____________________________________
Khawarij atau yang sejenis dengan mereka tetap mengkafirkan ulama-ulama yang sependapat dengan mereka (tdk ada udzur kebodohan dlm syirik akbar) karena ulama-ulama tersebut memberikan udzur/ tidak mengkafirkan ulama lain yang tidak sependapat dengan mereka. Karena memang menurut para ulama terpercaya, masalah ini hanya ijtihad, seperti Syeikh Almaqdisi
Syaikh almaqdisi tidak mengkafirkan syaikh bin Baz meski beliau ulama thaghut.
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Sebagian mereka menjadikan perkara
ini sebagai bagian dari perkara yang tersamar (masail khafiyah) sesuai
klasifikasi mereka, namun tak lama kemudian mereka juga mengkafirkan para ulama
yang berbeda pendapat dengan mereka dalam perkara tersebut, dengan alasan telah
tegak hujah atas mereka. Oleh karena itu mereka juga mengkafirkan para ulama
yang sebenarnya sependapat dengan mereka dalam masalah udzur dengan kebodohan,
seperti Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi, Syaikh Ali Al-Khudhair, Syaikh Nashir
Al-Fahd, Syaikh Hamud bin ‘Uqla dan lain-lain; juga Syaikh Hamid Al-Ali, Syaikh
Abdul Qadir bin Abdul Aziz dan banyak ulama lainnya.
Sekalipun para ulama tersebut
berpendapat tidak ada udzur dengan kebodohan dalam perkara pokok agama (syirik
akbar), namun Abu Maryam Al-Mukhlif dan para pengikutnya tetap mengkafirkan
para ulama tersebut, karena para ulama tersebut ---menurut mereka--- memberi
udzur kepada orang yang berbeda pendapat dengan mereka dalam perkara tersebut,
menganggapnya sebagai perkara ijtihad, dan mereka tidak mengkafirkan
orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka.
Itu pendapat yang mereka (ulama-ulama
yang berpendapat tidak ada udzur bil jahl) pegangi berdasarkan kajian yang
mereka lakukan. Tapi terhadap ulama-ulama lain yang tidak sependapat seperti
itu yang jumlahnya juga banyak seperti Syaikh al Ulwan, Syaikh ‘Utsaimin, Abu
Yahya allibi, Syaikh Abu Qatadah, dll mereka berpendfpat berbeda dan diantara
mereka tidak pernah ada kafir-mengkafirkan ataupun fasik memfasikan karena bagi
mereka ini persoalan ijtihadiyah.
Maka Abu Maryam Al-Mukhlif dan para
pengikutnya mengatakan: “Para ulama tersebut telah kafir, karena mereka tidak
mengkafirkan orang-orang kafir, padahal telah tegak hujah atas diri mereka!”
Begitulah anggapan mereka, bahwa “kami sudah menjelaskan kepada mereka tidak ada
udzur bil jahl dalam kesyirikan akbar dan para ulama sendiri juga berpendapat
begitu jadi kalau tidak konsekwen dengan memaafkan ulama lain yang berbeda
pendapat dengan mereka berarti tidak mengkafirkan orang kafir, sudah tegak
hujjah menyelisihi hujjah maka dianggap kafir juga. Inilah kafir berartai yang
mereka lakukan.
Permasalahan udzur bil jahl ini
dikatakan Syaikh ‘Athiyatullah sangat berat dan panjang sekali, ada tempatnya
tersendiri, dan dalam ruang artikel yang semula tanya jawab ini bukan untuk
membahas itu. Tapi sampai hari ini banyak sekali para ulama menulis buku baik
yang berpendapat ada udzur maupun tidak ada udzur bil jahl dan kadang dua kelompok
yang beda ini nyomot-nyomot dari ulama yang sama. Misalkan yang berpendapat ada
udzur bil jahl nanti memakai perkataan Ibnu Taimiyah, nanti yang berpendapat
tidak ada udzur juga mengambil perkataan Ibnu Taimiyah. Kalau dari dulu ada
perbedaan yang demikian tajam sampai hari ini maka sangat sembrono kalau ada
yang mengatakan kalau ini merupakan masalah yang sudah ijma’, qot’i. Karena
kita lihat dari para ulama sendiri yang berpendapat tidak ada udzur bil jahl
seperti umpamanya Syaikh al Maqdisi kalau diterapkan pada kenyataan, umpamanya
dalam fatwanya, ditanya apakah benar syaikh al Maqdisi mengkafirkan Syaikh bin
Baz dan Syaikh ‘Utsaimin? Maka beliau menjawabnya selalu menolak, tidak
mengkafirkan Syaikh bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin. Padahal jelas jika dilihat
dari kedudukannya bahwa Syaikh bin Baz itu mufti, ulama Thaghut. Kalau namanya
ulama thaghut, mentaati thaghut itu secara berarti tidak mengkufuri thaghut,
tapi persoalannya bukan dalam masalah kufur dengan thaghut, tapi tahu tidak
Syaikh bin Baz ini kalau yang dia anggap ulil amri itu thaghut. Jadi
persoalannya dianggap penguasanya ini masih ulil amri, karena anggapan seperti
itu Syaikh bin Baz salah analisa. Mau tidak mau salah analisa itu namanya jahil
muroqab, sesuatu yang dianggap thaghut yang harus dikufuri namun dianggap
sebagai amirul mu’minin yang wajib didengar dan ditaati. Tapi tidak serta merta
kemudian Syaikh al Maqdisi mengkafirkan Syaikh bin Baz. Dan seperti ini itu
banyak dikalangan ulama kita.
Mufti sebelumnya, Syaikh Muhammad bin
Ibrahim Alu Syaikh yang termasuk keturunannya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahb
juga. Dia sangat keras dalam masalah penerapan hukum-hukum sekuler di Arab
Saudi. Beliau memfatwakan bahwa undang-undang, kantor dagang Arab Saudi itu
hukum wat’i yang kufur, tapi tetap saja beliau jadi mufti seumur hidupnya
sampai beliau meninggal. Dan tetap saja beliau menganggap penguasa Arab Saudi itu
sebagai ulil amri yang wajib ditaati. Dan lalu apa kemudian ada ulama
lancang-lancangnya berani mengatakan bahwa Syaikh Ibrahim alu Syaikh telah terjatuh
pada syirik akbar karena tidak merealisasikan syarat tauhid yaitu “iman billah
dan kufr bi thaghut”? Tidak semudah itu, karena persoalannya ini bukan menolak
kewajiban itu tadi. Tapi persoalannya tetang identifikasi ini benar thaghut
atau bukan, ini syirik akbar atau bukan. Karena itu namanya takfir ta’yin, yang
dihukumi orang bukan perbuatan. Bukan diliat orang berbuat begitu maka langsung
musyrik, langsung kafir. Tidak seperti itu, tapi dilihat benar atau tidak
kondisi orangnya seperti apa. Apakah mungkin pada dia terjadi kebodohan, ada
atau tidak usaha dari dia menolak kebodohan itu tadi. Dengan usaha saja orang kadang
tidak sampai kepada kebenaran karena faktor taqlid kepada ulama yang ngajari
dia seperti itu. Ada usaha belajar tapi adanya ulama-ulama yang mengajar
seperti itu umpamanya. Nah ini mewajibkan seorang muslim untuk berhati-hati.
Secara umum kita akan membahas beberapa
dalil yang disebutkan oleh para ulama dalam buku-buku mereka tentang tidak
adanya udzur bil jahl pada perkara syirik akbar. Mereka menyebutkan beberapa
dalil baik ayat atau hadits atau yang mereka klaim sebagai ijma’.
1.
Ayat Mitsaq, ayat tentang perjanjian antara Allah dengan
bibit-bibit manusia. yaitu dalam QS. Al ‘Arof 72-74.
2.
Ayat-ayat yang berkenaan dengan oarang-orang musyrik asli
yang belum pernah masuk Islam yang disebutkan dalam ayat-ayat ini mereka bodoh
dan mereka tidak diudzur. Seperti QS. Al Bayyinah, QS. At Thaubah 5 atau 6, dan
beberapa ayat lain yang menyebutkan bahwa ini orang-orang musyrik yang semuanya
bodoh dan Allah tetap menganggap mereka musyrik, kafir, masuk neraka, dsb.
3.
Hadist-hadits yang mengisahkan tentang orang-orang
musyrik jahiliyyah sebelum diutusnya rasul dan mereka masuk neraka. Padahal
belum datang kepada mereka risalah secara khusus. Ada hadits tentang bapak-ibunya
nabi Muhammad yang masuk neraka, hadits bani Muntaffak yang kira-kira menyebutkan
bahwa dimanapun kamu melewati kuburan orang Bani Amir, atau orang Qurasy, atau
orang musyrik arab lainya maka beritahukanlah kepada dia bahwasannya dia akan
masuk neraka. Dan banyak riwayat seperti itu kira-kira.
Nah ini beberapa ayat dan hadits dan nanti ada beberapa klaim yang mereka
sebut ijma’ yang mereka kutip dari para ulama belakangan abad 13 H. Yang kalau
kita mundur sejarahnya sedikit pada abad 12 H saja ketahuan kalau itu tidak
ijma’.
Pembahasan dalilnya :
1.
Ayat Mitsaq, QS. Al ‘Arof ayat 72-74. Disebutkan bahwa Allah
mengambil perjanjian dengan setiap benih. Ketika seorang calon janin yang masih
berada dalam tulang sulbi bapaknya, dia diambil oleh Allah, dihadapkan,
ditebarkan lalu diambil perjanjian “Bukankah Aku ini Rabb kalian?” maka mereka
menjawab “ya, kami menyaksikan”, maka Allah menyatakan “Perjanjian ini dibuat
agar kalian nanti dihari kiamat mengatakan bahwa kami lengah, kami lalai dari
perjanjian ini. Atau jangan sampai di hari kiamat nanti kalian mengatakan bahwa
yang berbuat musyrik itu kan bapak-bapak kami, orang tua kami, nenek moyang
kami yang sementara kami ini hanya keturunan yang datang setelah mereka. Kami
hanya meneruskan tradisi yang sudah mereka lakukan, apakah Engkau akan mengazab
kami karena perbuatan batil orang-orang sebelum kami?”. Dari situ mereka
mengutip beberapa perkataan ahli tafsir yang menunjukkan bahwasannya setiap
orang itu karena sudah diambil mitsaq, perjanjian fitrahnya sementar dalam ayat
itu disebutkan, sementara tujuan diambilnya mitsaq itu agar nanti di akhirat
tidak ada yang beralasan dengan taqlid atau dengan lalai/ bodoh. Maka ketika
orang turun ke duania itu dia sudah ada hujjah padanya yang kalau dia melanggarnya
maka dia akan masuk neraka. Di duania jelas langsung dia musyrik karena hujjah
sudah tegak terhadapnya. Maka tidak ada udzur bil jahl sama sekali karena
setiap orang punya hujjah mitsaq/ hujjah fitrah tadi. Tidak perlu ada rasul,
tidak perlu kitab suci, tidak perlu dakwahpun sudah ada hujjah yang tegak
padanya. Makanya jika di melanggar otomatis di akhirat akan masuk neraka, dan
jika di dunia melanggar maka dia langsung musyrik, kafir. Dan mereka kemudian
mereka mengutip sebuah hadits dalam Shohih Bukhari-Muslim tentang ayat itu
bahwasannya nanti di akhirat orang yang paling ringan siksanya akan di hadapkan
kepada Allah, lalu ditanya kira-kira “Seandainya kamu mempunyai emas sepenuh
bumi apakah kamu mau menebus siksa neraka itu?” maka orang itu menjawab “iya,
benar”, maka Allah menyatakan “Sebenarnya yang Aku inginkan dari kamu itu murah
saja, tidak perlu tebusan emas sebesar bumi namun cukuplah kamu di dunia dahulu
tidak perlu berbuat syirik, maka kamu tidak perlu di siksa di sini”. Maka
menurut mereka bahwa hadits ini orang berbuat syirik karena faktor kebodohan
dan sekalipun kebodohannya sah memang memungkinkan terjadi kebodohan pada
dirinya maka tidak ada udzur sama sekali.
Ini cara mereka memahami ayat dan hadits ini. Dan jika
kita cek dalam kitab-kitab tafsir yang asli ternyata perkataan para ulama
tafsir itu mereka sebutkan sepotong-sepotong, ada banyak lanjutannya itu tidak
disebutkan. Karena jika disebutkan akan jelas membatalkan cara mereka
berargumentasi ini.
Dalam hal ini, ada ulama hadits dari Sudan, murid dari
Syaikh Sulaiman bin Nasir al ‘Ulwan, namanya Syaikh Shadiq bin Abdurrahman.
Beliau dalam kasetnya tentang pembahasan udzur bil jahl menyebutkan bantahan
yang cukup mudah dan mengena tentang cara mereka berdalil dengan ayat fitrah,
mitsaq. Yang mana dengan itu maka orang sama sekali tidak berlaku udzur bil
jahl padanya. Beliau ambilkan sebuah kitab ahlussunnah wal jama’ah, yang diakui
oleh semua pihak baik yang berpendapat ada udzur maupun tidak ada udzur bil
jahl dalam syirik akbar, kedua kelompok memakainya. Beliau ambilkan penjelasan
dalam kitab “Syarh Ushul ‘Itiqad Ahlissunnah Wal Jama’ah”, buku yang sangat
terkenal yang hampir semua orang salafi mempelajari buku ini. Ada 9 jilid yang
dikarang oleh Imam Abul Qasib ‘Ibatullah bi Hasan bin Mansun al Qabari ar Razi
Alalikai, wafat pada tahun 418 H. Ini ulama abad 4 H, meninggal pada awal abad
15 H. Beliau menyatakan pada babnya itu pada juz 1 pada bagian-bagian awal
penjelasan tentang aqidah ahlussunnah wal jama’ah. Beliau sebutkan pemaparan
dari dalil-dalil dari Al Qur’an dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam
yang menunjukkan bahwasannya cara mengenal Allah, mengenal sifat-sifat Allah,
termasuk nanti mengenal Rasulullah itu sendiri, landasannya adalah dengan wahyu,
bukan dengan akal, bukan dengan fitrah semata.
· QS. Muhammad ayat 19. Allah berfirman kepada Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassalam dengan lafadz yang khusus tapi dengan
maksud umum untuk seluruh umatnya, “Fa’lam Annahu..., Maka ketahuilah wahai
Muhammad bahwasannya tidak ada Illah yang berhak diibadahi selain Allah”. Allah
jelaskan ini bukan lewat fitrah semata, tapi lewat wahyu yang disampaikan
melalui malaikat Jibril. Namanya tauhid itu ada dua bagian, yaitu tauhid “la
illa ha illallah” (tauhidul Ibadah) dan ada tauhid “Muhammadarrasulullah”
(tauhidul I’tiba’, mengikuti cara yang disampaikan oleh Rasulullah). Orang bisa
kenal Allah berdasarkan wahyu dan tahu cara beribadah kepada-Nya dengan
mengikuti Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassalam, dan itupun dengan wahyu.
·
QS. An Nahl ayat 106, “Wahai Muhammad, ikutilah wahyu
yang disampaikan kepadamu dari Rabbmu “tidak ada Illah yang berhak diibadahi
selain Dia”, dan berpalinglah kamu dari orang-orang musyrik”. Ayat ini jelas
sekali bahwa segala sesuatu itu diawalinya dari wahyu, tidak berdasarkan fitrah
atau akal semata.
·
QS. Al Ambiya’ ayat 25, Allah juga mengatakan bahwasannya
“dan tidaklah kami mengutus sebelummu wahai Muhammad seorang nabi/ rasulpun
kecuali kami wahyukan kepadanya bahwasannya tidak ada Illah yang berhak
disembah kecuali Allah, maka sembahlah Aku”. Dalam ayat ini Allah
memberitahukan kepada Nabi Muhammad bahwa dengan wahyu sematalah para nabi
sebelum beliau mengenal tauhid yang tidak mengandalkan fitrah yang diambil
darinya ketika mitsaq fitrah ketika masih dalam tulang sulbi bapaknya, tapi
berdasarkan wahyu yang Allah sampaikan kepada mereka.
·
QS. Saba’ ayat 50, “Katakanlah wahai Muhammad, jika aku tersesat
maka sesungguhnya aku menyesatkan diriku sendiri, dan kalau aku mendapatkan
petunjuk-kalau aku tahu ini syirik dan ini tauhid- maka semata-mata karena
wahyu yang Allah sampaikan kepadaku”. Nabi saja sepeti itu, dia mengenal
tauhid-syirik itu bukan karena ketika lahir punya mitsaq fitrah tapi
berdasarkan wahyu yang Allah sampaikan kepadanya. Artinya kalau umat ya
berdasarkan dakwah, kalau belum sampai ilmunya berarti fitrah semata belum
cukup.
Dan sungguh Nabi Ibrahim ketika berdebat dengan kaumnya
tentang ke-Esa-an Allah, wajibnya bertauhid kepada Allah, maka nabi Ibrahim
mendebat kaumnya dengan membuat logika “ketika datang malam maka ia melihat bintang,
maka dia mengatakan inilah Rabbku. Ketika keesokan paginya bantang itu lenyap
maka dia mengatakan aku tidak menyukai Tuhan yang hilang, pasti ini bukan Tuhan.
Maka ketika dia melihat bulan besok malamnya maka dia mengatakan inilah
Tuhanku. Maka ketika bulan ikut lenyap esok paginya maka ia mengatakan
seandainya tuhanku tidak memberikan petunjuk kepadaku, maka tentulah aku
termasuk orang-orang yang sesat. Maka orang sesata-tidak sesat, tahu tauhid-tidak
tahu tauhid itu bukan berdasarkan fitrah semata, tapi kalau ada hidayah Allah
beri petunjuk. Ketika dia siang melihat matahari dengan sinarnya yang kuta maka
dia mengatakan inilah Tuhanku karena ini lebih besar dari semua yang sudah aku
lihat sebelumnya. Ketika sore hari matahari juga lenyap, maka barulah dia sadar
dan membuat kesimpulan bahwa Tuhan itu berarti sesuatu yang tidak terlihat,
Maha Ghaib. Bagitulah cara beliau memahamkan kaumnya.
Kemudian dari ayat ini Imam al Likai mengatakan, maka
diketahui dari ayat ini bahwasannya hidayah itu datangnya berdasarkan adanya
wahyu, demikian juga wajibnya mengenal para rasul itu dengan wahyu. Kalau tidak
ada wahyu mana tahu kita bahwa Nabi Muhammad itu penutup para nabi dan rasul.
Mana tahu dulu ada nabi yang bernama Nuh, Hud, Shalih, sampai nabi ‘Isa ‘alaihissalam.
Jadi dari sini saja kelihatan bahwasannya berdalil dengan
ayat mitsaq untuk tidak ada udzur dalam kebodohan itu sangat bertentangan
dengan ayat-ayat ini.
·
QS. Al A’raf ayat 158
·
QS. Al Isra’ ayat 15
·
Qs. An Nisa ayat 165, “...kami utus para rasul sebagai pemberi
kabar gembira dan pemberi peringatan agar manusia tidak memiliki alasan untuk
membantah Allah setelah diutusnya para rasul.”
·
QS. Al Qashas ayat 45
·
QS. Thaha ayat 133, dalam ayat ini beliau mengatakan bahwasannya
ayat ini menunjukan dalam mengenal Allah dan para rasul-Nya (Tauhid Ibadah
& Tauhid Ittiba’) itu dengan wahyu, bukan dengan fitrah semata. Sebagaimana
yang telah dikabarkan oleh Allah. Dan inilah madzhab ahlussunnah wal jama’ah.
Dan beliau sebutkan beberapa hadits yang membahas tentang
ini.
Inilah singkatnya pembahasan dalil fitrah yang sering
mereka pergunakan
Teks Asli :