Mengetahui
salah satu kesalahan mereka, yaitu tidak membedakan dan dalam penerapannya antara tingkatan perkara dengan tingkatan dalil.
Keenam
Mengetahui
bahwa pokok-pokok (pangkal) kesesatan kaum yang melesat keluar dari Islam
tersebut adalah mereka tidak membeda-bedakan antara tingkatan-tingkatan
perkara-perkara, semua persoalan dianggap sama derajatnya. Yang
Mujma’ dan mukhtalaf tidak dibedakan, yang diketahui oleh semua umat dengan
yang hanya diketahui oleh ulama saja tidak dibedakan, perkara yang mahsyur
dengan yang tidak mahsyur di suatu tempat dengan tempat yag lain tidak
dibedakan. Ini perkara Maklum Minaddin bi Dhorruroh dan Ghoiru Ma’lum Minaddin
bi Dhoruroh tidak dibedakan.
Perkaranya
tidak dibedakan dan tingkatan-tingkatan dalil-dalil tidak dibedakan. Padahal
kekuatan dalil Al Qur’an dan Dalil bertingkat-tingkat. Sama-sama ayat dan
sama-sama hadits kekuatan penunjukan terhadap sebuah makna itu bermacam-macam,
ada dalil:
- - Qot’i Tsubut, sudah pasti kebenaran berasal dari wahyu, yaitu Al Qur’an atau hadits mutawatir.
- - Qot’i Dholalah, penunjukannya pasti tidak mungkin menunjukkan lain, seperti ayat “qulhulallah..”, itu qat’i tsubut sekaligus Qot’i Dholallah karena tidak mungkin dimaknai dengan takwilan lain, hanya punya satu makna bahwa Allah itu satu.
- - Qat’i Tsubut tapi Dhonni Dholallah. Ayatnya jelas atau hadits muttawatir, tapi penunjukkannya masih dhoni, memungkinkan menunjukkan beberapa makna. Yang satu dengan lain untuk mentarjihnya itu menjadi lahan ijtihad ulama. Banyak hadits-hadits dan ayat-ayat alquran yang seperti itu.
-
Dhonni Tsubut Qoat’i Dholalah,
dalil secara kekuatan bukan ayat Al Quran juga bukan hadits mutawatir/ahad,
tapi kekuatan penunjukannya sangat kuat tidak mungkin dimaknai lain.
Seperti hadits tentang haji yang seumur hidup wajibnya sekali, dalilnya
dhonni tapi kekuatannya pasti. Contoh lain tentang sholat yang wajib 5 waktu
saja, haditsnya ahad. Ada contoh lain yang bahkan beberapa menunjukan sebagai tanda
keimanan seperti siksa kubur disebut tsbut hadistnya tapi penunjukkannya qot’i,
tidak mungkin ditafsirkan tidak ada siksa kubur.
-
Dhonni Tsubut hadist ahad Dhonni
Dholallah, penunjukannya mempunyai banyak pengertian, bisa ditafsirkan dengan
beberapa tafsiran yang untuk menentukan mana tafsiran yang lebih kuat memerlukan
ijtihad para ulama yang itu menjadi lahan perbedaan pendapat dikalangan ulama.
-
Belum lagi ayat dan hadist karena
berasal dai bahasa arab yang dalam cara memahaminya terjadi perbedaan pendapat.
Ada amm, khos, mutlak, muqoyyad, nash, dhohir, mufassa, mantuk, mafhum.
kekuatan dalil saja cara memahaminya bertingkat-tingkat.
Nah ini karena dipukul rata okoknya dalilnya bunyi gitu dianggap cara dia
memahami itu adalah satu-satunya cara memahami ayat dan hadits. Sehingga jika
orang lain berbeda paham cara memahaminya dianggap menentang dalil, mengajukan,
mendahulukan pendapat manusia atas dalil, turunlah hujan batu dari langit.
Meskipun mereka mengklaim tidak
begitu, namun realita secara tegas mendustakan klaim mereka tersebut. Mereka
memposisikan perkara-perkara yang zhanni (memungkinkan
terjadi perbedaan pendapat) kepada posisi perkara-perkara yang qath’i, seperti
yang telah disebutkan oleh para ulama kita tentang keadaan orang-orang
Khawarij.
Kalian akan melihat bagaimana mereka
menamakan cara-cara berdalil mereka yang satu sama lain saling tumbang itu dengan
nama-nama “perkara-perkara qath’i”, “dalil-dalil qath’i” dan lain sebagainya! Ada ayat dan
hadits mereka pahami dengan cara mereka sendiri dan dalam beberapa kiondisi
memilih perkataan sebagian ulama entah mutaqoddimin atau muttaakhirin lalu
dianggap satu-satunya penafsiran padahal dalam kesempatan lain ulama yang
mereka nukil itu mungkin akan menyebutkan penafsiran yang tidak begitu, bahkan beberapa
kali mereka memotong-motong pendapat para ulama dan dibuang yang tidak
menguatkan pendapatnya lalu dikatanyan seperti itu qowati’, qot’i, pasti, tidak
boleh ada beda.
Kalian akan melihat bagaimana Abu
Maryam Al-Mukhlif yang terkena ujian tersebut secara dusta dan palsu
menyebutkan ijma’ dalam banyak perkara dengan cepat-cepat. Mungkin jika
kita baca tulisan abu maryam lain maka kita tidak akan kaget dengan apa yang
diceritakan syaikh Athiyatullah di sini.
Kalian akan melihat bagaimana mereka
sangat jauh dari kebiasaan ulama generasi salaf yang mengatakan “kami
berpendapat begini”, “menurut kami begini”, “kami menganggap”, “kami khawatir”,
“kami senang begini”, dan “kami tidak senang begini”. Dinisbatkan
pendapat-pendapatnya kepada dia sendiri, tidak dia nisbahkan kepada Islam.
Padahal ini yang berbicara para ulama salaf. Sampai-sampai sebagian ulama salaf
seperti Imam Malik menyitir firman Allah berikut ini saat ia ditanya tentang
sebagian perkara:
إِنْ نَظُنُّ إِلا ظَنًّا وَمَا
نَحْنُ بِمُسْتَيْقِنِينَ
Kami sekali-kali tidak
lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak yakin. (QS. Al-Jatsiyah [45]: 32)
Kehati-hatian para ulama salaf, mereka
sangat khawatir salah berbicara dalam berbicara dalam masalah agama. Kalau kita
baca bagaimana seperti dikisahkan oleh Syaikh Hatim Al Hauni menceritakan bagaimana
pada masa belakangan ini timbul menurut beliau dua istilah yang perlu dibedakan,
muttafannin dan mutakhassis.
Muttafannin : orang yang tahu banyak
disiplin ilmu, tafsir tahu tapi sedikit-sedikit, hadits tahu tapi
sedikit-sedikit, fiqih tahu tapi sedikit-sedikit, sejarah tahu tapi
sedikit-sedikit. Semua ilmu dia tahu tapi setahunya saja. Beda sekali dengan
muttakhassis.
Muttakhassis : ulama yang spesialisasi
dalam satu bidang tertentu, sementara di bagian lain ia lemah. Dan dari situ Muttakhassis
punya satu kelebihan menghidupkan tradisi salaf yaitu mengatakan “la adri..”, “saya
tidak tahu”. Untuk masalah-masalah yang diluar spesialisasinya. Sehingga mereka
akan hati-hati bicara dalam masalah-masalah yang ia tidak tekuni sekalipun
punya kemampuan.
Dicontohkan bagaimana seorang Syaikh Muhammad
bin Sholih al ‘Utsaimin ditanya tentang hadist ashabu royati suud, beliau
menjawab “saya tidak tahu” dijawab dalam fatwa aqidahnya. Dan itu tidak masalah
orang tahu atau tidak tahu tentang masalah itu, tidak mempengaruhi keabsahan
imannya pada hari kiamat. Dan tidak mempengaruhi amalanya, entah mau kapan Al Mahdi
keluar tandanya apa tidak ada pengaruhnya. Yang penting ibadah baik-baik dan
menjaga ibadahnya.
Tapi kalau muttafannin semua tahu tapi
sedikit-sedikit, setahunya saja. Itu sulit sekali menghidupkan tradisi “la adri”/
“saya tidak tahu”. Pokoknya semua hal pingin ikut nimbrung ngomong, padahal dia
bukan spesialis dan dia berani membantah orang-orang yang spesialisasi di
bidang-bidang tertentu karena merasa dia juga mempunyai kemapuan di bidang itu.
Nah ini, seperti ini kira-kira, kalau
zaman dahulu para ulama begitu apalagi zaman sekarang, bukan ulama tapi orang-orang
awam sudah bicara masalah-masalah besar, masalah keislaman dan kekafiran orang
lain. Bukan satu dua orang yang dibicarakan tapi ribuan bahkan jutaan orang.
Padahal yang mengatakannya “nadzunnu kadza wannaro kadza...” adalah para ulama
salaf, para ulama yang kemampuan ilmunya tentu jauh di atas kita.Ada seorang
murid Imam Ahmad bertanya kepada Imam Ahmad, “Wahai Abu Abdillah ada orang
hafal 100.000 hadits, apakah orang itu bisa disebut ulama hadist?” Kata Imam
Ahmad “Tidak”, lalu muridnya bertanya lagi “bagaimana kalau dia hafal 200.000
hadits, apakah dia dianggap ulama hadits?” Imam Ahmad menjawab “Tidak”, lalu
ditanya lagi “bagaimana jika ia memiliki hafalan mengetahui 300.000 hadits?”
Maka Imam Ahmad menjawab “300.000 di sini dan 300.000 di sini” baru disebut
ulama hadits”.
Itu standar para ulama salaf kita, zaman
abad 3 H, mereka yang berani mengatakan “nadzunnu
kadza wannaro kadza...”, waro’nya seperti itu. Dan orang tidak akan berani-beraninya
berfatwa sebelum dia mendapat rekomondasi dari para ulama yang lebih senior,
para ulama yang banyak. Bagaimana Imam Abu Yusuf ketika merasa sudah pintar
lalu mundur dari halaqoh nya Imam Abu Hanifah merasa sudah pintar karena dipuji
oleh gurunya, dianggap pujian itu sebagai rekomondasi lalu memisahkan diri dari
majlisnya Abu Hanifah. Membuat majlis sendiri beda hari dengan gurunya. Ketika pengajian-pengajian
berikutnya Abu Hanifah tidak melihat Abu Yusuf, maka dia kirim beberapa
muridnya dengan beberapa pertanyaan fiqih suruh menanyakan kepada Abu Yusuf dan
Abu Yusuf tidak bisa menjawabnya. Akhirnya habis itu dia balik ke majlisnya Abu
Hanifah, belajar terus sampai gurunya meninggal baru berhenti belajar pada
gurunya itu dan akhirnya jadi ulama besar pada zaman Amirul Mu’minin Harun
Arrrosyid.
Ada Imam Tajuddin as Subqi pada abad 8
H, seorang ulama hadits madzhab Syafii menerangkan bagaimana ketatnya standar
ulama pada masa beliau hidup pada masa-masa zaman Ibnu Katsir. Ketat sekali
orang bisa disebut ulama. Tapi sekarang orang sudah kehilangan akhlak-akhlak,
adab-adab itu sehingga menyebar sebuah penyakit di kalangan para pelajar
penuntut ilmu yang dinamakan Syaikh bakr Abu Zaid, “sok alim”. Belum saatnya
membahas masalah-masalah umat sudah berani mengeluarkan fatwa, menjatuhkan
statemen ini dan itu, karena tidak ada ke-waro’-an dan tidak mengetahui bahwa bagaimana
kata Imam Syafi’i bahwa orang belajar jika 1/3nya maka ia akan sombong, begitu
1/3 lagi maka ia akan tawadhu, ketika ketika 1/3 terakhir maka dia akan sadar
bahwa dia masih perlu belajar terus.
Orang-orang yang terkena ujian dan
tersesat itu akan menjawab kepada kalian, “Zhann (dugaan-dugaan) itu hanya
dalam perkara-perkara cabang fiqih dan cabang-cabang hukum syariat yang
sifatnya ijtihad.”
Memang benarapa yang mereka
katakan. Tapi
juga benar bahwa sesungguhnya banyak perkara yang dijadikan landasan pemikiran
oleh Abu Maryam Al-Mukhlif dan para pengikutnya yang tersesat tersebut hanyalah
perkara-perkara fiqih, cabang dan ijtihad. Bukan masalah-masalah aqidah, bukan iman dan
kufur, bukan tauhid dan syirik yang
sifatnya Muttafaq ‘alaih.
Pangkalnya adalah induk perkara yang
mereka pegang teguh ---seperti para pendahulu mereka, Jama’at Takfir wal Hijrah (sebenarnya
nama ini yang membuat aparat Mesir ketika orang ini ditangkap masuk penjara) dan orang-orang Khawarij
kontemporer selalunya memulai pemikiran mereka dari perkara ini--- yaitu
perkara udzur dengan kebodohan. Ini sebenarnya masalah fiqih karena berkaitan dengan
qadha/ peradilan dimana ada kaitannya dengan melihat orang, bukan melihat
masalah fiqih atau aqidah, bukan permasalahnnya tapi yang dilihat orangnya memiliki kemungkinan mendapatkan ilmu atau tidak. Ini adalah perkara fiqih,
yang menjadi kajian para ulama fiqih. Namun mereka menjadikan perkara ini sebagai
perkara pokok-pokok agama dan akidah
(ushulud dien wal i’tiqad) dan perkara-perkara tauhid yang bersifat qath’i. Salah menempatkan
perkara, tidak membedakan tingkatan-tingkatan perkara. Masalah fiqih dianggap
sebagai intinya tauhid.
Ini salah satu sebab pokoknya, tidak membedakan antara
tingkatan masalah dengan tingkatan dalil. Salah satu yang mereka jadikan
langkah awal pembinaan adalah maslah udzur bi Jahl. Bahkan masalah udzur bi
jahl ini istilahnya adalah mesin untuk ngetes orang, orang ini muwahid atau
tidak, muslim atau musyrik, ahlu bid’ah atau ahlussunnah dilihatnya dari kaca
mata udzur bil jahl. Padahal kalau kita baca kitab-kitab fiqih masalah udzur
seperti udzur bil jahl, udzul bil ikrah, udzur bil khata’ itu dibahas di
buku-buku ushul fiqih di kalangan para ulama. Di mana dalam pembahasan ushul
fiqih itu selalunya dibahas ada masalah al hakim, Allah sebagai Dzat yang
berhak menetapkan hukum. Lalu ada masalah perbuatannya, nanti perbuatannya ada hukum taklifi
(wajib, sunnah, makruh, dll) ada wat’i (syarat, rukun, batal, rukhsah, dll).
Dan ada lagi pembahasan mahkum ‘alaih, mukallaf siapa yang terkena perintah
menjalankan wahyu apakah orang gila, dst. Ketika membahas mukalaf itu nanti
akan ada pembahasan al ahliyah.., tentang orang punya ahliyah/ kelayaka untuk
menjalankan taklif atau tidak. Apa saja yang menghalangi seseorang tidak
mengerjakan taklif. Nanti ada awarij/ penghalang yang sifatnya samawiyah, yaitu penghalang yang
sifatnya dari Allah langsung, seperti :
a.
Gila
b.
Al ‘Ithu (idiot)
c.
Lupa
a.
Tidur dan pingsan
b.
Sakit
c.
Kematian
Kemudian ada awarij/ penghalang Muktasabah, penghalang yang sifatnya dalam
sebagian kondisi menyebabkan seorang mukalaf tidak terkena dosa ketika
mengalami awarij selama awarij/ penghalangnya benar-benar realistis memungkinkan
menimpa dirinya, seperti :
1.
Al Jahlu, masalah kebodohan.
Nanti ini dibahas lagi oleh para ulama, Al Jahlu fii Daril
Islam dan Al Jahlu fii Daril Harbi. Nanti itu jelas beda kalau zaman para ulama
membuat kaidah “kebodohan itu tidak dianggap udzur kalau manusia berada di
darul islam”. Itupun praktiknya juga tidak kaku, contohnya dari kalangan ulama
itu ada kaidah dalam perkara-perkara yang jelas/ dhohirah/ mutawatirah/ yang
dalilnya mutawatir yang semua orang tahu
apalagi dia di Darul Harbi orang melanggar syariat itu tidak ada udzur dengan
kebodohan. Tapi praktiknya tidak sekaku itu.
Ada sahabat Ahlul Badar, dia mujahirin, orang Quraisy,
bahkan ikut bai’atu ridwan, berarti dia masuk Islamnya bukan kemarin sore,
sudah 20-an tahun. Dia juga hidup di zamannya Abu Bakar Asy Syidiq, zaman
khulafaur rasyiddin di negeri Islam, juga hidup di zaman Umar bin Khatab
sebagai khalaifah, bahkan diangkat oleh Umar bin Khatab menjadi gubernur. Dan
dia mabuk secara sengaja minum khomr. Ketika dilaporkan kepada Umar dipanggil
ke Madinah untuk disidang –Qudamah bin Mat’un namanya- dan dia bilang bahwa
Khamr itu baginya halal. Ini orang hidup di Darul Islam, puluhan tahun masuk
islam dan hidup di zaman nabi dan zaman khulafaur rasyiddin. Secara ilmu dia
hidup di Darul Islam, tidak ada udzur bi jahl. Perkara yang dibahas di sini
masalah khamr itu halal apa haram, anak kecil kalau di Darul Islam mestinya paham,
tapi ini gubernur bukan orang bodoh. Ketika mau didera itu dia bilang baginya
khomr itu halal karena ada dalilnya dalam Al Qur’an, “laisa ‘alalladzi...”(Al
Maidah). Ayat itu letaknya 3-4 ayat setelah ayat pengharaman khamr. Orang salah
memahami ayat, padahal ayat ini cara memahaminya tidak begitu. Ayat ini asbabul
nuzulnya sahabat-sahabat yang meninggal sebelum turunnya khomr. Bagaimana
ketika turu khomr orang-orang bertanya bagaimana nasib para sahabat yang masih
minum khomr sebelum turunnya ayat pengharaman khomr. Kalau orang sudah beriman,
beramal sholeh, jihad, hijrah, dsb dan dia minum khomr sebelum turunnya ayat
itu tidak apa-apa. Intinya ayat begitu, tapi karena dia baca ayat dhohirnya
saja dan tidak tahu azbabun nuzulnya maka dia salah memahami sesuatu yang
keharamannya qot’i dia anggap sebagai hal yang halal. Ini namanya jahl murokab,
bodoh rangkap terjadi di Darul Islam di zaman sahabat, bukan anak kemarin sore
yang bodoh tapi sahabat senior. Artinya menerapkan kaidah-kaidah yang dibuat
para ulama itu tidak asal,tapi dilihat praktiknya bagaimana di zaman para salaf.
2.
Khata’/ kekeliuran.
3.
Canda/ humor. Mungkin karena humor lalu kepleset lalu
melakukan sesuatu yang haram
4.
As Saffah, tidak bisa menimbang mana yang mashlahat, mana
yang madhorot. Bukan idiot, akalnya normal namun tidak bisa menimbangnya mana
yang lebih kuat antara keduanya.
5.
Mabuk
6.
Paksaan
Dalam masing-masing rinciannya nanti para ulama terlibat banyak sekali
perbedaan pendapat sejak zaman para salaf sampai hari ini. Sehingga segala hal
dianggap sama dan yang tidak sependapat tidak Muwahid, maka itu berarti keliru menempatkan derajat
masalah dan derajat dalil.
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Teks Asli :