#17_Antara Tingkatan Perkara Dengan Tingkatan Dalil [4/4]


____________________________________

Khawarij atau yang sejenis dengan mereka tetap mengkafirkan ulama-ulama yang sependapat dengan mereka (tdk ada udzur kebodohan dlm syirik akbar) karena ulama-ulama tersebut memberikan udzur/ tidak mengkafirkan ulama lain yang tidak sependapat dengan mereka. Karena memang menurut para ulama terpercaya, masalah ini hanya ijtihad, seperti Syeikh Almaqdisi

Syaikh almaqdisi tidak mengkafirkan syaikh bin Baz meski beliau ulama thaghut.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Sebagian mereka menjadikan perkara ini sebagai bagian dari perkara yang tersamar (masail khafiyah) sesuai klasifikasi mereka, namun tak lama kemudian mereka juga mengkafirkan para ulama yang berbeda pendapat dengan mereka dalam perkara tersebut, dengan alasan telah tegak hujah atas mereka. Oleh karena itu mereka juga mengkafirkan para ulama yang sebenarnya sependapat dengan mereka dalam masalah udzur dengan kebodohan, seperti Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi, Syaikh Ali Al-Khudhair, Syaikh Nashir Al-Fahd, Syaikh Hamud bin ‘Uqla dan lain-lain; juga Syaikh Hamid Al-Ali, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz dan banyak ulama lainnya.
Sekalipun para ulama tersebut berpendapat tidak ada udzur dengan kebodohan dalam perkara pokok agama (syirik akbar), namun Abu Maryam Al-Mukhlif dan para pengikutnya tetap mengkafirkan para ulama tersebut, karena para ulama tersebut ---menurut mereka--- memberi udzur kepada orang yang berbeda pendapat dengan mereka dalam perkara tersebut, menganggapnya sebagai perkara ijtihad, dan mereka tidak mengkafirkan orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka.
Itu pendapat yang mereka (ulama-ulama yang berpendapat tidak ada udzur bil jahl) pegangi berdasarkan kajian yang mereka lakukan. Tapi terhadap ulama-ulama lain yang tidak sependapat seperti itu yang jumlahnya juga banyak seperti Syaikh al Ulwan, Syaikh ‘Utsaimin, Abu Yahya allibi, Syaikh Abu Qatadah, dll mereka berpendfpat berbeda dan diantara mereka tidak pernah ada kafir-mengkafirkan ataupun fasik memfasikan karena bagi mereka ini persoalan ijtihadiyah.
Maka Abu Maryam Al-Mukhlif dan para pengikutnya mengatakan: “Para ulama tersebut telah kafir, karena mereka tidak mengkafirkan orang-orang kafir, padahal telah tegak hujah atas diri mereka!” Begitulah anggapan mereka, bahwa “kami sudah menjelaskan kepada mereka tidak ada udzur bil jahl dalam kesyirikan akbar dan para ulama sendiri juga berpendapat begitu jadi kalau tidak konsekwen dengan memaafkan ulama lain yang berbeda pendapat dengan mereka berarti tidak mengkafirkan orang kafir, sudah tegak hujjah menyelisihi hujjah maka dianggap kafir juga. Inilah kafir berartai yang mereka lakukan.
Permasalahan udzur bil jahl ini dikatakan Syaikh ‘Athiyatullah sangat berat dan panjang sekali, ada tempatnya tersendiri, dan dalam ruang artikel yang semula tanya jawab ini bukan untuk membahas itu. Tapi sampai hari ini banyak sekali para ulama menulis buku baik yang berpendapat ada udzur maupun tidak ada udzur bil jahl dan kadang dua kelompok yang beda ini nyomot-nyomot dari ulama yang sama. Misalkan yang berpendapat ada udzur bil jahl nanti memakai perkataan Ibnu Taimiyah, nanti yang berpendapat tidak ada udzur juga mengambil perkataan Ibnu Taimiyah. Kalau dari dulu ada perbedaan yang demikian tajam sampai hari ini maka sangat sembrono kalau ada yang mengatakan kalau ini merupakan masalah yang sudah ijma’, qot’i. Karena kita lihat dari para ulama sendiri yang berpendapat tidak ada udzur bil jahl seperti umpamanya Syaikh al Maqdisi kalau diterapkan pada kenyataan, umpamanya dalam fatwanya, ditanya apakah benar syaikh al Maqdisi mengkafirkan Syaikh bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin? Maka beliau menjawabnya selalu menolak, tidak mengkafirkan Syaikh bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin. Padahal jelas jika dilihat dari kedudukannya bahwa Syaikh bin Baz itu mufti, ulama Thaghut. Kalau namanya ulama thaghut, mentaati thaghut itu secara berarti tidak mengkufuri thaghut, tapi persoalannya bukan dalam masalah kufur dengan thaghut, tapi tahu tidak Syaikh bin Baz ini kalau yang dia anggap ulil amri itu thaghut. Jadi persoalannya dianggap penguasanya ini masih ulil amri, karena anggapan seperti itu Syaikh bin Baz salah analisa. Mau tidak mau salah analisa itu namanya jahil muroqab, sesuatu yang dianggap thaghut yang harus dikufuri namun dianggap sebagai amirul mu’minin yang wajib didengar dan ditaati. Tapi tidak serta merta kemudian Syaikh al Maqdisi mengkafirkan Syaikh bin Baz. Dan seperti ini itu banyak dikalangan ulama kita.
Mufti sebelumnya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh yang termasuk keturunannya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahb juga. Dia sangat keras dalam masalah penerapan hukum-hukum sekuler di Arab Saudi. Beliau memfatwakan bahwa undang-undang, kantor dagang Arab Saudi itu hukum wat’i yang kufur, tapi tetap saja beliau jadi mufti seumur hidupnya sampai beliau meninggal. Dan tetap saja beliau menganggap penguasa Arab Saudi itu sebagai ulil amri yang wajib ditaati. Dan lalu apa kemudian ada ulama lancang-lancangnya berani mengatakan bahwa Syaikh Ibrahim alu Syaikh telah terjatuh pada syirik akbar karena tidak merealisasikan syarat tauhid yaitu “iman billah dan kufr bi thaghut”? Tidak semudah itu, karena persoalannya ini bukan menolak kewajiban itu tadi. Tapi persoalannya tetang identifikasi ini benar thaghut atau bukan, ini syirik akbar atau bukan. Karena itu namanya takfir ta’yin, yang dihukumi orang bukan perbuatan. Bukan diliat orang berbuat begitu maka langsung musyrik, langsung kafir. Tidak seperti itu, tapi dilihat benar atau tidak kondisi orangnya seperti apa. Apakah mungkin pada dia terjadi kebodohan, ada atau tidak usaha dari dia menolak kebodohan itu tadi. Dengan usaha saja orang kadang tidak sampai kepada kebenaran karena faktor taqlid kepada ulama yang ngajari dia seperti itu. Ada usaha belajar tapi adanya ulama-ulama yang mengajar seperti itu umpamanya. Nah ini mewajibkan seorang muslim untuk berhati-hati.
Secara umum kita akan membahas beberapa dalil yang disebutkan oleh para ulama dalam buku-buku mereka tentang tidak adanya udzur bil jahl pada perkara syirik akbar. Mereka menyebutkan beberapa dalil baik ayat atau hadits atau yang mereka klaim sebagai ijma’.
1.      Ayat Mitsaq, ayat tentang perjanjian antara Allah dengan bibit-bibit manusia. yaitu dalam QS. Al ‘Arof 72-74.
2.      Ayat-ayat yang berkenaan dengan oarang-orang musyrik asli yang belum pernah masuk Islam yang disebutkan dalam ayat-ayat ini mereka bodoh dan mereka tidak diudzur. Seperti QS. Al Bayyinah, QS. At Thaubah 5 atau 6, dan beberapa ayat lain yang menyebutkan bahwa ini orang-orang musyrik yang semuanya bodoh dan Allah tetap menganggap mereka musyrik, kafir, masuk neraka, dsb.
3.      Hadist-hadits yang mengisahkan tentang orang-orang musyrik jahiliyyah sebelum diutusnya rasul dan mereka masuk neraka. Padahal belum datang kepada mereka risalah secara khusus. Ada hadits tentang bapak-ibunya nabi Muhammad yang masuk neraka, hadits bani Muntaffak yang kira-kira menyebutkan bahwa dimanapun kamu melewati kuburan orang Bani Amir, atau orang Qurasy, atau orang musyrik arab lainya maka beritahukanlah kepada dia bahwasannya dia akan masuk neraka. Dan banyak riwayat seperti itu kira-kira.

Nah ini beberapa ayat dan hadits dan nanti ada beberapa klaim yang mereka sebut ijma’ yang mereka kutip dari para ulama belakangan abad 13 H. Yang kalau kita mundur sejarahnya sedikit pada abad 12 H saja ketahuan kalau itu tidak ijma’.

Pembahasan dalilnya :

1.      Ayat Mitsaq, QS. Al ‘Arof ayat 72-74. Disebutkan bahwa Allah mengambil perjanjian dengan setiap benih. Ketika seorang calon janin yang masih berada dalam tulang sulbi bapaknya, dia diambil oleh Allah, dihadapkan, ditebarkan lalu diambil perjanjian “Bukankah Aku ini Rabb kalian?” maka mereka menjawab “ya, kami menyaksikan”, maka Allah menyatakan “Perjanjian ini dibuat agar kalian nanti dihari kiamat mengatakan bahwa kami lengah, kami lalai dari perjanjian ini. Atau jangan sampai di hari kiamat nanti kalian mengatakan bahwa yang berbuat musyrik itu kan bapak-bapak kami, orang tua kami, nenek moyang kami yang sementara kami ini hanya keturunan yang datang setelah mereka. Kami hanya meneruskan tradisi yang sudah mereka lakukan, apakah Engkau akan mengazab kami karena perbuatan batil orang-orang sebelum kami?”. Dari situ mereka mengutip beberapa perkataan ahli tafsir yang menunjukkan bahwasannya setiap orang itu karena sudah diambil mitsaq, perjanjian fitrahnya sementar dalam ayat itu disebutkan, sementara tujuan diambilnya mitsaq itu agar nanti di akhirat tidak ada yang beralasan dengan taqlid atau dengan lalai/ bodoh. Maka ketika orang turun ke duania itu dia sudah ada hujjah padanya yang kalau dia melanggarnya maka dia akan masuk neraka. Di duania jelas langsung dia musyrik karena hujjah sudah tegak terhadapnya. Maka tidak ada udzur bil jahl sama sekali karena setiap orang punya hujjah mitsaq/ hujjah fitrah tadi. Tidak perlu ada rasul, tidak perlu kitab suci, tidak perlu dakwahpun sudah ada hujjah yang tegak padanya. Makanya jika di melanggar otomatis di akhirat akan masuk neraka, dan jika di dunia melanggar maka dia langsung musyrik, kafir. Dan mereka kemudian mereka mengutip sebuah hadits dalam Shohih Bukhari-Muslim tentang ayat itu bahwasannya nanti di akhirat orang yang paling ringan siksanya akan di hadapkan kepada Allah, lalu ditanya kira-kira “Seandainya kamu mempunyai emas sepenuh bumi apakah kamu mau menebus siksa neraka itu?” maka orang itu menjawab “iya, benar”, maka Allah menyatakan “Sebenarnya yang Aku inginkan dari kamu itu murah saja, tidak perlu tebusan emas sebesar bumi namun cukuplah kamu di dunia dahulu tidak perlu berbuat syirik, maka kamu tidak perlu di siksa di sini”. Maka menurut mereka bahwa hadits ini orang berbuat syirik karena faktor kebodohan dan sekalipun kebodohannya sah memang memungkinkan terjadi kebodohan pada dirinya maka tidak ada udzur sama sekali.
Ini cara mereka memahami ayat dan hadits ini. Dan jika kita cek dalam kitab-kitab tafsir yang asli ternyata perkataan para ulama tafsir itu mereka sebutkan sepotong-sepotong, ada banyak lanjutannya itu tidak disebutkan. Karena jika disebutkan akan jelas membatalkan cara mereka berargumentasi ini.
Dalam hal ini, ada ulama hadits dari Sudan, murid dari Syaikh Sulaiman bin Nasir al ‘Ulwan, namanya Syaikh Shadiq bin Abdurrahman. Beliau dalam kasetnya tentang pembahasan udzur bil jahl menyebutkan bantahan yang cukup mudah dan mengena tentang cara mereka berdalil dengan ayat fitrah, mitsaq. Yang mana dengan itu maka orang sama sekali tidak berlaku udzur bil jahl padanya. Beliau ambilkan sebuah kitab ahlussunnah wal jama’ah, yang diakui oleh semua pihak baik yang berpendapat ada udzur maupun tidak ada udzur bil jahl dalam syirik akbar, kedua kelompok memakainya. Beliau ambilkan penjelasan dalam kitab “Syarh Ushul ‘Itiqad Ahlissunnah Wal Jama’ah”, buku yang sangat terkenal yang hampir semua orang salafi mempelajari buku ini. Ada 9 jilid yang dikarang oleh Imam Abul Qasib ‘Ibatullah bi Hasan bin Mansun al Qabari ar Razi Alalikai, wafat pada tahun 418 H. Ini ulama abad 4 H, meninggal pada awal abad 15 H. Beliau menyatakan pada babnya itu pada juz 1 pada bagian-bagian awal penjelasan tentang aqidah ahlussunnah wal jama’ah. Beliau sebutkan pemaparan dari dalil-dalil dari Al Qur’an dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam yang menunjukkan bahwasannya cara mengenal Allah, mengenal sifat-sifat Allah, termasuk nanti mengenal Rasulullah itu sendiri, landasannya adalah dengan wahyu, bukan dengan akal, bukan dengan fitrah semata.
·     QS. Muhammad ayat 19. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassalam dengan lafadz yang khusus tapi dengan maksud umum untuk seluruh umatnya, “Fa’lam Annahu..., Maka ketahuilah wahai Muhammad bahwasannya tidak ada Illah yang berhak diibadahi selain Allah”. Allah jelaskan ini bukan lewat fitrah semata, tapi lewat wahyu yang disampaikan melalui malaikat Jibril. Namanya tauhid itu ada dua bagian, yaitu tauhid “la illa ha illallah” (tauhidul Ibadah) dan ada tauhid “Muhammadarrasulullah” (tauhidul I’tiba’, mengikuti cara yang disampaikan oleh Rasulullah). Orang bisa kenal Allah berdasarkan wahyu dan tahu cara beribadah kepada-Nya dengan mengikuti Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassalam, dan itupun dengan wahyu.
·         QS. An Nahl ayat 106, “Wahai Muhammad, ikutilah wahyu yang disampaikan kepadamu dari Rabbmu “tidak ada Illah yang berhak diibadahi selain Dia”, dan berpalinglah kamu dari orang-orang musyrik”. Ayat ini jelas sekali bahwa segala sesuatu itu diawalinya dari wahyu, tidak berdasarkan fitrah atau akal semata.
·         QS. Al Ambiya’ ayat 25, Allah juga mengatakan bahwasannya “dan tidaklah kami mengutus sebelummu wahai Muhammad seorang nabi/ rasulpun kecuali kami wahyukan kepadanya bahwasannya tidak ada Illah yang berhak disembah kecuali Allah, maka sembahlah Aku”. Dalam ayat ini Allah memberitahukan kepada Nabi Muhammad bahwa dengan wahyu sematalah para nabi sebelum beliau mengenal tauhid yang tidak mengandalkan fitrah yang diambil darinya ketika mitsaq fitrah ketika masih dalam tulang sulbi bapaknya, tapi berdasarkan wahyu yang Allah sampaikan kepada mereka.
·         QS. Saba’ ayat 50, “Katakanlah wahai Muhammad, jika aku tersesat maka sesungguhnya aku menyesatkan diriku sendiri, dan kalau aku mendapatkan petunjuk-kalau aku tahu ini syirik dan ini tauhid- maka semata-mata karena wahyu yang Allah sampaikan kepadaku”. Nabi saja sepeti itu, dia mengenal tauhid-syirik itu bukan karena ketika lahir punya mitsaq fitrah tapi berdasarkan wahyu yang Allah sampaikan kepadanya. Artinya kalau umat ya berdasarkan dakwah, kalau belum sampai ilmunya berarti fitrah semata belum cukup.
Dan sungguh Nabi Ibrahim ketika berdebat dengan kaumnya tentang ke-Esa-an Allah, wajibnya bertauhid kepada Allah, maka nabi Ibrahim mendebat kaumnya dengan membuat logika “ketika datang malam maka ia melihat bintang, maka dia mengatakan inilah Rabbku. Ketika keesokan paginya bantang itu lenyap maka dia mengatakan aku tidak menyukai Tuhan yang hilang, pasti ini bukan Tuhan. Maka ketika dia melihat bulan besok malamnya maka dia mengatakan inilah Tuhanku. Maka ketika bulan ikut lenyap esok paginya maka ia mengatakan seandainya tuhanku tidak memberikan petunjuk kepadaku, maka tentulah aku termasuk orang-orang yang sesat. Maka orang sesata-tidak sesat, tahu tauhid-tidak tahu tauhid itu bukan berdasarkan fitrah semata, tapi kalau ada hidayah Allah beri petunjuk. Ketika dia siang melihat matahari dengan sinarnya yang kuta maka dia mengatakan inilah Tuhanku karena ini lebih besar dari semua yang sudah aku lihat sebelumnya. Ketika sore hari matahari juga lenyap, maka barulah dia sadar dan membuat kesimpulan bahwa Tuhan itu berarti sesuatu yang tidak terlihat, Maha Ghaib. Bagitulah cara beliau memahamkan kaumnya.
Kemudian dari ayat ini Imam al Likai mengatakan, maka diketahui dari ayat ini bahwasannya hidayah itu datangnya berdasarkan adanya wahyu, demikian juga wajibnya mengenal para rasul itu dengan wahyu. Kalau tidak ada wahyu mana tahu kita bahwa Nabi Muhammad itu penutup para nabi dan rasul. Mana tahu dulu ada nabi yang bernama Nuh, Hud, Shalih, sampai nabi ‘Isa ‘alaihissalam.

Jadi dari sini saja kelihatan bahwasannya berdalil dengan ayat mitsaq untuk tidak ada udzur dalam kebodohan itu sangat bertentangan dengan ayat-ayat ini.

·         QS. Al A’raf ayat 158
·         QS. Al Isra’ ayat 15
·         Qs. An Nisa ayat 165, “...kami utus para rasul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan agar manusia tidak memiliki alasan untuk membantah Allah setelah diutusnya para rasul.”
·         QS. Al Qashas ayat 45
·         QS. Thaha ayat 133, dalam ayat ini beliau mengatakan bahwasannya ayat ini menunjukan dalam mengenal Allah dan para rasul-Nya (Tauhid Ibadah & Tauhid Ittiba’) itu dengan wahyu, bukan dengan fitrah semata. Sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Allah. Dan inilah madzhab ahlussunnah wal jama’ah.

Dan beliau sebutkan beberapa hadits yang membahas tentang ini.
Inilah singkatnya pembahasan dalil fitrah yang sering mereka pergunakan





Teks Asli :

About

Here you can share some biographical information next to your profile photo. Let your readers know your interests and accomplishments.