#10_Berpegang Teguhlah Pada Keimanan Yang Global!


_______________________________

Solusi Ke-1 :

Berpegang Teguhlah Pada Keimanan Yang Global!

Serahkanlah perkara-perkara yang kita tidak mampu memahaminya atau tidak mampu menelitinya kepada para ulama yang memiliki spesialisasi dalam perkara-perkara tersebut.

Dan kembalikanlah perkara-perkara yang perlu penelitian secara mendalam dan detail kepada Allah Ta'ala dengan kejujuran, ikhlas, tawakal, tidak tergesa-gesa

::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Adapun orang yang ilmu (tentang masalah tersebut) belum sampai kepadanya, maka ia tidak wajib mengimaninya secara terperinci. Terkadang ia wajib mencari tahu, belajar, mengkaji dan bertanya (tentang masalah tersebut) dan dihukum jika ia meremehkan (tidak sungguh-sungguh). Tapi terkadang ia juga tidak wajib mencari tahu, belajar, mengkaji dan bertanya. Karena ilmu itu ada yang hukumnya fardhu ‘ain, fardhu kifayah dan sunnah saja.

ehingga mempelajari sebuah ilmu itu juga tergantung kedudukan dia apa, apa seorang ulama/mufti/khatib/ imam/ustadz/ ahli dakwah, ataukah dia pelajar tingkat lanjutan, pelajar pemula, atau dia orang awam tentu akan abeda. Kita yang orang-orang miskin begini tidak wajib mempelajari detail-detail umrah dan haji umpamanya. Bagi kita belajar hukum umrah dan haji sifatnya sunnah, bukan fardu a’in juga bukan fardu kifayah. Yang fardu ‘ain adalah yang sudah saatnya naik haji, yg fardu khifayah yang ust-ust yang ngajar Jama’ah haji, dan sebagainya.Intinya bahwasanya wasiat terbesar yang hendak disampaikan disini kepada ikhwah adalah hendaklah mereka berpegang teguh dengan keimaman yang global Dan keimanan atas perkara-perkara yang sudah pasti itu bagian dari ajaran islam. Semua orang bisa tahu, tidak ada yang tidak sepakat atasnya. Seperti Rukun Islam yang lima, Rukun Iman yang enam, dan global-global lainnya seperti hal-hal yang diharamkan, hal-hal yang dihalalkan, akhlak terpuji, akhlak tercela.

Yaitu imannya nenek-nenek tua kalau kalian mau pakai istilah begitu. Istilah yang pada abad ke-5 - 6H ini istilah yg sangat populer. Imannya nenek-nenek tua, dimana dikisahkan para ulama yang menekuni ilmu kalam itu ketika di akhir hayatnya mereka bertaubat maka mereka mengatakan saya berharap seandainya saya beriman seperti imannya para nenek-nenek  di Naesabur (propisi di iran sekarang). kenapa? Imannya orang2 tua yang global2 itu malah lebih lurus dari pada ulama yg menekuni ilmu kalam. Ada kalau tidak salah Imam Fahrudin arrozi sorang ulama besar mashab syafi’i, ahli hadits, ahli fiqh, ahli ushul fiqh, ahli tafsir, ahli kalam, ahli filsafat. Di akhir hayatnya menyatakan; Finish, ujung terakhir pemberhentian dari mengedepankan akal itu hanyalah keruwetan. Sangat berharap andai kata iman saya ini seperti imannya para  seperti nenek2 Naisabur.

Orang-orang tua itu imannya mantab, masya Allah, tidak terlalu banyak ilmunya, tapi apa yang ingin diketahui inginnya diamalkan. Tahunya Islam itu ya ibadah kepad Allah saja, rukun islam yg lima, ruku iman yang enam, beribadah, sholat, syirik dijauhi. Sederhana sj, nggk tahu dalil tidak apa-apa. Tapi mantap imannya itu.

Hendaknya mereka menyerahkan perkara-perkara yang mereka tidak mampu memahaminya atau tidak mampu menelitinya kepada para ulama yang memiliki spesialisasi dalam perkara-perkara tersebut.

Hendaknya mereka mengatakan:
آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا
“Kami mengimaninya, karena seluruhnya berasal dari sisi Rabb kami.”(QS. Ali-Imran [3]: 7)

Hendaknya mereka mengembalikan perkara yang belum mereka pahami atau perkara yang mereka belum mendapatkan tahqiqnya/penelitian yang mendalam tentangnya kepada Allah Ta’ala. Niscaya Allah Ta’ala akan membukakan untuk mereka sikap tawakal, sabar dan kejujuran dalam membahas dan mengkaji, mendatangi setiap perkara dari pintunya dan tidak melakukan sikap tergesa-gesa yang tercela.

Saat ini kalau ada beragam pemikiran yg tidak jelas dan kita tidak tahu bagaimana bantahnya ini benar atau salah, ya serahkan kepada Allah. Kita sabar, pegangi yg sudah pasti dari Islam. Sabar, tawakal, jujur dalam mencari kebenaran, mendatangi segala perkara dari pintunya dan tdk tergeasa-gesa, maka Allah akan membukakan jawabnnya untuk kita.

Maka saya pesankan kepada ikhwan-ikhwan hendalah meraka mewaspadai orang-orang yang tersesat terkena fitnah atau menyimpang, Abu Maryam almukhlif untuk menjauhi mereka, membiarkan mereka, tidak melayani mereka, tidak berdebat dengan mereka. Dan Ini juga pesannya Syaikh Abu Muhammad almaqdisi. Kalau antum buka tanya jawab di Mimbar Tauhid wal Jihad, penanya menanyakan bagaimana tentang Jamaah Khawarij modern Abu Maryam almukhlif, Abdurrahman as Shomali, dan tokoh lainya.  Maka Syaikh Abu Muhammad almaqdisi mewasiatkan untuk tidak membuka-buka situs mereka, tidak membaca tulisan-tulisan mereka, tidak mendengar dan tidak mendebat mereka. Di zamannya sibuk jihad melawan Amerika-Yahudi, malah bahas kesesatan Tanzim al Qaida, sebenarnya dia ini agen FBI atau apa.. Jangan mendengarkan mereka, kajian2 mereka, jangan mendebat mereka, dan jangan berdiskusi dengan mereka kecuali debat yg nampak jelas-jelas saja, perkara-perkara yang sudah pasti. Itupun kalau terpaksa harus berdebat, lebih baik ditinggalkan saja tdk perlu dilayani.

Hendaklah mereka bersabar tetap memegang teguh Din Allah, jangan tergesa-gesa berusaha untuk berdialog , diskusi dengan mereka. Atau berusaha untuk menjawab segala bentuk-lontaran yang mereka berikan. Ada pengajian begini, syubhat begini mereka isukan, jangan dilayani tergesa-gesa menjawab, sabar. Hendaklah ikhwan-ikhwan berpegang teguh pada perkara-perkara yang sudah baku, paten, tidak mungkin berubah yg sudah jelas, sudah terang.

Hendaklah mereka mengikuti jejak para imam, para ulama yg ilmunya kokoh mendalam. Hendaklah dia mengikuti pendapat ulama. Hendaklah mereka waspada jangan sampai mengikuti pendapat yg syuhudud .

Dalam bahasa hadits, syuhudud yaitu seorang parawi yg siqoh secara agama dianggap adil, tidak fasik dan secara hafalan kuat, tapi riwayatnya menyelisihi para parawi lainnya, para ulama hadits lainya yang lebih tsiqoh dari dia, hafalan lebih baik dari dia, keadilannya, kesholihannya jg lebih baik dari dia. Itu dalam hal ulama tsiqoh menyelisihi mayioritas ulama yg lebih tsiqah dari dia, apalagi ini bukan ulama, bukan orang tsiqoh menyelisihi ulama-ulama yang tsiqoh.

Hedaklah ikhwan-ikhwan mewaspadai sikap kesendirian, pendapat sendiri yang tidak dikenal pendapat itu oleh para ulama-ulama besar yang sudah dikenal luas ketsiqohannya, kesolehanya, keilmuannya. Hendalah dia menyerahkan ilmu, perkara yg belum dia ketahui kepada Allah Azza wa Jalla, maka Allah akan berikan jawaban kepada mereka.

Di dalam QS Al Baqarah ayat akhir-akhir, tentang hutang; ...dan bertakwalah kepada Allah maka niscaya Allah akan mengajari kalian. Seorang muslim begitu, ketika ada berbagai  pemikiran yg dia belum bisa menjawab, tidak tergesa-gesa menjawab, tidak tergesa-gesa mendiskusikan/mengkaji. Namun dengan tenang, sabar, tawakal kepad Allah dan diam tidak memberikan jawaban. Itu yang diwasiatkan olh para ulama. Dan ini kita rasakan betul ternyata ketika kita bersabar, tawakal, ada keseriusan untuk membahas, mencari jawaban kepada para ulama yang memang betul-betul dia itu ahlinya, maka jawaban itu muncul dengan cara yang sangat-sangat tidak terduka.

Contohnya yang saya rasakan tentang ayat Al A’rof ayat 172-173 (ayat fitroh) yang menyebutkan diambil dalil bahwa sebagian ulama menyatakan  ayat ini bukti ternyata fitroh semata itu sudah cukup sebagai hujah atas manusia sehingga tidak diutus rasulpun, masalah tauhid dan syirik itu semua orang faham bahwa nanti diakhirat tidak diutus rasulpun akan diazab kalau misalnya syirik, karena tidak ada udzur kebodohan dlm hal itu. Beberapa bulan kita dari awal; Kita tahu jawaban itu dari  Muhammad bin abdul masud seorang al’alamah ahlu sunni dari Al Azhar yang ternyata bantahannya dari kajian ushul fiqh itu jelas Asy’ariyah maturidiyah atau mutazila. Tapi bantahan yang disampaikan ulama hadits dari Sudan, syaikh Abu Abdillah Shodiq bin Abdurrahman dalam ceramah beliau di daurah di Sudan luar bisasa. Beliau menjawabnya sangat sederhana. Orang kalau diambil mitsaq itukan ketika dia masih didalam tulang sulbi bapaknya, ketika dia lahir ke dunia itu Allah tegaskan bahwa orang lahir kedunia itu siapapun dia baik dia nabi atau rasul sekalipun tidak ingat apa-apa, namanya saja tidak tahu apalagi  mitsaq/perjanjian dengan Allah. Sangat sederhana, kemudian beliau sampaikan mari kita buka kitab aqidah yang disepakati sebagai kitab induk ahlussunah wal jama’ah baik oleh pihak yg menyatakan ada udzur maupun yang tidak ada uzur kebodohan, yaitu kitab Syarah Ushul I’tiqod Ahlisunnah itu bab pertamanya sudah membahas masalah tauhid dan syirik itu dalilnya. Disebutkan sekian banyak ayat sekian hadits dan itu aqidah ahlussunah seperti itu. Itu pada  abad 4-5H. Kenapa kita sekarang di abad 15H dapat subhat begitu saja kemudian goyang. Padahal sudah sejak seribu tahun yang lalu ulama ahlusunnah menyebutkan begitu dan  kita kemudian tidak kembali kitab-kitab ulama mutaqodimin, tapi mengambil dari ulama-ulama abad belakangan, abad kontemporer. Nah, Itulah pentingnya bersabar,tawakal,tenang tidak tergesa2 ingin membantah, ingin diskusi, ingin dialog. Tidak seperti itu sikap seorang muslim yg waro’, seorang muslim yang khawatir akan keselamatan dinnya.

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menceritakan: “Saya menuturkan satu demi satu argumen mereka kepada Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah Al-Harrani), maka beliau berkata kepadaku: “Janganlah engkau menjadikan hatimu sebagai wadah bagi argumen-argumen dan syubhat-syubhat itu, seperti halnya bunga karang laut yang diguyur air sehingga tidak memercikkan kecuali air tersebut. Namun jadikanlah hatimu seperti cermin yang licin, sehingga syubhat-syubhat hanya melewati bagian permukaannya namun tidak menetap padanya. Cermin itu melihat syubhat-syubhat itu dengan kebeningannya dan menolaknya dengan kekokohannya. Jika tidak begitu, maka setiap kali syubhat melewati hatimu dan hatimu menelannya, niscaya hatimu akan menjadi tempat menetap semua syubhat.”

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan: “Kira-kira begitulah wasiat beliau kepadaku. Setahuku, aku tidak mendapatkan manfaat yang lebih besar dalam masalah menolak syubhat, daripada wasiat beliau tersebut. Sesungguhnya syubhat itu disebut syubhat tidak lain karena kebenaran samar-samar dengan kebatilan dalam perkara tersebut, sehingga ia mengenakan pakaian kebenaran atas jasad kebatilan. Sementara itu kebanyakan manusia melihat kepada penampilan lahiriah yang bagus. Maka orang yang memandang akan melihat pakaian yang dikenakannya, sehingga ia mengira kebenaran perkara tersebut.

Maksudnya ini seperti teko, teko itu kita masukan air nanti keluarnya air, dimasukan teh keluarnya juga teh, kopi keluarnya juga kopi. Jangan jadikan hati kita itu seperti teko, apa yang masuk diserap semua kemudia dikeluarkan. Jadilah muslim itu yang  model penggilingan padi, masuk gabah nanti kulit arinya pisah, bekatul pisah, berasnya pisah. Jadi diolah, jangan semua diterima masuk. Yang kita terima beras, jauh2nya bekatul, yg kulit arinya bukan untuk di konsumsi.

Adapun seorang yang memiliki ilmu dan keyakinan tidak akan tertipu oleh (penampilan pakaian luar) tersebut. Pandangannya tertuju kepada bagian dalam dan apa yang berada di balik pakaian tersebut, sehingga hakekatnya tersingkap bagi dirinya…”[1] Sampai akhir uraian Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Silahkan melihatnya secara lengkap dalam buku beliau, Miftahu Daris Sa’adah (Kunci Negeri Kebahagiaan), dan renungkanlah ia baik-kaik, karena uraiannya adalah sebuah penjelasan yang bijaksan, penuh himah.

Nah ini yang sangat penting ikhwani fid Din, dalam mnghadapi hal-hal yang baru, mungkin selama ini kita pelajari bertahun-tahun, belajar tauhid mulai dari kitab tauhidnya Syaikh Ahmad bin Abdul Wahab, kita pelajari syarahnya Syaikh ‘Utsaimin, kita pelajari syarahnya Syaikh Sholeh al Fauzan, kita pelajari syarahnya Taisirul ‘Azizil Hamid, Fatul majid, kitab-kitab fiqih, aqidah, kok tiba-tiba ada orang-orang mendakwahkan perkara-perkara yang kita tidak kenal dalam kitab-kitab aqidah sebelumnya, tp hati kita merasa ada sesuatu yang janggal, sementar otak kita tidak mampu menjawabnya, bagaimana itu tadi? Kata beliau, peganglah ajaran islam, keimanan, keislaman yg sifatnya global, imanul ajaiz/ imannya nenek-nenek tua/ imannya orang-orang awam yg menyakini secara global, Kemudian pada perkara-perkara yang kita belum tahu, kita tanyakan kepada para ulama yg ahli. Kalau kita punya kemampuan ya kita membaca,  mengkaji kajian-kajian mereka, mendengarkan tausiah-tausiah mereka, ceramah-ceramah mereka, dauro-dauroh mereka, maka itu yang kita lalukan. Kalau tidak, bertakwalah kepada Allah, sabar, tawakal, serius mengkaji dengan tidak tergesa-gesa ingin membantah, ingin ikut terjun dalam dialog. Gara-gara takut nanti dibilang tidak punya dalil, tidak punya kemampuan  kemudian ikut-ikutan membahas. Jangan! Jangna bicara masalah besar tanpa keyakinan atau landasan yg kuat..Allohu’alam bi shawab, demikian pesan petama beliau.



[1]. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Miftahu Dar As-Sa’adah wa Mansyur Wilayat Al-Ilmi wa Al-Iradah, 1/140.


::::::::::::::::::::::::::::::::::::: 
Teks Arab :

وأما مَن لم يصله العلم (لم يبلغه) فإنه لا يجب عليه.
وقد يجب عليه البحثُ والتعلم والطلب والسؤالُ، ويُؤاخَذُ على التقصير، وقد لا يجبُ، فالعلم منه الواجب العيني ومنه الكفائيّ والمستحبّ، وهكذا.
والمقصود أن الوصية الكبرى للإخوة أن يتمسكوا بالإيمان الجملي، إيمان العجائز إن شئتم..!
ويتركوا ما لا يستطيعون فهمه وتحقيقه من المسائل إلى أهلها المتخصصين من أهل العلم.
ويقولوا: ﴿آمنا به كلٌ من عند ربنا﴾ ويكلوا ما لم يفهموه وما لم يقفوا على تحقيقه إلى الله عز وجل، والله سبحانه يفتح عليهم بالتوكل والصبر والصدق في البحث والطلب، وبإتيان الأمور من أبوابها، وعدم الاستعجال المذموم.
فأوصي إخواني بالحذر من هؤلاء المفتونين والبُــعد عنهم والمتاركة لهم، ولا يسمعوا لهم ولا يجادلوهم ولا يماروهم إلا مراءً ظاهراً إن كان لابدّ، وليصبروا وليثبوا على دين الله تعالى، ولا يستعجلوا في السعي في مناظرتهم أو تحصيل الجواب على كل إيراداتهم، وليتمسّكوا بالمحكمات الواضحات البيّنات في دين الإسلام، وليقتدوا بالأئمة الراسخين في العلم وما عليه عمومهم وليحذروا من الشذوذ والتفرد، وليكلوا علمَ ما لم يعلموه إلى الله تعالى، والله يفتح عليهم.

قال ابن القيم رحمه الله: وقال لي شيخ الإسلام رضي الله عنه وقد جعلت أورد عليه إيرادا بعد إيراد: لا تجعل قلبك للإيرادات والشبهات مثل السفنجة فيتشربها فلا ينضح إلا بها، ولكن اجعله كالزجاجة المصمتة تمر الشبهات بظاهرها ولا تستقر فيها، فيراها بصفائه ويدفعها بصلابته، وإلا فإذا أشربت قلبك كل شبهة تمر عليها صار مقرّاً للشبهات. أو كما قال فما أعلم أني انتفعت بوصية في دفع الشبهات كانتفاعي بذلك، وإنا سميت الشبهة شبهة لاشتباه الحق بالباطل فيها فإنها تلبس ثوب الحق على جسم الباطل وأكثر الناس أصحاب حسن ظاهر فينظر الناظر فيما ألبسته من اللباس فيعتقد صحتها وأما صاحب العلم واليقين فإنه لا يغتر بذلك بل يجاوز نظره إلى باطنها وما تحت لباسها فينكشف له حقيقتها...إلخ كلامه فانظره بتمامه في مفتاح دار السعادة وتأمّله فإنه حكمةٌ.

About

Here you can share some biographical information next to your profile photo. Let your readers know your interests and accomplishments.