#15_Antara Tingkatan Perkara Dengan Tingkatan Dalil [2/4]



Mengetahui salah satu kesalahan mereka, yaitu tidak membedakan dan dalam penerapannya antara tingkatan perkara dengan tingkatan dalil.

Contoh pembahasan yang biasa diangkat adalah udzur dgn kebodohan. Ini adalah fiqh, tapi mereka menempatkannya pada masalah pokok, tauhid, aqidah.
:::::::::::::::::::::::::::::::

Keenam

Mengetahui bahwa pokok-pokok (pangkal) kesesatan kaum yang melesat keluar dari Islam tersebut adalah mereka tidak membeda-bedakan antara tingkatan-tingkatan perkara-perkara, semua persoalan dianggap sama derajatnya. Yang Mujma’ dan mukhtalaf tidak dibedakan, yang diketahui oleh semua umat dengan yang hanya diketahui oleh ulama saja tidak dibedakan, perkara yang mahsyur dengan yang tidak mahsyur di suatu tempat dengan tempat yag lain tidak dibedakan. Ini perkara Maklum Minaddin bi Dhorruroh dan Ghoiru Ma’lum Minaddin bi Dhoruroh tidak dibedakan.

Perkaranya tidak dibedakan dan tingkatan-tingkatan dalil-dalil tidak dibedakan. Padahal kekuatan dalil Al Qur’an dan Dalil bertingkat-tingkat. Sama-sama ayat dan sama-sama hadits kekuatan penunjukan terhadap sebuah makna itu bermacam-macam, ada dalil:

  • -    Qot’i Tsubut, sudah pasti kebenaran berasal dari wahyu, yaitu Al Qur’an atau hadits mutawatir.
  • -  Qot’i Dholalah, penunjukannya pasti tidak mungkin menunjukkan lain, seperti ayat “qulhulallah..”, itu qat’i tsubut sekaligus Qot’i Dholallah karena tidak mungkin dimaknai dengan takwilan lain, hanya punya satu makna bahwa Allah itu satu.
  • -    Qat’i Tsubut tapi Dhonni Dholallah. Ayatnya jelas atau hadits muttawatir, tapi penunjukkannya masih dhoni, memungkinkan menunjukkan beberapa makna. Yang satu dengan lain untuk mentarjihnya itu menjadi lahan ijtihad ulama. Banyak hadits-hadits dan ayat-ayat alquran yang seperti itu.

-          Dhonni Tsubut Qoat’i Dholalah, dalil secara kekuatan bukan ayat Al Quran juga bukan hadits mutawatir/ahad, tapi kekuatan penunjukannya sangat kuat tidak mungkin dimaknai lain.
Seperti hadits tentang haji yang seumur hidup wajibnya sekali, dalilnya dhonni tapi kekuatannya pasti. Contoh lain tentang sholat yang wajib 5 waktu saja, haditsnya ahad. Ada contoh lain yang bahkan beberapa menunjukan sebagai tanda keimanan seperti siksa kubur disebut tsbut hadistnya tapi penunjukkannya qot’i, tidak mungkin ditafsirkan tidak ada siksa kubur.

-          Dhonni Tsubut hadist ahad Dhonni Dholallah, penunjukannya mempunyai banyak pengertian, bisa ditafsirkan dengan beberapa tafsiran yang untuk menentukan mana tafsiran yang lebih kuat memerlukan ijtihad para ulama yang itu menjadi lahan perbedaan pendapat dikalangan ulama.

-          Belum lagi ayat dan hadist karena berasal dai bahasa arab yang dalam cara memahaminya terjadi perbedaan pendapat. Ada amm, khos, mutlak, muqoyyad, nash, dhohir, mufassa, mantuk, mafhum.

kekuatan dalil saja cara memahaminya bertingkat-tingkat. Nah ini karena dipukul rata okoknya dalilnya bunyi gitu dianggap cara dia memahami itu adalah satu-satunya cara memahami ayat dan hadits. Sehingga jika orang lain berbeda paham cara memahaminya dianggap menentang dalil, mengajukan, mendahulukan pendapat manusia atas dalil, turunlah hujan batu dari langit.

Meskipun mereka mengklaim tidak begitu, namun realita secara tegas mendustakan klaim mereka tersebut. Mereka memposisikan perkara-perkara yang zhanni (memungkinkan terjadi perbedaan pendapat) kepada posisi perkara-perkara yang qath’i, seperti yang telah disebutkan oleh para ulama kita tentang keadaan orang-orang Khawarij.

Kalian akan melihat bagaimana mereka menamakan cara-cara berdalil mereka yang satu sama lain saling tumbang itu dengan nama-nama “perkara-perkara qath’i”, “dalil-dalil qath’i” dan lain sebagainya! Ada ayat dan hadits mereka pahami dengan cara mereka sendiri dan dalam beberapa kiondisi memilih perkataan sebagian ulama entah mutaqoddimin atau muttaakhirin lalu dianggap satu-satunya penafsiran padahal dalam kesempatan lain ulama yang mereka nukil itu mungkin akan menyebutkan penafsiran yang tidak begitu, bahkan beberapa kali mereka memotong-motong pendapat para ulama dan dibuang yang tidak menguatkan pendapatnya lalu dikatanyan seperti itu qowati’, qot’i, pasti, tidak boleh ada beda.

Kalian akan melihat bagaimana Abu Maryam Al-Mukhlif yang terkena ujian tersebut secara dusta dan palsu menyebutkan ijma’ dalam banyak perkara dengan cepat-cepat. Mungkin jika kita baca tulisan abu maryam lain maka kita tidak akan kaget dengan apa yang diceritakan syaikh Athiyatullah di sini.

Kalian akan melihat bagaimana mereka sangat jauh dari kebiasaan ulama generasi salaf yang mengatakan “kami berpendapat begini”, “menurut kami begini”, “kami menganggap”, “kami khawatir”, “kami senang begini”, dan “kami tidak senang begini”. Dinisbatkan pendapat-pendapatnya kepada dia sendiri, tidak dia nisbahkan kepada Islam. Padahal ini yang berbicara para ulama salaf. Sampai-sampai sebagian ulama salaf seperti Imam Malik menyitir firman Allah berikut ini saat ia ditanya tentang sebagian perkara:

إِنْ نَظُنُّ إِلا ظَنًّا وَمَا نَحْنُ بِمُسْتَيْقِنِينَ
Kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak yakin. (QS. Al-Jatsiyah [45]: 32)

Kehati-hatian para ulama salaf, mereka sangat khawatir salah berbicara dalam berbicara dalam masalah agama. Kalau kita baca bagaimana seperti dikisahkan oleh Syaikh Hatim Al Hauni menceritakan bagaimana pada masa belakangan ini timbul menurut beliau dua istilah yang perlu dibedakan, muttafannin dan mutakhassis.

Muttafannin : orang yang tahu banyak disiplin ilmu, tafsir tahu tapi sedikit-sedikit, hadits tahu tapi sedikit-sedikit, fiqih tahu tapi sedikit-sedikit, sejarah tahu tapi sedikit-sedikit. Semua ilmu dia tahu tapi setahunya saja. Beda sekali dengan muttakhassis.

Muttakhassis : ulama yang spesialisasi dalam satu bidang tertentu, sementara di bagian lain ia lemah. Dan dari situ Muttakhassis punya satu kelebihan menghidupkan tradisi salaf yaitu mengatakan “la adri..”, “saya tidak tahu”. Untuk masalah-masalah yang diluar spesialisasinya. Sehingga mereka akan hati-hati bicara dalam masalah-masalah yang ia tidak tekuni sekalipun punya kemampuan.

Dicontohkan bagaimana seorang Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin ditanya tentang hadist ashabu royati suud, beliau menjawab “saya tidak tahu” dijawab dalam fatwa aqidahnya. Dan itu tidak masalah orang tahu atau tidak tahu tentang masalah itu, tidak mempengaruhi keabsahan imannya pada hari kiamat. Dan tidak mempengaruhi amalanya, entah mau kapan Al Mahdi keluar tandanya apa tidak ada pengaruhnya. Yang penting ibadah baik-baik dan menjaga ibadahnya.

Tapi kalau muttafannin semua tahu tapi sedikit-sedikit, setahunya saja. Itu sulit sekali menghidupkan tradisi “la adri”/ “saya tidak tahu”. Pokoknya semua hal pingin ikut nimbrung ngomong, padahal dia bukan spesialis dan dia berani membantah orang-orang yang spesialisasi di bidang-bidang tertentu karena merasa dia juga mempunyai kemapuan di bidang itu.

Nah ini, seperti ini kira-kira, kalau zaman dahulu para ulama begitu apalagi zaman sekarang, bukan ulama tapi orang-orang awam sudah bicara masalah-masalah besar, masalah keislaman dan kekafiran orang lain. Bukan satu dua orang yang dibicarakan tapi ribuan bahkan jutaan orang. Padahal yang mengatakannya “nadzunnu kadza wannaro kadza...” adalah para ulama salaf, para ulama yang kemampuan ilmunya tentu jauh di atas kita.Ada seorang murid Imam Ahmad bertanya kepada Imam Ahmad, “Wahai Abu Abdillah ada orang hafal 100.000 hadits, apakah orang itu bisa disebut ulama hadist?” Kata Imam Ahmad “Tidak”, lalu muridnya bertanya lagi “bagaimana kalau dia hafal 200.000 hadits, apakah dia dianggap ulama hadits?” Imam Ahmad menjawab “Tidak”, lalu ditanya lagi “bagaimana jika ia memiliki hafalan mengetahui 300.000 hadits?” Maka Imam Ahmad menjawab “300.000 di sini dan 300.000 di sini” baru disebut ulama hadits”.

Itu standar para ulama salaf kita, zaman abad 3 H, mereka yang  berani mengatakan “nadzunnu kadza wannaro kadza...”, waro’nya seperti itu. Dan orang tidak akan berani-beraninya berfatwa sebelum dia mendapat rekomondasi dari para ulama yang lebih senior, para ulama yang banyak. Bagaimana Imam Abu Yusuf ketika merasa sudah pintar lalu mundur dari halaqoh nya Imam Abu Hanifah merasa sudah pintar karena dipuji oleh gurunya, dianggap pujian itu sebagai rekomondasi lalu memisahkan diri dari majlisnya Abu Hanifah. Membuat majlis sendiri beda hari dengan gurunya. Ketika pengajian-pengajian berikutnya Abu Hanifah tidak melihat Abu Yusuf, maka dia kirim beberapa muridnya dengan beberapa pertanyaan fiqih suruh menanyakan kepada Abu Yusuf dan Abu Yusuf tidak bisa menjawabnya. Akhirnya habis itu dia balik ke majlisnya Abu Hanifah, belajar terus sampai gurunya meninggal baru berhenti belajar pada gurunya itu dan akhirnya jadi ulama besar pada zaman Amirul Mu’minin Harun Arrrosyid.

Ada Imam Tajuddin as Subqi pada abad 8 H, seorang ulama hadits madzhab Syafii menerangkan bagaimana ketatnya standar ulama pada masa beliau hidup pada masa-masa zaman Ibnu Katsir. Ketat sekali orang bisa disebut ulama. Tapi sekarang orang sudah kehilangan akhlak-akhlak, adab-adab itu sehingga menyebar sebuah penyakit di kalangan para pelajar penuntut ilmu yang dinamakan Syaikh bakr Abu Zaid, “sok alim”. Belum saatnya membahas masalah-masalah umat sudah berani mengeluarkan fatwa, menjatuhkan statemen ini dan itu, karena tidak ada ke-waro’-an dan tidak mengetahui bahwa bagaimana kata Imam Syafi’i bahwa orang belajar jika 1/3nya maka ia akan sombong, begitu 1/3 lagi maka ia akan tawadhu, ketika ketika 1/3 terakhir maka dia akan sadar bahwa dia masih perlu belajar terus.

Orang-orang yang terkena ujian dan tersesat itu akan menjawab kepada kalian, “Zhann (dugaan-dugaan) itu hanya dalam perkara-perkara cabang fiqih dan cabang-cabang hukum syariat yang sifatnya ijtihad.”

Memang benarapa yang mereka katakan. Tapi juga benar bahwa sesungguhnya banyak perkara yang dijadikan landasan pemikiran oleh Abu Maryam Al-Mukhlif dan para pengikutnya yang tersesat tersebut hanyalah perkara-perkara fiqih, cabang dan ijtihad.  Bukan masalah-masalah aqidah, bukan iman dan kufur, bukan  tauhid dan syirik yang sifatnya Muttafaq ‘alaih.

Pangkalnya adalah induk perkara yang mereka pegang teguh ---seperti para pendahulu mereka, Jama’at Takfir wal Hijrah (sebenarnya nama ini yang membuat aparat Mesir ketika orang ini ditangkap masuk penjara) dan orang-orang Khawarij kontemporer selalunya memulai pemikiran mereka dari perkara ini--- yaitu perkara udzur dengan kebodohan. Ini sebenarnya masalah fiqih karena berkaitan dengan qadha/ peradilan dimana ada kaitannya dengan melihat orang, bukan melihat masalah fiqih atau aqidah, bukan permasalahnnya tapi yang dilihat orangnya memiliki  kemungkinan mendapatkan ilmu atau tidak. Ini adalah perkara fiqih, yang menjadi kajian para ulama fiqih. Namun mereka menjadikan perkara ini sebagai perkara pokok-pokok agama dan akidah (ushulud dien wal i’tiqad) dan perkara-perkara tauhid yang bersifat qath’i. Salah menempatkan perkara, tidak membedakan tingkatan-tingkatan perkara. Masalah fiqih dianggap sebagai intinya tauhid.

Ini salah  satu sebab pokoknya, tidak membedakan antara tingkatan masalah dengan tingkatan dalil. Salah satu yang mereka jadikan langkah awal pembinaan adalah maslah udzur bi Jahl. Bahkan masalah udzur bi jahl ini istilahnya adalah mesin untuk ngetes orang, orang ini muwahid atau tidak, muslim atau musyrik, ahlu bid’ah atau ahlussunnah dilihatnya dari kaca mata udzur bil jahl. Padahal kalau kita baca kitab-kitab fiqih masalah udzur seperti udzur bil jahl, udzul bil ikrah, udzur bil khata’ itu dibahas di buku-buku ushul fiqih di kalangan para ulama. Di mana dalam pembahasan ushul fiqih itu selalunya dibahas ada masalah al hakim, Allah sebagai Dzat yang berhak menetapkan hukum. Lalu ada masalah  perbuatannya, nanti perbuatannya ada hukum taklifi (wajib, sunnah, makruh, dll) ada wat’i (syarat, rukun, batal, rukhsah, dll). Dan ada lagi pembahasan mahkum ‘alaih, mukallaf siapa yang terkena perintah menjalankan wahyu apakah orang gila, dst. Ketika membahas mukalaf itu nanti akan ada pembahasan al ahliyah.., tentang orang punya ahliyah/ kelayaka untuk menjalankan taklif atau tidak. Apa saja yang menghalangi seseorang tidak mengerjakan taklif. Nanti ada awarij/ penghalang yang  sifatnya samawiyah, yaitu penghalang yang sifatnya dari Allah langsung, seperti :

a.        Gila
b.        Al ‘Ithu (idiot)
c.        Lupa
a.        Tidur dan pingsan
b.        Sakit
c.        Kematian

Kemudian ada awarij/ penghalang Muktasabah, penghalang yang sifatnya dalam sebagian kondisi menyebabkan seorang mukalaf tidak terkena dosa ketika mengalami awarij selama awarij/ penghalangnya benar-benar realistis memungkinkan menimpa dirinya, seperti :

1.        Al Jahlu, masalah kebodohan.
Nanti ini dibahas lagi oleh para ulama, Al Jahlu fii Daril Islam dan Al Jahlu fii Daril Harbi. Nanti itu jelas beda kalau zaman para ulama membuat kaidah “kebodohan itu tidak dianggap udzur kalau manusia berada di darul islam”. Itupun praktiknya juga tidak kaku, contohnya dari kalangan ulama itu ada kaidah dalam perkara-perkara yang jelas/ dhohirah/ mutawatirah/ yang dalilnya mutawatir yang  semua orang tahu apalagi dia di Darul Harbi orang melanggar syariat itu tidak ada udzur dengan kebodohan. Tapi praktiknya tidak sekaku itu.
Ada sahabat Ahlul Badar, dia mujahirin, orang Quraisy, bahkan ikut bai’atu ridwan, berarti dia masuk Islamnya bukan kemarin sore, sudah 20-an tahun. Dia juga hidup di zamannya Abu Bakar Asy Syidiq, zaman khulafaur rasyiddin di negeri Islam, juga hidup di zaman Umar bin Khatab sebagai khalaifah, bahkan diangkat oleh Umar bin Khatab menjadi gubernur. Dan dia mabuk secara sengaja minum khomr. Ketika dilaporkan kepada Umar dipanggil ke Madinah untuk disidang –Qudamah bin Mat’un namanya- dan dia bilang bahwa Khamr itu baginya halal. Ini orang hidup di Darul Islam, puluhan tahun masuk islam dan hidup di zaman nabi dan zaman khulafaur rasyiddin. Secara ilmu dia hidup di Darul Islam, tidak ada udzur bi jahl. Perkara yang dibahas di sini masalah khamr itu halal apa haram, anak kecil kalau di Darul Islam mestinya paham, tapi ini gubernur bukan orang bodoh. Ketika mau didera itu dia bilang baginya khomr itu halal karena ada dalilnya dalam Al Qur’an, “laisa ‘alalladzi...”(Al Maidah). Ayat itu letaknya 3-4 ayat setelah ayat pengharaman khamr. Orang salah memahami ayat, padahal ayat ini cara memahaminya tidak begitu. Ayat ini asbabul nuzulnya sahabat-sahabat yang meninggal sebelum turunnya khomr. Bagaimana ketika turu khomr orang-orang bertanya bagaimana nasib para sahabat yang masih minum khomr sebelum turunnya ayat pengharaman khomr. Kalau orang sudah beriman, beramal sholeh, jihad, hijrah, dsb dan dia minum khomr sebelum turunnya ayat itu tidak apa-apa. Intinya ayat begitu, tapi karena dia baca ayat dhohirnya saja dan tidak tahu azbabun nuzulnya maka dia salah memahami sesuatu yang keharamannya qot’i dia anggap sebagai hal yang halal. Ini namanya jahl murokab, bodoh rangkap terjadi di Darul Islam di zaman sahabat, bukan anak kemarin sore yang bodoh tapi sahabat senior. Artinya menerapkan kaidah-kaidah yang dibuat para ulama itu tidak asal,tapi dilihat praktiknya bagaimana di zaman para salaf.

2.        Khata’/ kekeliuran.
3.        Canda/ humor. Mungkin karena humor lalu kepleset lalu melakukan sesuatu yang haram
4.        As Saffah, tidak bisa menimbang mana yang mashlahat, mana yang madhorot. Bukan idiot, akalnya normal namun tidak bisa menimbangnya mana yang lebih kuat antara keduanya.
5.        Mabuk
6.        Paksaan

Dalam masing-masing rinciannya nanti para ulama terlibat banyak sekali perbedaan pendapat sejak zaman para salaf sampai hari ini. Sehingga segala hal dianggap sama dan yang tidak sependapat tidak Muwahid,  maka itu berarti keliru menempatkan derajat masalah dan derajat dalil.

::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


  Teks Asli :


About

Here you can share some biographical information next to your profile photo. Let your readers know your interests and accomplishments.