#14_Antara Tingkatan Perkara Dengan Tingkatan Dalil [1/4]


_______________________________
Point ke-6
Mengetahui bahwa pokok-pokok (pangkal) kesesatan kaum yang melesat keluar dari Islam tersebut adalah mereka tidak membeda-bedakan antara tingkatan-tingkatan perkara-perkara (mana yang qothi’, dhoni, ijma’) dan tingkatan-tingkatan dalil-dalil (qat’i tsubut, dhilallah, dhohir, muawal, dll)

Meskipun mereka mengklaim tidak begitu, namun realita secara tegas mendustakan klaim mereka tersebut. Mereka memposisikan perkara-perkara yang zhanni-masih mengundang ikhtilaf- kepada posisi perkara-perkara yang qath’i, seperti yang telah disebutkan oleh para ulama kita tentang keadaan orang-orang Khawarij.

Kalian akan melihat bagaimana mereka menamakan cara-cara berdalil mereka yang satu sama lain saling tumbang itu dengan nama-nama “perkara-perkara qath’i”, “dalil-dalil qath’i” dan lain sebagainya!

Kalian akan melihat bagaimana Abu Maryam Al-Mukhlif yang terkena ujian tersebut secara dusta dan palsu menyebutkan ijma’ dalam banyak perkara.

Kalian akan melihat bagaimana mereka sangat jauh dari kebiasaan ulama generasi salaf yang mengatakan “kami berpendapat begini”, “menurut kami begini”, “kami menganggap”, “kami khawatir”, “kami senang begini”, dan “kami tidak senang begini”. Mereka berhati-hati, tidak meyebutkan ini wajib, ini haram, ini sunnah, ini makhruh. Sampai-sampai sebagian ulama salaf seperti Imam Malik menyitir firman Allah berikut ini saat ia ditanya tentang sebagian perkara:

إِنْ نَظُنُّ إِلا ظَنًّا وَمَا نَحْنُ بِمُسْتَيْقِنِينَ
Kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak yakin. (QS. Al-Jatsiyah [45]: 32)

Di dalam Jamiul ‘Ulum wal Hikam disebutkan dikalangan para ulama salaf saking hatinya2nya takut terkena ayat :

“Dan janganlah kalian mengatakan dengan lisan kalian ini haram ini haram untuk mengadakan kebohongan kepada Allah Azza wa Jalla, sesungguhnya orang-orang yang mengada adakan kebohongan mereka itu tidak akan beruntung”.

Disebutkan oleh para ulama salaf khawatir terkena ayat init yang berpendapat dalam bidang fiqiha itu begitu. Menurut kami begini, menurut perkiraan kami begini, kami senang begini,dll. Kalau sekarang bukan ulamapun sedikit-sedikit pasti, kalau tidak pasti tidak mantap, kalau  ulama salaf tidak begitu. Bagaimana mereka itu seriangkali tidak menjawab untuk hal-hal yang memang tidak yakin. Bagaimana contohnya jauh-jauh datang ke Madiah mengajukan 30 pertanyaan kepada Imam malik, kemudian yang dijawab Cuma 3 karena tidak yakin dengan jawabannya, tidak berani menjawab suruh pulang dan bilang saja malik tidak tahu.Dan berkata Ibnu Mas’ud bahwa “..setengah ilmu itu ilmu itu adalah ‘mengatakan tidak tahu’. Karena kemungkinan itu hanya ada dua, tahu atau tidak tahu. Kalau tahunya tidak yakin maka salaf mengatakan “kami duga begini”, “menurut pendapat kami begini”, dll. Jadi bukan dinisbatkan kepada Syariat, “menurut syariat begini”, “menurut sunnah nabi begini”, tidak begitu.

Orang-orang yang terkena ujian dan tersesat itu akan menjawab kepada kalian, “Zhann (dugaan-dugaan) itu hanya dalam perkara-perkara cabang fiqih dan cabang-cabang hukum syariat yang sifatnya ijtihad.”

Perkataan mereka benar, tapi juga benar bahwa sesungguhnya banyak perkara yang dijadikan landasan pemikiran oleh Abu Maryam Al-Mukhlif dan para pengikutnya yang tersesat tersebut hanyalah perkara-perkara fiqih, cabang dan ijtihad.

Itu hanya perkara furu’ tapi juga sebuah fakta bahwa banyak perkara yang dianggap sebagai pondasi oleh mereka sebenarnya perkara-perkara fiqih yang sifatnya ijtihadiyah.

  • a. Pangkalnya adalah induk perkara yang mereka pegang teguh ---seperti para pendahulu mereka, Jama’at Takfir wal Hijrah dan orang-orang Khawarij kontemporer selalunya memulai pemikiran mereka dari perkara ini--- yaitu perkara udzur dengan kebodohan. Ini adalah perkara fiqih, yang menjadi kajian seorang ulama fiqih. Namun mereka menjadikan perkara ini sebagai perkara pokok-pokok agama dan akidah (ushulud dien wal i’tiqad) dan perkara-perkara tauhid yang bersifat qath’i. 

Kalau kita baca buku ushul fiqh, masalah udzur bil jahl itu masuknya buku ushul fiqh tidak akan kita temukana dalma kitab2 aqidah karya ulama salaf. Coba kita baca karya ulama-ulama salaf abad ke-1, ke-2, ke-3 H, kalau kita mau berkaca kepada ulama salaf adakah pembahasan seperti itu masuk dalam masalah aqidah? tidak akan ada. Adanya dalam kitab-kitab ushul fiqh dan itupun nanti masuknya setelah zaman-zaman perawinya filsafat yunani, masuknya pada ilmu kalam. Dalam kitab-kitab ushul fiqh itu ada pembahasan makhluk Allah yang tekena taklid. Di situ nanti ada pembahasan tentang penghalang-penghalang yang mebuat seorang hamba terhalangi dari taklid, beban syariat. Ada penghalang yang sifatnya takdir dari Allah. Penghalang-penghalang yang sifatya dari langit, manusia tidak punya kemampuan untuk menolaknya, seperti gila, lupa, dll. kalau Allah mentakdirkan dia gila maka akan menyebabkan dia tidak bisa melaksanakan taklid, itu manusiawi. Ada juga penghalang2 yang sifatnya bisa dihilangkan opleh manusisa, seperti kebodohan. Nah itu letaknya di kitab-kitab ushul fiqh.

  • b. Demikian juga perkara “barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir atau ragu-ragu akan kekafiran orang kafir maka ia telah kafir”, maksud saya adalah penerapan-penerapan kaedah ini dan penerapan cabang-cabang perincian kaedah ini dalam realita.

Secara umum kaidah itu diterima oleh semua ulama, tapi bagaimana cara menerapkannya, tentu perlu melihat rincian2 tidak bisa melihat penerapan secara sembarangan.

  • c. Demikian juga perkara apakah syirik dan kufur itu satu perkara yang sama, ataukah keduanya berbeda dan apa perbedaannya?

Padahal sejak zaman Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii di abad 2H masalah itu sudah ikhtilaf, bukan masalah aqidah.

Dan perkara-perkara lainnya yang mayoritasnya adalah perkara-perkara fiqih termasuk masalah hukum-hukum syar’i, di mana orang yang tahu akan mengetahuinya dan orang yang tidak tahu tidak akan mengetahuinya, sementara pengetahuan dan penelitian masyarakat terhadap perkara-perkara tersebut bertingkat-tingkat.

Dan perkara-perkara lainnya yang merupakan perkara-perkara ijtihad, para ulama dari zaman dahulu sampai zaman sekarang masih berbeda pendapat tentangnya atau berbeda dalam menerapkannya atas peristiwa-peristiwa dan individu-individu. Namun hal itu tidak mengharuskan terjadinya perpecahan, permusuhan dan kebencian. Justru hati para ulama tersebut tetap bersih, lapang dada dan saling mencintai, sebagian mereka memaafkan sebagian lainnya.

Hanya orang-orang bodoh yang tersesat yang merasa sesak hatinya terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka dalam perkara-perkara yang mereka klaim sebagai “perkara-perkara qath’i” fiktif tersebut. Mereka itulah yang berkawan, memusuhi, memvonis sesat dan memvonis kafir atas dasar hawa nafsu mereka yang sesat dan hasil pikiran akal mereka yang menyimpang.

Kelelawar dibutakan oleh surya di siang bolong
Cocok dengan bagian-bagian malam yang gelap gulita

Jika orang yang menginginkan kebaikan dan mencari kebenaran serta ridha Allah Ta’ala memperhatikan secara seksama kesesatan kelompok tersebut, niscaya ia dengan jelas akan mendapati kesesatan mereka dibangun di atas sekumpulan perkara, yang paling penting adalah tiga perkara yang kita sebutkan di atas.

Secara umum inti pegangan mereka adalah permasalahan-permasalahan berikut ini:

a. Perkara udzur dengan kebodohan

b. Masalah membeda-bedakan antara kufur dan syiri. Menurut mereka itu 2 hal yang berbeda. Siapa berbuat maka dia langsung disebut musyrik sekalipun belum tahu hujjah sampai kepada dia dakwah, tapi kalau disebut kafir kalau sudah sampai kepadanya hujjah. Akhirnya kalau ada orang islam melakukan syirik akbar karena jahil, taklid, khata’ maka disebut musyrik. Tidak udzur, tidak ulama ijtihad, tidak apa kalau terjatuh dalam syirik akbar maka langsung hilang keislamannya.

c. Perkara “Barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir atau ragu-ragu atas kekafiran orang kafir, maka ia telah kafir”.

d. Perkara al-asma’ dan al-ahkam. Yang sering mereka gembar-gemborkan yang sebenarnya mereka tidak memahami hakikatnya.

e. Mengklaim ijma’-ijma’, qath’i dan yakin.


Dan pangkal dari semua sebelum mereka terjun dalam masalah itu adalah karena memang Allah memfitnah, menyesatkan, menghalangi mereka dari petunjuk



::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Teks Arab :

السادس: معرفة أن من أصول ضلال هؤلاء القوم المارقين أنهم لا يفرقون بين درجات المسائل ومراتب الأدلة وإن زعموا خلاف ذلك فالواقع يكذبهم تكذيبا صريحا، وينزّلون الظنيات منزلة القطعيات كما ذكره علماؤنا رحمهم الله عن الخوارج.
وأنتم ترون كيف يسمّون استدلالاتهم المتهافتة "قواطع" و"الأدلة القاطعة" ونحو ذلك.!
وترون كيف يسارع المخلف المفتون إلى حكاية الإجماع كذبا وزروا في كثير من المسائل.
وترون كيف هم بعيدون جدا عن طريقة أهل العلم من السلف الذين يقولون نظن كذا ونرى كذا، ونحسب، ونخشى، ويعجبنا كذا ولا يعجبنا كذا، حتى تمثّل بعضُهم (منهم الإمام مالك) بهذه الآية حين سئل عن بعض المسائل: ﴿إن نظنّ إلا ظنا وما نحن بمستيقنين﴾.

وسيجيبكم هؤلاء المفتونون الزائغون بالقول: إن هذا إنما هو في مسائل الفروع الفقهية وفروع الأحكام الشرعية الاجتهادية، وهذا حق، ولكن من الحق أيضا أن كثيرا من المسائل التي يتبناها هذا المخلف وأتباعه الزائغون إنما هي مسائل فقهية فرعية اجتهادية، وعلى رأسها أمُّ مسائلهم (كسابقيهم من جماعات التكفير والهجرة والخوارج المعاصرين يبدؤون الانطلاق من هذه المسألة) وهي مسألة العذر بالجهل، فهذه مسألة فقهية ينظر فيها الفقيه، وهم يجعلونها من مسائل "أصول الدين والاعتقاد" ومن قواطع مسائل التوحيد.

About

Here you can share some biographical information next to your profile photo. Let your readers know your interests and accomplishments.