Allah mengabulkan doa dalam ayat ini. Dan masih ada hadits-hadits
lainnya yang itu tidak berlaku untuk orang-orang kafir, berlakunya hanya untuk
orang-orang yang memiliki keislaman dan keimanan yang global.
Inilah jika kita menafsirkan
sebuah dalil hanya dengan 1-2 tafsiran saja, tidak melihat tafsir-tafsir dan
ayat-ayat lainnya. Jika kita lihat dalam ayat-ayat lainnya maka setidaknya
tentang “ittakhadhu syayaathina auliya’a mindzunillah wa...” itu terjadi dalam
3 kondisi :
1. Pada
diri orang-orang kafir asli, baik Ahlul kitab maupun non-ahlul kitab (Hindu, Budha,
Kebatinan, Komunis, dll). Dalilnya :
a.
Qs. Al ‘Araf ayat 27, dalam ujung ayat ini
“sesungguhnya kami telah menjadikan setan-setan sebagai wali-wali bagi
orang-orang yang tidak beriman”. Wali setan di sini adalah orang-orang yang
tidak beriman.
b.
QS. An Nahl (16) ayat 98 dan 100, “Dan jika
engkau bacakan Al Qur’an maka berlindunglah kepada Allah dari setan yang
terkutuk. Sesungguhnya setan itu tidak mempunyai kekuasaan atas diri
orang-orang yang beriman dan yang hanya bertawakal kepada Rabb mereka saja.
Sesungguhnya kekuasaan setan hanyalah kepada orang-orang yang mempunyai
loyalitas kepada setan dan yang menyekutukan Allah dengan setan.”
c.
QS. An Naml (27) ayat 24, “Burung Hud-hud
mengatakan ‘Aku mendapati ratu itu dan rakyatnya bersujud menyembah matahari,
bukannya menyembah Allah, dan setan menghiasi perbuatan mereka, maka setan
menghalangi mereka dari jalan Allah dan mereka tidak mendapatkan petunjuk’”.
Dalam ayat ini dijelaskan tentang orang yang sehingga dirinya tidak mendapatkan
petunjuk adalah orang-orang yang sejak awal tidak memiliki iman. Dia salah
mengidentifikasi siapa Tuhannya, dikira Tuhannya matahari. Ini orang kafir
asli, belum pernah secara sah masuk Islam, kelirunya bukan keliru yang ada
permasalahan cabang/ rincian tauhid, tapi sudah pokok, Tuhannya sudah keliru.
d.
QS. Saba’ (34) ayat 40-41, “Dan pada hari Allah
mengumpulkan semua makhluk di akhirat kelak, Allah berfirman kepada Malaikat
‘Apakah para manusia ini dahulunya beribadah kepada kalian?’ maka para Malaikat
menjawab ‘Maha Suci Engkau wahai Allah, Engkaulah wali kami, bukan mereka.
Justru mereka dahulu menyembah Jin/ setan dan sebagian besar mereka beriman
kepada Jin/ setan’.” Ayat ini juga berbicara bukan orang yang memiliki Islam,
iman yang global, yang sejak awal memang telah menyembah Jin, setan, bukan
menyembah Allah.
e.
QS. Yaasin ayat 60-61
f.
QS. Ibrahim (14) ayat 22, “Dan berkatalah setan
ketika perkara sudah diputuskan di akhirat kelak ‘Sesungguhnya Allah telah menjanjikan
kepada kalian dengan janji kebenaran dan akupun menjanjikan kepada kalian lalu
aku selisihi janjiku dan akau tidak memiliki kekuasaan sedikitpun atas kalian
selain mengajak kalian lalu kalianlah yang memenuhi ajakanku, maka janganlah
kalian mencela diriku tapi celalah diri kalain sendiri. Sesungguhnya aku tidak
bisa menolong kalian dan kalian tidak bisa menolongku, sesungguhnya aku ingkar
terhadap kesyirikan yang kalian kerjakan, sesungguhnya orang-orang yang dhalim
itu bagi mereka adzab yang pedih’.” Ayat ini juga mengisahkan tentang
orang-orang yang sejak awal memang musyrikin asli, kafir asli, bukan
orang-orang yang memiliki keislaman dan keimanan yang global.
2. Orang
yang berpaling dari dakwah Islam yang datang kepadanya atau orang yang punya
kesempatan, tahu ada dakwah kebenaran tapi tidak mau mencari/ mendatanginya.
Atau orang yang sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah namun yang benar
dia lepaskan karena kepentingan duniawi yang hendak dia raih. Dalilnya :
a.
QS. Al ‘Araf ayat 175-176, orang yang
menajdikan setan sebagai walinya itu
orang yang sudah tahu kebenaran tapi dia lepaskan kebaenaranitu karena mencari
dunia. “Dan bacakanlah kepada mereka berita tentang orang yang telah kami
berikan kepadanya ayat-ayat kami, kemudia dia lepaskan ayat itu. Maka diapun
termasuk golongan orang-orang yang tersesat.Seandainya Kami mau tentu Kami
tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat tadi, tapi dia cenderung condong ke dunia
dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka permisalannya seperti anjing, kalau kamu
halau dia maka dia julurkan lidahnya dan kamu biarkan dia juga julurkan
lidahnya. Itulah permislan kaum yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka
ceritakanlah kisah-kisah seperti itu agar mereka mau berfikir”.
‘insalaqa’ jika dalam tafsir Al Manar_Rasyid Ridha
dalam bahasa arab dipakai untuk ular yang gati kulit. Bahwa orang sebetulnya
sudah menjiwai kebenaran, bahkan dalam tafsirnya diriwayatkan oleh para sahabat
bahwa orang ini adalah orang yanag yang dikaruniai asbabun Nuzul, ayat-ayat
Allah yang paling agung, asma-asma Allah yang paling agung tapi dia pergunakan
untuk memusuhi nabi Musa. Inilah ‘fanshalakha minha’, maka dia lepaskan dirinya
dari ayat-ayat Allah lalu setan menguntitnya. Inilah orang yang sudah tahu
benar tapi dia lepaskan karena mengejar dunia.
b.
QS. Az Zukhruf (43) ayat 36 dan 39, “Dan barang
siapa berpaling dari peringatan Ar Rahman (dari wahyu Allah, dari syariat
Allah) maka kami kuasakan atasnya seorang setan maka setan tadi menjadi kawan
tetap dia. Dan sungguh setan-setan itu menyesatkan mereka dari jalan Allah,
tapi mereka menyangka mendapatkan petunjuk.” Dalam ayat ini jelas sekali bahwa
yang disebutkan menjadi wali setan itu adalah orang-orang yang sudah tahu
peringatan Allah tapi berpaling tidak mau mengindahkan, tidak mau belajar.
c.
QS. Thaha (20) ayat 123-126, “Barang siapa
berpaling dari peringatanku maka baginya kehidupan yang sempit di dunia dan
kami kumpulkan dia di hari kiamat dalam keadaan buta. ‘Wahai Allah kenapa
Engkau mengumpulkan aku dalam keadaan buta padahal dulu aku dalam keadaan bisa
melihat?’Maka Allah menjawab ‘Hal itu karena telah datang ayat-ayat Kami kemudian
kamu melupakannya maka demikian juga pada hari ini kamu dilupakan.’”
d.
QS. Qaaf (50) ayat 23-28
e.
QS. Al Furqan (25) ayat 17,18,27-29
3. Mengutamakan
adat istiadat, agama nenek moyang atas agama Allah. Datang kepadanya agama,
syariat Allah tapi dia tolak karena lebih mempertahankan adat kepercayaan,
budaya nenek moyang. Dalilnya :
a.
QS. Luqman (31) ayat 21, “Dan jika dikatakan
kepada mereka ‘ikutilah wahyu yang Allah turunkan!’ mereka mengatakan ‘Kami
hanya mau mengikuti warisan nenek moyang kami’. Apakah mereka mau seperti itu
padahal setan mengajak mereka kepada adzab neraka Sa’ir.” Di sini disebutkan
bahwa lawan dari wahyu Allah, ajaran nenek moyang itu sama nilainya dengan
setan itu sendiri karena ajaran nenek moyang yang sesat itu adalah hasil
bisikan setan juga.
b.
QS. Ghafir (40) ayat 82-83, Orang-orang yang
mebanggakan warisan nenek moyangnya, ketika datang wahyu, syariat Allah maka
mereka tolak. “Maka tatkala datang kepada mereka para rasul membawa bukti-bukti
yang nyata mereka membanggakan ilmu (warisan nenek moyang) yang mereka miliki
sendiri. Maka pastilah akan menimpa mereka apa yang dahulu mereka olok-olokan.
Inilah yang disebut “ittakhadhu syayathiina auliya...annahum
muhtadun” itu, dalam 3 kondisi ini. Nanti masih banyak ayat lainnya. Intinya,
sebagian besar ahli tafsir menyebutkan ayat ini berkenaan dengan :
1.
Orang kafir asli, atau
2.
Orang yang pernah muslim, mukmin tapi dia
campakkan karena mengejar duniawi, atau
3.
Orang yang sudah datang kepadanya petunjuk tapi
dia berpaling, tidak mau ada usaha, belajar untuk mencari kebenaran, atau
4.
Orang yang ketika datang kepadanya kebenaran
tapi dia lebih mengutamakan ajaran nenek moyang, dia tolak wahyu/ syariat Allah
itu.