_______________________________
Point ke-6
Mengetahui bahwa pokok-pokok (pangkal) kesesatan kaum yang
melesat keluar dari Islam tersebut adalah mereka tidak membeda-bedakan antara
tingkatan-tingkatan perkara-perkara (mana yang qothi’, dhoni, ijma’) dan tingkatan-tingkatan
dalil-dalil (qat’i tsubut, dhilallah, dhohir, muawal, dll)
Meskipun mereka mengklaim tidak begitu, namun realita secara
tegas mendustakan klaim mereka tersebut. Mereka memposisikan perkara-perkara
yang zhanni-masih mengundang ikhtilaf- kepada posisi perkara-perkara
yang qath’i, seperti yang telah disebutkan oleh para ulama kita tentang
keadaan orang-orang Khawarij.
Kalian akan melihat bagaimana mereka menamakan cara-cara
berdalil mereka yang satu sama lain saling tumbang itu dengan nama-nama
“perkara-perkara qath’i”, “dalil-dalil qath’i” dan lain sebagainya!
Kalian akan melihat bagaimana Abu Maryam Al-Mukhlif yang
terkena ujian tersebut secara dusta dan palsu menyebutkan ijma’ dalam banyak
perkara.
Kalian akan melihat bagaimana mereka sangat jauh dari
kebiasaan ulama generasi salaf yang mengatakan “kami berpendapat begini”,
“menurut kami begini”, “kami menganggap”, “kami khawatir”, “kami senang
begini”, dan “kami tidak senang begini”. Mereka berhati-hati, tidak meyebutkan
ini wajib, ini haram, ini sunnah, ini makhruh. Sampai-sampai sebagian ulama
salaf seperti Imam Malik menyitir firman Allah berikut ini saat ia ditanya
tentang sebagian perkara:
إِنْ نَظُنُّ إِلا ظَنًّا وَمَا نَحْنُ بِمُسْتَيْقِنِينَ
Kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga
saja dan kami sekali-kali tidak yakin. (QS. Al-Jatsiyah [45]: 32)
Di dalam Jamiul ‘Ulum wal Hikam disebutkan dikalangan para
ulama salaf saking hatinya2nya takut terkena ayat :
“Dan janganlah kalian mengatakan dengan lisan kalian ini
haram ini haram untuk mengadakan kebohongan kepada Allah Azza wa Jalla,
sesungguhnya orang-orang yang mengada adakan kebohongan mereka itu tidak akan
beruntung”.
Disebutkan oleh para ulama salaf khawatir terkena ayat init
yang berpendapat dalam bidang fiqiha itu begitu. Menurut kami begini, menurut
perkiraan kami begini, kami senang begini,dll. Kalau sekarang bukan ulamapun sedikit-sedikit
pasti, kalau tidak pasti tidak mantap, kalau ulama salaf tidak begitu. Bagaimana mereka itu
seriangkali tidak menjawab untuk hal-hal yang memang tidak yakin. Bagaimana
contohnya jauh-jauh datang ke Madiah mengajukan 30 pertanyaan kepada Imam
malik, kemudian yang dijawab Cuma 3 karena tidak yakin dengan jawabannya, tidak
berani menjawab suruh pulang dan bilang saja malik tidak tahu.Dan berkata Ibnu
Mas’ud bahwa “..setengah ilmu itu ilmu itu adalah ‘mengatakan tidak tahu’. Karena
kemungkinan itu hanya ada dua, tahu atau tidak tahu. Kalau tahunya tidak yakin
maka salaf mengatakan “kami duga begini”, “menurut pendapat kami begini”, dll. Jadi
bukan dinisbatkan kepada Syariat, “menurut syariat begini”, “menurut sunnah
nabi begini”, tidak begitu.
Orang-orang yang terkena ujian dan tersesat itu akan menjawab
kepada kalian, “Zhann (dugaan-dugaan) itu hanya dalam perkara-perkara cabang
fiqih dan cabang-cabang hukum syariat yang sifatnya ijtihad.”
Perkataan mereka benar, tapi juga benar bahwa sesungguhnya
banyak perkara yang dijadikan landasan pemikiran oleh Abu Maryam Al-Mukhlif dan
para pengikutnya yang tersesat tersebut hanyalah perkara-perkara fiqih, cabang
dan ijtihad.
Itu hanya perkara furu’ tapi juga sebuah fakta bahwa banyak
perkara yang dianggap sebagai pondasi oleh mereka sebenarnya perkara-perkara
fiqih yang sifatnya ijtihadiyah.
- a. Pangkalnya adalah induk perkara yang mereka pegang teguh ---seperti para pendahulu mereka, Jama’at Takfir wal Hijrah dan orang-orang Khawarij kontemporer selalunya memulai pemikiran mereka dari perkara ini--- yaitu perkara udzur dengan kebodohan. Ini adalah perkara fiqih, yang menjadi kajian seorang ulama fiqih. Namun mereka menjadikan perkara ini sebagai perkara pokok-pokok agama dan akidah (ushulud dien wal i’tiqad) dan perkara-perkara tauhid yang bersifat qath’i.
Kalau kita baca buku ushul fiqh, masalah udzur bil jahl itu
masuknya buku ushul fiqh tidak akan kita temukana dalma kitab2 aqidah karya
ulama salaf. Coba kita baca karya ulama-ulama salaf abad ke-1, ke-2, ke-3 H, kalau
kita mau berkaca kepada ulama salaf adakah pembahasan seperti itu masuk dalam
masalah aqidah? tidak akan ada. Adanya dalam kitab-kitab ushul fiqh dan itupun
nanti masuknya setelah zaman-zaman perawinya filsafat yunani, masuknya pada
ilmu kalam. Dalam kitab-kitab ushul fiqh itu ada pembahasan makhluk Allah yang
tekena taklid. Di situ nanti ada pembahasan tentang penghalang-penghalang yang
mebuat seorang hamba terhalangi dari taklid, beban syariat. Ada penghalang yang
sifatnya takdir dari Allah. Penghalang-penghalang yang sifatya dari langit, manusia
tidak punya kemampuan untuk menolaknya, seperti gila, lupa, dll. kalau Allah
mentakdirkan dia gila maka akan menyebabkan dia tidak bisa melaksanakan taklid,
itu manusiawi. Ada juga penghalang2 yang sifatnya bisa dihilangkan opleh
manusisa, seperti kebodohan. Nah itu letaknya di kitab-kitab ushul fiqh.
- b. Demikian juga perkara “barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir atau ragu-ragu akan kekafiran orang kafir maka ia telah kafir”, maksud saya adalah penerapan-penerapan kaedah ini dan penerapan cabang-cabang perincian kaedah ini dalam realita.
Secara umum kaidah itu diterima oleh semua ulama, tapi
bagaimana cara menerapkannya, tentu perlu melihat rincian2 tidak bisa melihat
penerapan secara sembarangan.
- c. Demikian juga perkara apakah syirik dan kufur itu satu perkara yang sama, ataukah keduanya berbeda dan apa perbedaannya?
Padahal sejak zaman Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii
di abad 2H masalah itu sudah ikhtilaf, bukan masalah aqidah.
Dan perkara-perkara lainnya yang mayoritasnya adalah
perkara-perkara fiqih termasuk masalah hukum-hukum syar’i, di mana orang yang
tahu akan mengetahuinya dan orang yang tidak tahu tidak akan mengetahuinya,
sementara pengetahuan dan penelitian masyarakat terhadap perkara-perkara
tersebut bertingkat-tingkat.
Dan perkara-perkara lainnya yang merupakan perkara-perkara
ijtihad, para ulama dari zaman dahulu sampai zaman sekarang masih berbeda
pendapat tentangnya atau berbeda dalam menerapkannya atas peristiwa-peristiwa
dan individu-individu. Namun hal itu tidak mengharuskan terjadinya perpecahan,
permusuhan dan kebencian. Justru hati para ulama tersebut tetap bersih, lapang
dada dan saling mencintai, sebagian mereka memaafkan sebagian lainnya.
Hanya orang-orang bodoh yang tersesat yang merasa sesak
hatinya terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka dalam
perkara-perkara yang mereka klaim sebagai “perkara-perkara qath’i” fiktif
tersebut. Mereka itulah yang berkawan, memusuhi, memvonis sesat dan memvonis
kafir atas dasar hawa nafsu mereka yang sesat dan hasil pikiran akal mereka
yang menyimpang.
Kelelawar dibutakan oleh surya di siang bolong
Cocok dengan bagian-bagian malam yang gelap gulita
Jika orang yang menginginkan kebaikan dan mencari kebenaran
serta ridha Allah Ta’ala memperhatikan secara seksama kesesatan kelompok
tersebut, niscaya ia dengan jelas akan mendapati kesesatan mereka dibangun di
atas sekumpulan perkara, yang paling penting adalah tiga perkara yang kita
sebutkan di atas.
Secara umum inti pegangan mereka
adalah permasalahan-permasalahan berikut ini:
a. Perkara udzur dengan kebodohan
b. Masalah
membeda-bedakan antara kufur dan syiri. Menurut mereka itu 2 hal yang berbeda. Siapa
berbuat maka dia langsung disebut musyrik sekalipun belum tahu hujjah sampai
kepada dia dakwah, tapi kalau disebut kafir kalau sudah sampai kepadanya
hujjah. Akhirnya kalau ada orang islam melakukan syirik akbar karena jahil,
taklid, khata’ maka disebut musyrik. Tidak udzur, tidak ulama ijtihad, tidak
apa kalau terjatuh dalam syirik akbar maka langsung hilang keislamannya.
c. Perkara “Barangsiapa tidak
mengkafirkan orang kafir atau ragu-ragu atas kekafiran orang kafir, maka ia
telah kafir”.
d. Perkara al-asma’ dan al-ahkam. Yang
sering mereka gembar-gemborkan yang sebenarnya mereka tidak memahami
hakikatnya.
e. Mengklaim ijma’-ijma’, qath’i
dan yakin.
Dan pangkal dari semua sebelum
mereka terjun dalam masalah itu adalah karena memang Allah memfitnah,
menyesatkan, menghalangi mereka dari petunjuk
::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Teks Arab :
السادس:
معرفة أن من أصول ضلال هؤلاء القوم المارقين أنهم لا يفرقون بين درجات المسائل ومراتب
الأدلة وإن زعموا خلاف ذلك فالواقع يكذبهم تكذيبا صريحا، وينزّلون الظنيات منزلة القطعيات
كما ذكره علماؤنا رحمهم الله عن الخوارج.
وأنتم ترون كيف يسمّون
استدلالاتهم المتهافتة "قواطع" و"الأدلة القاطعة" ونحو ذلك.!
وترون كيف يسارع المخلف
المفتون إلى حكاية الإجماع كذبا وزروا في كثير من المسائل.
وترون كيف هم بعيدون جدا
عن طريقة أهل العلم من السلف الذين يقولون نظن كذا ونرى كذا، ونحسب، ونخشى، ويعجبنا
كذا ولا يعجبنا كذا، حتى تمثّل بعضُهم (منهم الإمام مالك) بهذه الآية حين سئل عن بعض
المسائل: ﴿إن نظنّ إلا ظنا وما نحن بمستيقنين﴾.
وسيجيبكم هؤلاء المفتونون
الزائغون بالقول: إن هذا إنما هو في مسائل الفروع الفقهية وفروع الأحكام الشرعية الاجتهادية،
وهذا حق، ولكن من الحق أيضا أن كثيرا من المسائل التي يتبناها هذا المخلف وأتباعه الزائغون
إنما هي مسائل فقهية فرعية اجتهادية، وعلى رأسها أمُّ مسائلهم (كسابقيهم من جماعات
التكفير والهجرة والخوارج المعاصرين يبدؤون الانطلاق من هذه المسألة) وهي مسألة العذر
بالجهل، فهذه مسألة فقهية ينظر فيها الفقيه، وهم يجعلونها من مسائل "أصول الدين
والاعتقاد" ومن قواطع مسائل التوحيد.