#16_ Antara Tingkatan Perkara Dengan Tingkatan Dalil [3/4]


_________________________________

Masalah udzur kebodohan; Mereka berpegang pada dalil-dalil tidak ada udzur kebodohan dalam perkara tauhid. Dan barang siapa yang berbeda pendapat dgn apa yang mereka pegang ini, maka kafir. Tidak ada alasan apapun

Sebenarnya, tidak benar memvonis seorang muslim sebagai orang kafir sekedar dengan perbuatan dan kebodohannya semata. Ia dikafirkan jika benar-benar telah ditegakkan keterangan atas dan dia menyelisihinya.
Inilah pendapat yang kuat dan yang dipegang oleh banyak ulama islam, termasuk syaikh Abu Qatadah

Inipun sebetulnya juga masalah perbedaan pendapat, namun khawarij menganggapnya masalah utama.

::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

a. Pangkalnya adalah induk perkara yang mereka pegang teguh ---seperti para pendahulu mereka, Jama’at Takfir wal Hijrah dan orang-orang Khawarij kontemporer selalunya memulai pemikiran mereka dari perkara ini--- yaitu perkara udzur dengan kebodohan. Ini adalah perkara fiqih, yang menjadi kajian seorang ulama fiqih. Namun mereka menjadikan perkara ini sebagai perkara pokok-pokok agama dan akidah (ushulud dien wal i’tiqad) dan perkara-perkara tauhid yang bersifat qath’i.

b. Demikian juga perkara “barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir atau ragu-ragu akan kekafiran orang kafir maka ia telah kafir”, maksud saya adalah penerapan-penerapan kaedah ini dan penerapan cabang-cabang perincian kaedah ini dalam realita.

c. Demikian juga perkara apakah syirik dan kufur itu satu perkara yang sama, ataukah keduanya berbeda dan apa perbedaannya?

Dan perkara-perkara lainnya yang mayoritasnya adalah perkara-perkara fiqih termasuk masalah hukum-hukum syar’i, di mana orang yang tahu akan mengetahuinya dan orang yang tidak tahu tidak akan mengetahuinya, sementara pengetahuan dan penelitian masyarakat terhadap perkara-perkara tersebut bertingkat-tingkat.

Dan perkara-perkara lainnya yang merupakan perkara-perkara ijtihad, para ulama dari zaman dahulu sampai zaman sekarang masih berbeda pendapat tentangnya atau berbeda dalam menerapkannya atas peristiwa-peristiwa dan individu-individu. Ada perbedaan yang tajam di kalangan ulama sejak dulu hingga sekarang dalam perkara-perkara tersebut, namun hal itu tidak mengharuskan terjadinya perpecahan, permusuhan dan kebencian. Justru hati para ulama tersebut tetap bersih, lapang dada dan saling mencintai, sebagian mereka memaafkan sebagian lainnya.

Hanya orang-orang bodoh yang tersesat yang merasa sesak hatinya terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka dalam perkara-perkara yang mereka klaim sebagai “perkara-perkara qath’i” fiktif tersebut. Mereka itulah yang berkawan, memusuhi, memvonis sesat dan memvonis kafir atas dasar hawa nafsu mereka yang sesat dan hasil pikiran akal mereka yang menyimpang.

Kelelawar dibutakan oleh surya di siang bolong
Cocok dengan bagian-bagian malam yang gelap gulita

Sesuatu yang kalau ada dalil yang jelas dia nggak kuat menerimanya, tapikalau subhat-subhat sebenarnya bukan dalil tapi dianggap dalil, bukan ushuluddin tapi dimasukkan ushuluddin justru dia cocok dengan yang seperti itu.

Jika orang yang menginginkan kebaikan dan mencari kebenaran serta ridha Allah Ta’ala memperhatikan secara seksama kesesatan kelompok tersebut, niscaya ia dengan jelas akan mendapati kesesatan mereka dibangun di atas sekumpulan perkara, yang paling penting adalah tiga perkara yang kita sebutkan di atas, yaitu :

a. Udzur dengan kebodohan
b. “barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir atau ragu-ragu akan kekafiran orang kafir maka ia telah kafir”
c. Perkara apakah syirik dan kufur itu satu perkara yang sama, ataukah keduanya berbeda dan apa perbedaannya?

Masing-masing masalah ini jika ditinjau akan sangat panjang lebar. Satu masalah saja ulama perdebatannya sangat panjang. Masing-masing menguraikan apa yang masing-masing yakini sebagai dalilnya. Maka persoalannya sebenarnya bukan hanya masalah mana dalilnya tapi bagaimana cara memahami dalil itu. Karena sepanjang sejarah, kelompok sesat itu bukannya tanpa dalil.

Kelompok sesat sejak zamannya khawarij di masa sahabat ‘Ali bahwa mereka juga memegang dalil Qot’i Tsubut, artinya dipastikan bahwa itu wahyu yang tidak keliru, karena ayat Al Qur’an. Mereka juga memakai dalil Qot’i Dholalah juga yang mana tidak mungkin ditafsirkan dengan makna yang lain, “Hak menetapkan hukum itu hanya milik Allah”, artinya tidak ada orang lain yang berhak menetapkan hukum. Ayatnya benar, tapi cara memahaminya yang keliru menerapka dalil itu pada kasus realita. Ketika ada Muawiyah bin Abi Sofyan berselisih dengan ‘Ali bin Abi Thalib karena sulit bertemu, maka saling mengutus utusan kemudian terjadi perundingan di Daumatul Jandal, Irak. Apapun perundingannya jika nanti disepakati maka itu berlaku untuk kedua belah pihak (Tahkim, peristiwa perundingan). Ternyata orang Khawarij menganggap ini bahwa ‘Ali dan Muawiyah telah mengangkat selain Allah sebagai pemberi keputusan, jadi sudah musyrik yang sudah men-Tuhan-kan Amru bin Asy dan Abu Musa al Asy’ari sebagai pembuat hukum yang mana hukumnya berlaku atas semua pihak yang bertikai (tentara Kuffah ataupun tentara Syam). Karena keliru menerapkan dalil atas realita itulah, khawarij menghukumi ‘Ali bin Abi Thalib maupun Muawiyah bin Abi Shofyan dan semua orang yang berperang di pihaknya masing-masing dan semua yang hadir dalam tahkim tersebut sebagai orang-orang kafir, halal darahnya, halal hartanya, halal kehormatannya.

Jadi mereka bukannya tanpa dalil, cuma bagaimana cara memahami dalil dan bagaimana menerapkan dalil itu terhadap realitanya. Itulah persoalannya.Semua kelompok sesat begitu, sampai kelompok penganut Wihdatul Wujud –manunggalin kawulo lan gusti- atau hulul (Allah menitis pada semua makhluk di alam raya ini. Ada anjing maka itulah Allah, ada babi maka itulah Allah, dll –na’udzubillah himindzalik). Mereka juga memakai dalil, Ibnu ‘arobi yang mencetuskan begitu sebetulnya dia seorang ulama, ahli ibadah sampai ketekunan ibadahnya nggak kalah dengan Fudhail bin ‘Iyad yang sama-sama hidup di Masjidil Haram. Karena ketekunan ibadahnya itu orang banyak tertipu. Orang yang bid’ahnya mukafirah saja pakai dalil, cuma persoalannya bagaimana cara memahami dalil. Selalunya persoalan antar ahlussunnah dengan yang tidak seperti itu.

Secara umum inti pegangan mereka adalah permasalahan-permasalahan berikut ini:

a. Perkara udzur dengan kebodohan
Mereka menyatakan tidak ada udzur bagi kebodohan dalam perkara pokok tauhid. Padahal dalam Islam inti tauhid itu ada dua, yaitu Asyhadu alla illahailallah (tauhid ibadah) dan wa asyhaduanna Muhammadarrasulullah (tauhid risalah/ muttaba’ah). Dalam keduanya tidak ada udzur bil jahl sama sekali menurut mereka. Lalu mereka menjadikan keyakinan terhadap doktrin tersebut sebagai pokok tauhid juga. Maka siapa tidak meyakini doktrin tersebut, menurut mereka adalah orang yang telah kafir. Maksudnya, siapa yang berbeda pendapat dengan mereka dalam perkara udzur dengan kebodohan adalah orang yang kafir dan keluar dari agama Islam. Jadi mereka menjadikan perkara ini sebagai pokok agama, siapa yang menyelisihi mereka dalam perkara ini berarti kafir, tidak diberi udzur dengan ijtihad, kebodohan, atau udzur apapun juga.

Misalnya, mereka mengatakan: “Syaikh Abu Qatadah Al-Filisthini adalah orang kafir, karena ia memberi udzur kepada orang-orang musyrik dengan kebodohan.” Dimana entah Abu Maryam al Muklid atau siapa yang dari kelompok mereka menulis sebuah buku yang di situ mengkafirkan Taliban dan Hamas. Taliban dikafirkan karena dianggap mengakui PBB dimana kantor perwakilan PBB ada di Kabul, bendera-bendera diplomatik PBB mendapat keamanan pada masa pemerintahan Taliban. Sementara Hamas dianggap menolak syariat Islam, berhukum dengan hukum jahiliyah. Bukunya judulnya “Menyingkap Syubhat-syubhat orang-orang yang Berperang Dibawah Bendera Orang-orang yang Menciderai Aslu Tauhid”. Jadi kalau ada mujahidin Taliban itu berarti mujahid berperang di bawah bendera syirik, artinya musyrikin Afghan berperang melawan komunis Rusia. Seperti fatwanya ulama-ulama Jamiyah, gerakan salafi zaman-zaman dahulu, tidak perlu jihad ke Afghanistan karena orang musyrik bertemu orang komunis, sama-sama di Nar.

Ketika buku mereka diserahkan kepada Syaikh Abu Qatadah yang sebenarnya minta kata pengantar, tapi ternyata Syaikh Abu Qatadah marah ada buku seperti itu. Dan beliau tulis jawabannya dalam buku “Junnatul Muththoyyabin”. Akhirnya mereka mengatakan “Syaikh Abu Qatadah Al-Filisthini adalah orang kafir, karena ia memberi udzur kepada orang-orang musyrik dengan kebodohan.”

Begitulah mereka mengatakan. Padahal hal itu bukan cara menyimpulkan secara benar pendapat Syaikh Abu Qatadah Al-Filisthini. Justru cara mereka menyimpulkan tersebut adalah sebuah pemalsuan dan blow up untuk menipu.

Cara menyimpulkan yang benar adalah kita mengatakan: “Syaikh Abu Qatadah Al-Filisthini (juga para ulama Islam lainnya, dan jumlah mereka sangat banyak) berpendapat bahwa seorang muslim yang menurut kita telah terbukti secara sah keislamannya, jika ia melakukan suatu perkara syirik akbar karena faktor kebodohan, dan kebodohan tersebut terbukti secara sah terpenuhi dalam timbangan syariat untuk dianggap sebagai udzur, maka ia tidak kafir.”

Sudah ada usaha belajar tapi tidak sampai kepada kebenaran, sudah berusaha belajar tapi guru-gurunya yang mengajarkan ajaran yang seperti itu, yang mengatakan yang seperti misalkan shalawat nariyah itu masyru’.

Maksudnya, kita tidak memvonis seorang muslim tersebut sebagai orang kafir dan orang yang telah keluar dari agama Islam, sekedar dengan perbuatan dan kebodohannya tersebut. Ia baru divonis kafir jika telah ditegakkan hujah atas dirinya, lalu ia menyelisihi hujah tersebut.

Inilah pendapat mereka (Syaikh Abu Qatadah Al-Filisthini dan banyak ulama Islam lainnya), dan ini merupakan salah satu pendapat dalam perkara ini dan sekaligus pendapat yang paling kuat; disertai beberapa rincian dan batasan yang bisa diketahui dalam sumber-sumbernya.

Inilah kesimpulan pendapat para ulama kita, dan tujuan kami di artikel yang ringkas ini bukanlah hendak menyimpukan perkara ini dan menyebutkan dalil-dalilnya secara terperinci serta membahas secara mendalam tarjih (memilih pendapat yang paling kuat) di antara berbagai pendapat para ulama yang berbeda pendapat. Hal itu sulit, membutuhkan waktu yang lama dan ada tempatnya tersendiri. Sebenarnya ini bukan buku tapi artikel tanya jawab di situs Al Isbah sebelum situs ini ditutup. Lalu diupload lagi oleh ikhwan mujahiddin di luar di beberapa situs jihad Islam.

Tujuan kami hanyalah menjelaskan salah satu pokok (pangkal) dari pokok-pokok kesesatan kelompok sesat yang melesat keluar dari Islam. Kami hanya ingin menjelaskan bahwa ketika mereka menceburkan diri dalam perkara yang para ulama saja masih berbeda pendapat tentangnya, sementara mereka justru menamakan perkara tersebut “ushulud dien”, “kaedah-kaedah pokok dien” dan mereka meyakini perkara tersebut telah qath’i, sedangkan mereka tidak membedakan antara melakukan sebuah kesyirikan dengan pembicaraan tentang pelaku kesyirikan tersebut serta apakah ia diberi udzur atau tidak diberi udzur, dan mereka juga menjadikan pembedaan antara syirik dan kufur dalam masalah ini sebagai salah satu pokok agama. Kalau bagi mereka, kaidahnya itu orang berbuat syirik sebelum datangnya hujjah tetap dibilang musyrik dan jika sudah datang hujjah maka namanya kafir-musyrik-murtad. Jadi bedanya syirik dan kufur bagi mereka, kalau syirik itu datang hujjah atau belum pelakunya sama-sama musyrik, sedang jika sudah datang hujjah disebut kafir. Kemudian mereka mengambil beberapa ayat yang semuanya berbicara tentang orang yang satu haripun belum pernah terbukti punya ikatan Islam. Kemudian kaidah itu diterapkan kepada orang yang secara sah pernah masuk Islam. Dari kecil lahir dari keluarga muslim dan setelah dewasa mengerjakan amalan-amalan Islam kemudian pada saat tertentu melakukan syirik karena faktor ketidaktahuan umpamanya, maka tetap bagi mereka kaidahnya jelas bahwa orang ini tidak bisa disebut muslim, tapi musyrik. Dan bagi mereka menyebut orang musyrik itu tidak mengkafirkan karena bagi mereka antar kafir dan syirik itu dua hal yang beda. Dan bagi mereka seperti ini adalah intinya tauhid, kalau tidak faham itu maka tidak faham tauhid dan mereka meyakini hal itu sebagai perkara yang qath’i; maka mereka terjatuh dalam bencana ini sehingga mereka mudah mengkafirkan umat Islam dan para ulama Islam!

Nanti kalau kita baca penjelasannya Imama Ibnu Hazm al Andalusi dalam kitab beliau “ Al Fishol fil Milal wal Ahwa wan Nihal”. Beliau sebutkan bahwa di dunia ini hanya ada dua agama, ada dua millah, yang satu namanya millah Islam dan yang satu namanya millah ghairu Islam. Mau disebut musyrik, syirik, apapun namanya itu ya satu. Ketika kita menyebut seorang muslim karena suatu tindakan syirik akbar umpamanya, karena faktor kebodohan kemudian otomatis dia tidak bisa disebut muslim lagi maka berarti sama saja kita menyebutkan dia sebagai orang kafir, karena di dunia ini kalau tidak muslim maka kafir. Beliau sebutkan ayat-ayat yang menjelaskan tentang itu.

Maka mereka terjatuh dalam bencana ini ketika mereka membahas, menceburkan diri yang para ulama sendiri masih berselisih paham, dari dulu sampai sekarang perbedaannya sangat kuat. Sejak zamannya Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i bahwa kufur dan syirik itu dua hal yang berbeda atau satu hal yang sama sudah diperdebatkan. Tapi meski begitu tidak pernah saling serang antara mereka. Dan bedanya antara ulama dengan non-ulama ya seperti itu, kalau ulama salaf dahulu beda pendapat seperti itu sudah hal biasa. Tidak mempengaruhi aqidah mereka, sama-sama muslim dan sama-sama muslim, tidak ada yang meragukan keislaman-keimanan Imam Syafi’i ataupun Imam Abu Hanifah.

Maka mereka terjatuh dalam bencana ini sehingga mereka mudah mengkafirkan umat Islam dan para ulama Islam! Abu Qatadah itu siapa, kalau melanggar dalil ashluddin maka kafir. Taliban siapa, mereka menilai orang lewat dalil, bukan orangnya. Al Qaidah siapa, berjihad kalau tauhidnya tidak benar maka tidak akan diterima Allah. Yang penting perbaiki tauhidnya maka semua amalan akan diterima, mau beramal seperti apa jika tauhidnya tidak benar maka tidak akan diterima oleh Allah. Na’udzubillah himindzalik pemahaman yang seperti ini..




:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Teks Asli :


وكذا مسألة مَن لم يكفر الكافر أو شك في كفره، أعني تطبيقاتها وفروع تفاصيلها في الواقع.
وكذا مسألة هل الكفر والشرك شيءٌ واحدٌ، أو بينهما فرقٌ وما هو الفرق؟
وغيرها من المسائل عامتها مسائل فقهية من مسائل الأحكام الشرعية، علمها مَن علمها وجهلها من جهلها، ويتفاوت الناس في تحقيقها والعلم بها، وسائرها مسائل اجتهاد لا يزال العلماء قديما وحديثا يختلفون فيها أو في تنزيلها على الوقائع والأعيان، ولا يوجب ذلك تفرقا ولا تنازعاً ولا مشاحنة، بل قلوبهم سليمة متوادة متحابة، يعذر بعضهم بعضاً، وإنما الجهالُ الضلال الذين يضيقون ذرعا بمن يخالفهم في "قطعياتهم المزعومة" هم الذين يوالون ويعادون ويضللون ويكفرون وفق ما أملته عليهم أهواؤهم الزائغة وعقولهم المنحرفة.
خفافيش أعماها النهار بضوئه ** ووافقها قطع من الليل مظلم
وإذا تأمل مريدُ الخير وطالب الحق ورضى الرحمن عز وجل ضلال هؤلاء القوم يجده مبنياً على مجموعة مسائل من أهمها هذه المسائل الثلاث المشار إليها أعلاه.
وبالجملة هي المسائل الآتية:
Ÿ  مسألة العذر بالجهل، فهم يقولون لا عذر بالجهل في أصل التوحيد، ويجعلون نفس اعتقاد ذلك من أصل التوحيد، فمن لم يعتقد ذلك كان كافراً عندهم، يعني أن من خالفهم في مسألة العذر بالجهل فهو كافرٌ خارج من ملة الإسلام، فجعلوا هذه المسألة نفسها من أصل الدين الذي يكفر مخالفه ولا يُعذر فيه باجتهاد ولا جهل ولا أي شيء، فيقولون مثلا: الشيخ أبو قتادة الفلسطيني كافرٌ لأنه يعذر المشركين بالجهل.!! كذا يقولون، مع أن هذا ليس تقريرا صحيحا لمذهب أبي قتادة، بل تقريرهم هذا تزويرٌ وتهويلٌ خادِعٌ، والصحيح أن نقول: أبو قتادة (وغيره من العلماء وهم كثيرٌ من علماء الأمة) يرون أن المسلم الذي ثبت له عندنا عقدُ الإسلام، إذا ارتكب شيئا من الشرك الأكبر جاهلا، وصحَّ الجهلُ، أنه لا يكفر (أي لا نحكم عليه بالكفر والخروج من الملة) بمجرد ذلك، بل حتى تقام عليه الحجة فيخالفها، هذا قولهم، وهو أحدُ الأقوال في المسألة وأقواها، على تفاصيل وقيود لابد منها تعرَف في محلها.. فهذا تقرير كلام علمائنا، وليس مقصودنا هنا تقرير المسألة وذكر تفاصيل أدلتها والخوض في الترجيح بين أقوال المتنازعين فيها، فهذا صعبٌ ويطول جدا وله محله، وإنما المقصود بيان أصل من أصول ضلال هذه الفرقة المارقة، وأنهم حينما أقحموا مسألة لم يزل الخلاف قائما فيها بين العلماء فيما أسموه أصول الدين وقواعده واعتقدوا قطعيتها، ولم يفرقوا بين ارتكاب الشرك والتلبس به وبين الكلام على مرتكبه وإعذاره أو عدم إعذاره، وجعلوا التفريق بين الكفر والشرك في هذا أصلا من أصول الدين كذلك واعتقدوا قطعيته، ارتطموا بهذه البلية ووقعوا في هذا الورطة فسهل عليهم تكفير الأمة والأئمة.!

About

Here you can share some biographical information next to your profile photo. Let your readers know your interests and accomplishments.