Download File Audio Kajian (.rm)
::::::::::::::::::::::::::::::::
Melanjutkan tentang
ayat Mitsaq/ Fitrah dalam QS. A’raf ayat 172-174 yang sebelumnya sudah
disampaikan penjelasan Imam Alalikai dalam kitab aqidah beliau “Syarah Ushul
I’tiqad Ahlissunah wal Jama’ah.
Kali ini kita
lanjutkan kutipan dari Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitab beliau
“Miftahu Darissa’adah” beliau mengatakan tentang alasan ke-24. Sesungguhnya
akal Rasulullah adalah akal penduduk bumi yang paling sempurna secara mutlak,
seandainya akal beliau ditimbang dengan akal seluruh penduduk bumi tentulah
akan lebih berat akal Rasulullah. Dan sungguh Allah sudah mengkabarkan bahwa
sebelum turunnya wahyu, beliau belum mengetahui (secara detail, bagaimana Allah
itu, bagaimana sifat-sifat Allah, bagaimana cara beribadah kepada Nya, dll) apa
itu Islam dan Iman sebagaimana beliau belum mengetahui apa itu kitab suci.
Allah berfirman dalam QS. Asy Syura (42) ayat 52,
“Dan demikianlah
Kami wahyukan kepadamu wahai Muhammad Ruh (wahyu, Al Qur’an dan Al Hadits,
dinamakan Ruh karena dua itulah yang menghidupkan rohani manusia, jika rohani
tidak mendapatkan wahyu maka rohaninya kosong yang tidak mengenal jalan menuju
ridha Allah) dari perintah Kami. Sungguh sebelum turunnya ruh, engkau tidak
mengetahui apa itu kitab suci dan juga apa itu Iman, akan tetapi Kami jadikan
ruh tadi sebagai cahaya dengannya Kami memberi petunjuk kepada siapa saja yang
kami kehendaki dari hamba-hamba Kami. Dan sungguh engkau wahai Muhammad
benar-benar menunjukkan kepada jalan yang lurus. “
Dalam ayat ini
Allah sebutkan bahwa sebelum turunnya wahyu, Rasulullah tidak tahu apa itu
Iman, apa itu kitab suci, tidak tahu bagaimana cara beribadah kepada Allah,
akhirat seperti apa tidak tahu.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala juga berfirman dalam QS. Adh Dhuha ayat 6-7,
“Bukankah Allah
telah mendapatimu wahai Muhammad dahulu engkau adalah anak yatim kemudian Allah
memberikan tempat bernaung kepadamu/ merawatmu. Dan Allah telah mendapatimu
dalam keadaan dholan/ kebingungan (tidak tahu Iman, tidak tahu Al Kitab, kalau
tidak bingung tentu sudah tahu cara beribadah kepada Allah, sudah tahu
bagaimana cara memperbaiki masyarakat jahiliyah yang rusak), maka Allah
memberimu petunjuk dengan turunnya wahyu (di Gua Hira’).”
Disebutkan dalam
sejarah, yang juga ada dalam Shahih Bukharai bahwa sebelum turunnya wahyu
selama beberapa bulan Rasulullah mengasingkan diri di gua Hira’ untuk
bertafakur mencari kebenaran, menganal Allah, mencari jalan memperbaiki umatnya
yang rusak.
Ibnul Qayyim
melanjutkan, tafsir dari ayat ini (QS. Adh Dhuha 6-7) adalah dengan membaca
ayat dalam QS. Asy Syura di atas.
Jika manusia,
makhluk Allah yang paling lurus, paling sempurna akalnya saja baru mendapatkan
petunjuk setelah turunnya wahyu, sebagaimana firman Allah dalam QS. As Saba’
(34) ayat 50, Allah menyatakan : “Katakanlah Wahai Muhammad, ‘kalau aku
tersesat maka sesungguhnya itu untuk diriku sendiri, dan jika aku mendapatkan
petunjuk, maka semata-mata berdasarkan wahyu yang Allah turunkan kepadaku’.”
Maka bagaimana orang-orang yang akalnya ‘safih’(tidak dapat menimbang mana yang
lebih kuat dalam sebuah urusan antara mashlahat dan madharatnya), orang-orang
yang wawasannya sempit, dan orang-orang yang fikirannya kebalikan dari ‘ulil
albab’ bisa menggapai petunjuk tentang hakikat-hakikat keimanan (ini tauhid,
ini syirik) dengan sekedar dengan akal mereka tanpa memerlukan nash-nash wahyu
yang diturunkan kepada para nabi.
Allah sudah
menciptakan matahari, bumi, dsb untuka menunjukkan bahwa satu-satunya yang
berhak diibadahi hanya Allah. Memang tanda-tanda itu adalah bukti akan adanya
Allah, tanda kekuasaan Allah, tapi itu baru menunjukkan tauhid rububiyah,
menunjukan bahwa pencipta itu ada. Tidak mungkin orang itu ta’til, atheis,
komunis, tidak mengakui adanya Pencipta itu tidak mungkin. Orang mempunyai
fitrah mengakui adanya pencipta, tapi siapa pencipta itu. Sifat, perbuatan,
namanya apa, apa yang Dia inginkan ketika menciptakan kita ke duania, bagaimana
cara berbakti kepada-Nya, menyembah-Nya. Dan itu tidak mungkin dicapai dengan
akal semata.
Lalu Ibnul Qayim
mengakhiri kalimatnya dengan mengutip QS. Maryam (19) ayat 89-90,
“Sungguh kalian
telah mendatangkan suatu perkara yang sangat munkar/ keji, hampir-hampir
terbelah karenanya, hampir-hampir langit pecah dan bumi terbelah, dan
gunung-gunung runtuh menjadi debu”.
Ini dua kutipan
tentang bagaimana memahami fitrah, kalau ada sebagian ulama-ulama mu’tazilah
menyatakan pokonya ketika orang lahir ke dunia dia sudah diciptakan oleh Allah
ada ikatan mitsaq, dia mengakui akan adanya tauhid rububiyah, maka ketika dia
lahir ke dunia dan bisa melihat tanda-tanda kekuasaan Allah di alam ini
otomatis dia sudah memahami tauhid dan syirik, jika melanggarnya maka di
akhirat disiksa. Padahal tidak seperti itu, mitsaq, tanda-tanda kekuasaan Allah
di alam, akal sehat tadi hanya mengantarkan orang untuk mengakui tauhid
rububiyah saja, mengakui Allah sebagai Sang Pencipta, Pemberi rizki. Tapi
bagaimana cara mengenal lebih jauh dari itu, menganal Asma wa sifat,
beribadahnya, apa nanti setelah mati ada kebangkitan, dll itu semua tidak
mungkin dijangkau dengan akal, harus ada wahyu. Nah inilah, iman kepada
malaikat, kepada alam ghaib, kitab-kitab suci, kepada nabi, dan inti tauhid
lainnya yang itu hanya diketahui dengan wahyu, tidak mungkin mengandalkan akal
sehat semata, tidak mungkin mengandalkan fitrah saja.
Begitulah bagaimana
cara para ulama mendudukan masalah itu.
Lalu kita bawakan
sebuah penafsiran tentang bagaimana cara memahami QS. Al A’araf ayat 172 dan
174 ini. Imam Muhammad Amin Ansyinqiti dalam tafsir beliau “Abwaul Bayan fii
‘idhail Qur’an bil Qur’an”_Tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an, tafsir bil
ma’tsur pada abad 2H, 20M, beliau menyatakan ketika men-tahqiq tafsiran yang
benar tentang ayat ini, “maka ketahuilah bahwa cara pandang yang lain dalam
memahami ayat di atas adalah dengan 2 penafsiran.
Penafsiran pertama menyatakan
tidak pernah terjadi mitsaq, tidak pernah Allah keluarkan benih manusia dari
tulang sulbi bapaknya, yang ada adalah bahwa Allah melahirkan manusia dengan
membawa fitrah mengakui adanya Rabb. (ini tafsiran yang dikutkan diantaranya
oleh Ibnu Katsir).
Lalu tafsiran kedua, sesungguhnya Allah telah mengeluarkan
seluruh anak-keturunan Adam dari tulang punggung bapak-bapak mereka dalam
bentuk benih dan Allah menjadikan mereka/ mengambil kesaksian dari mereka
dengan mengatakan “’bukankah aku ini Rabb kalina?’ kemudian mereka menjawab
‘ya’”, kemudian Allah mengutus para rasul setelah itu yang tujuannya
mengingatkan kepada setiap anak manusia tadi akan perjanjian yang pernah
diambil dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tidak ada seorang manusiapun yang
lahir ke bumi ini ingat akan mitsaq tersebut. Dengan adanya pemberitaan dari
para rasul (membawa wahyu) itulah umat manusia bisa meyakini memang benar dulu
itu perah terjadi perjanjian mitsaq dengan Allah. Penafsiran yang terakhir
inilah yang ditunjuukan oleh ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits nabawi. Ayat-ayat
Al Qur’an dengan jumlah yang sangat banyak telah menegaskan bahwa Allah tidak
mungkin mengazab seorangpun sampai Allah menegakkan hujjah kepadanya dengan
adanya peringatan para rasul.
Maka hal ini merupakan bukti dalil bahwa Allah
tidak mencukupkan diri dengan bukti-bukti nyata yang Allah tegakkan di alam
raya ini dan Allah tidak mencukupkan diri manusia hanya dengan fitrah (mengakui adanya Rabb).
- Diantara firman Allah dalam QS. Al Isra’ (17) ayat 15
“Dan Kami tidaklah mengazab, menyiksa seorangpun sampai Kami mengutus
seorang rasul.”
Artinya jika disebutkan orang-orang musyrik nanti di akhirat mereka
diazab itu bukan karena sudah ada mitsaq fitrah itu saja, tapi karena di dunia
menentang para rasul. Karena sesungguhnya Allah dalam ayat ini berfirman “sampai
Kami mengutus seorang rasul” dan Allah tidak menyatakan “sampai Kami
menciptakan akal sehat”, “sampai Kami menegakkan bukti-bukti di alam ini”, dan
tidak juga “sampai Kami memberikan fitrah kepada manusia akan rububiyah Allah”.
- Dan ayat lainnya dalam QS. An Nisa
- Hujjah yang Allah mengutus para rasul untuk memutus argumentasi manusia tadi telah Allah jelaskan dalam QS. Thaha (20) ayat 134 dengan firmannya,
- Dan Allah mengisyaratkan hal itu dengan firmannya dalam QS. Al Qasas (28) ayat 47,
Dalil lainnya diantaranya Allah nyatakan bahwasannya seluruh penduduk
yang masuk neraka telah Allah putuskan alas an mereka dengan diutusnya, dengan
adanya peringatan para rasul. Dan Allah tidak mencukupkan dengan adanya
bukti-bukti di alam semesta ini. Diantaranya firman Allah dalam QS. Al Mulk “setiap
kali dilemparkan ke dalam neraka segolongan manusia, hamba Allah, maka penjaga
neraka bertanya ‘alam na’tikum nadzir’ bukankah telah dating seorang kepada
kalian pemberi peringatan, yang membacakan ayat-ayat Allah.” Mereka kemudian
membenarkan.
- Begitu juga dalam ayat-ayat yang lain, dalam QS. Az Zumar,
Dan ayat-ayat lainnya sangat banyak sekali yang menunjukkan bahwa semua
yang masuk neraka itu pasti karena telah datang kepada mereka peringatan,
termasuk orang-orang jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam seperti bapak-ibu beliau. Bukankah belum datang kepada mereka rasul di
dunia? Iya, tapi nanti berdasarkan pendapat yang paling kuat nanti mereka di
akhirat mendapatkan rasul. Dimana disebutkan dalam hadits-hadits yang banyak
sekali bahwasannya 4 golongan akan Allah utus rasul di akhirat kepada mereka.
Mereka akan diuji jika taat maka masuk syurga dan jika tidak maka masuk neraka.
Mereka akan dites rasul untuk masuk
neraka, ada yang mau dan ada yang tidak. Dan yang tidak mau inilah yang justru akan
masuk neraka. Di akhirat saja disuruh taat kepada rasul saja tidak mau, apalagi
di dunia. Hadits-haditsnya banyak disebutkan oleh para ulama, bisa kita baca dalam
Tafsir Ibnu Katsir pembahasan QS. Al Isra’ ayat 15.
Jika di dunia orang-orang seperti bapak-ibunya Rasulullah itu belum
mendapatkan perignatan wahyu, maka diakhirat akan masuk dalam hadits-hadits
itu, karena inilah cara memahami dalil yang menajma’kan semua dalil. Jika
dianggap memberlakukan Al A’raf saja yang akhirnya berpendapat bahwa akal
sehat, fitrah saja sudah cukup mengenalkan orang kepada tauhid dan syirik
sehingga tanpa butuh diutusnya nabi dan rasul, maka dia berarti menyingkirkan
sekian banyak ayat yang menunjukkan hujjah di dunia tegak dengan nabi dan
rasul. Kalau dia menyatakan orang itu di akhirat nanti diazab di neraka karena
di punya fitrah, punya akal sehat semata berarti dia sudah ikut pemahaman Mu’tazilah
yang menyatakan bahwa akal itu itu bisa mebedakan baik dan benar dan akal itu
punya konsekuensi pahala dan azab, syurga dan neraka. Jelas pemahaman seperti
itu menyelisihi banyak ayat Al Qur’an dan juga mengabaikan hadits-hadits yang
shahih.
- Ayat yang lainnya seperti QS. Al Maidah ayat 5,
Fatrah, zaman terputusnya para rasul, masa antara nabi Isa dengan
diutusnya Rasulullah selama 500 tahun lebih. Maka orang Yahudi di akhirat nanti
tidak punya alas an bahwa mereka sudah ratusan tahun tidak punya nabi, tidak
punya kitab suci.
- Ayat lainnya adalah QS. Al An’am (6) ayat 155-157,
Artinya siksa itu turun setelah
datangnya hujjah/ wahyu dan orang mendustakannya, berpaling, tidak ada usaha
untuk mempelajarinya dan mengamalkannya. Beda halnya dengan orang yang belajar
tapi keliru, perhitungannya tentu tidak memakai ayat ini, tapi “Rabbana laa
tuakhitna…”, dll.
- Diantara ayat lainnya adalah QS. Fatir (35) ayat 36-37,
- Ayat lainnya, QS. Ghafir/ Al Mu’min (40) ayat 49-50,
Dan ayat-ayat lainnya yang semuanya menegaskan bahwasannya hujjah tegak
bukan dengan fitrah/ akal semata, tapi dengan datangnya wahyu, diutusnya para
rasul yang akan menjelaskan kepada manusia tentang apa itu Pencipta, siapa itu
Pencipta, mengapa kita diciptakan, dll.
Allahu’alam..