_______________________________
Solusi Ke-1 :
Berpegang Teguhlah Pada Keimanan Yang Global!
Serahkanlah perkara-perkara yang kita tidak mampu memahaminya atau tidak mampu menelitinya kepada para ulama yang memiliki spesialisasi dalam perkara-perkara tersebut.
Dan kembalikanlah perkara-perkara yang perlu penelitian secara mendalam dan detail kepada Allah Ta'ala dengan kejujuran, ikhlas, tawakal, tidak tergesa-gesa
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Adapun orang yang ilmu
(tentang masalah tersebut) belum sampai kepadanya, maka ia tidak wajib
mengimaninya secara terperinci. Terkadang ia wajib mencari tahu, belajar,
mengkaji dan bertanya (tentang masalah tersebut) dan dihukum jika ia meremehkan
(tidak sungguh-sungguh). Tapi terkadang ia juga tidak wajib mencari tahu,
belajar, mengkaji dan bertanya. Karena ilmu itu ada yang hukumnya fardhu ‘ain,
fardhu kifayah dan sunnah saja.
ehingga mempelajari
sebuah ilmu itu juga tergantung kedudukan dia apa, apa seorang
ulama/mufti/khatib/ imam/ustadz/ ahli dakwah, ataukah dia pelajar tingkat
lanjutan, pelajar pemula, atau dia orang awam tentu akan abeda. Kita yang
orang-orang miskin begini tidak wajib mempelajari detail-detail umrah dan haji
umpamanya. Bagi kita belajar hukum umrah dan haji sifatnya sunnah, bukan fardu
a’in juga bukan fardu kifayah. Yang fardu ‘ain adalah yang sudah saatnya naik
haji, yg fardu khifayah yang ust-ust yang ngajar Jama’ah haji, dan sebagainya.Intinya bahwasanya wasiat terbesar yang
hendak disampaikan disini kepada ikhwah adalah hendaklah mereka berpegang teguh
dengan keimaman yang global Dan keimanan atas perkara-perkara yang sudah pasti
itu bagian dari ajaran islam. Semua orang bisa tahu, tidak ada yang tidak
sepakat atasnya. Seperti Rukun Islam yang lima, Rukun Iman yang enam, dan
global-global lainnya seperti hal-hal yang diharamkan, hal-hal yang dihalalkan,
akhlak terpuji, akhlak tercela.
Yaitu imannya
nenek-nenek tua kalau kalian mau pakai istilah begitu. Istilah yang pada abad
ke-5 - 6H ini istilah yg sangat populer. Imannya nenek-nenek tua, dimana
dikisahkan para ulama yang menekuni ilmu kalam itu ketika di akhir hayatnya
mereka bertaubat maka mereka mengatakan saya berharap seandainya saya beriman seperti
imannya para nenek-nenek di Naesabur
(propisi di iran sekarang). kenapa? Imannya orang2 tua yang global2 itu malah lebih
lurus dari pada ulama yg menekuni ilmu kalam. Ada kalau tidak salah Imam
Fahrudin arrozi sorang ulama besar mashab syafi’i, ahli hadits, ahli fiqh, ahli
ushul fiqh, ahli tafsir, ahli kalam, ahli filsafat. Di akhir hayatnya
menyatakan; Finish, ujung terakhir pemberhentian dari mengedepankan akal itu
hanyalah keruwetan. Sangat berharap andai kata iman saya ini seperti imannya
para seperti nenek2 Naisabur.
Orang-orang tua itu
imannya mantab, masya Allah, tidak terlalu banyak ilmunya, tapi apa yang ingin
diketahui inginnya diamalkan. Tahunya Islam itu ya ibadah kepad Allah saja,
rukun islam yg lima, ruku iman yang enam, beribadah, sholat, syirik dijauhi. Sederhana
sj, nggk tahu dalil tidak apa-apa. Tapi mantap imannya itu.
Hendaknya mereka
menyerahkan perkara-perkara yang mereka tidak mampu memahaminya atau tidak
mampu menelitinya kepada para ulama yang memiliki spesialisasi dalam
perkara-perkara tersebut.
Hendaknya mereka
mengatakan:
آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا
“Kami mengimaninya,
karena seluruhnya berasal dari sisi Rabb kami.”(QS. Ali-Imran [3]: 7)
Hendaknya mereka
mengembalikan perkara yang belum mereka pahami atau perkara yang mereka belum
mendapatkan tahqiqnya/penelitian yang mendalam tentangnya kepada Allah Ta’ala.
Niscaya Allah Ta’ala akan membukakan untuk mereka sikap tawakal, sabar dan
kejujuran dalam membahas dan mengkaji, mendatangi setiap perkara dari pintunya
dan tidak melakukan sikap tergesa-gesa yang tercela.
Saat
ini kalau ada beragam pemikiran yg tidak jelas dan kita tidak tahu bagaimana
bantahnya ini benar atau salah, ya serahkan kepada Allah. Kita sabar, pegangi
yg sudah pasti dari Islam. Sabar, tawakal, jujur dalam mencari kebenaran,
mendatangi segala perkara dari pintunya dan tdk tergeasa-gesa, maka Allah akan
membukakan jawabnnya untuk kita.
Maka saya pesankan
kepada ikhwan-ikhwan hendalah meraka mewaspadai orang-orang yang tersesat
terkena fitnah atau menyimpang, Abu Maryam almukhlif untuk menjauhi mereka, membiarkan
mereka, tidak melayani mereka, tidak berdebat dengan mereka. Dan Ini juga
pesannya Syaikh Abu Muhammad almaqdisi. Kalau antum buka tanya jawab di Mimbar
Tauhid wal Jihad, penanya menanyakan bagaimana tentang Jamaah Khawarij modern
Abu Maryam almukhlif, Abdurrahman as Shomali, dan tokoh lainya. Maka Syaikh Abu Muhammad almaqdisi mewasiatkan
untuk tidak membuka-buka situs mereka, tidak membaca tulisan-tulisan mereka, tidak
mendengar dan tidak mendebat mereka. Di zamannya sibuk jihad melawan Amerika-Yahudi,
malah bahas kesesatan Tanzim al Qaida, sebenarnya dia ini agen FBI atau apa.. Jangan
mendengarkan mereka, kajian2 mereka, jangan mendebat mereka, dan jangan berdiskusi
dengan mereka kecuali debat yg nampak jelas-jelas saja, perkara-perkara yang sudah
pasti. Itupun kalau terpaksa harus berdebat, lebih baik ditinggalkan saja tdk
perlu dilayani.
Hendaklah mereka
bersabar tetap memegang teguh Din Allah, jangan tergesa-gesa berusaha untuk
berdialog , diskusi dengan mereka. Atau berusaha untuk menjawab segala bentuk-lontaran
yang mereka berikan. Ada pengajian begini, syubhat begini mereka isukan, jangan
dilayani tergesa-gesa menjawab, sabar. Hendaklah ikhwan-ikhwan berpegang teguh
pada perkara-perkara yang sudah baku, paten, tidak mungkin berubah yg sudah
jelas, sudah terang.
Hendaklah mereka
mengikuti jejak para imam, para ulama yg ilmunya kokoh mendalam. Hendaklah dia
mengikuti pendapat ulama. Hendaklah mereka waspada jangan sampai mengikuti
pendapat yg syuhudud .
Dalam bahasa hadits,
syuhudud yaitu seorang parawi yg siqoh secara agama dianggap adil, tidak fasik
dan secara hafalan kuat, tapi riwayatnya menyelisihi para parawi lainnya, para
ulama hadits lainya yang lebih tsiqoh dari dia, hafalan lebih baik dari dia,
keadilannya, kesholihannya jg lebih baik dari dia. Itu dalam hal ulama tsiqoh
menyelisihi mayioritas ulama yg lebih tsiqah dari dia, apalagi ini bukan ulama,
bukan orang tsiqoh menyelisihi ulama-ulama yang tsiqoh.
Hedaklah ikhwan-ikhwan
mewaspadai sikap kesendirian, pendapat sendiri yang tidak dikenal pendapat itu oleh
para ulama-ulama besar yang sudah dikenal luas ketsiqohannya, kesolehanya,
keilmuannya. Hendalah dia menyerahkan ilmu, perkara yg belum dia ketahui kepada
Allah Azza wa Jalla, maka Allah akan berikan jawaban kepada mereka.
Di dalam QS Al Baqarah ayat
akhir-akhir, tentang hutang; ...dan bertakwalah kepada Allah maka niscaya Allah
akan mengajari kalian. Seorang muslim begitu, ketika ada berbagai pemikiran yg dia belum bisa menjawab, tidak
tergesa-gesa menjawab, tidak tergesa-gesa mendiskusikan/mengkaji. Namun dengan
tenang, sabar, tawakal kepad Allah dan diam tidak memberikan jawaban. Itu yang diwasiatkan
olh para ulama. Dan ini kita rasakan betul ternyata ketika kita bersabar,
tawakal, ada keseriusan untuk membahas, mencari jawaban kepada para ulama yang
memang betul-betul dia itu ahlinya, maka jawaban itu muncul dengan cara yang
sangat-sangat tidak terduka.
Contohnya yang saya
rasakan tentang ayat Al A’rof ayat 172-173 (ayat fitroh) yang menyebutkan diambil
dalil bahwa sebagian ulama menyatakan
ayat ini bukti ternyata fitroh semata itu sudah cukup sebagai hujah atas
manusia sehingga tidak diutus rasulpun, masalah tauhid dan syirik itu semua
orang faham bahwa nanti diakhirat tidak diutus rasulpun akan diazab kalau
misalnya syirik, karena tidak ada udzur kebodohan dlm hal itu. Beberapa bulan
kita dari awal; Kita tahu jawaban itu dari Muhammad bin abdul masud seorang al’alamah
ahlu sunni dari Al Azhar yang ternyata bantahannya dari kajian ushul fiqh itu
jelas Asy’ariyah maturidiyah atau mutazila. Tapi bantahan yang disampaikan
ulama hadits dari Sudan, syaikh Abu Abdillah Shodiq bin Abdurrahman dalam ceramah
beliau di daurah di Sudan luar bisasa. Beliau menjawabnya sangat sederhana. Orang
kalau diambil mitsaq itukan ketika dia masih didalam tulang sulbi bapaknya, ketika
dia lahir ke dunia itu Allah tegaskan bahwa orang lahir kedunia itu siapapun
dia baik dia nabi atau rasul sekalipun tidak ingat apa-apa, namanya saja tidak
tahu apalagi mitsaq/perjanjian dengan
Allah. Sangat sederhana, kemudian beliau sampaikan mari kita buka kitab aqidah
yang disepakati sebagai kitab induk ahlussunah wal jama’ah baik oleh pihak yg
menyatakan ada udzur maupun yang tidak ada uzur kebodohan, yaitu kitab Syarah Ushul
I’tiqod Ahlisunnah itu bab pertamanya sudah membahas masalah tauhid dan syirik
itu dalilnya. Disebutkan sekian banyak ayat sekian hadits dan itu aqidah
ahlussunah seperti itu. Itu pada abad
4-5H. Kenapa kita sekarang di abad 15H dapat subhat begitu saja kemudian
goyang. Padahal sudah sejak seribu tahun yang lalu ulama ahlusunnah menyebutkan
begitu dan kita kemudian tidak kembali
kitab-kitab ulama mutaqodimin, tapi mengambil dari ulama-ulama abad belakangan,
abad kontemporer. Nah, Itulah pentingnya bersabar,tawakal,tenang tidak tergesa2
ingin membantah, ingin diskusi, ingin dialog. Tidak seperti itu sikap seorang
muslim yg waro’, seorang muslim yang khawatir akan keselamatan dinnya.
Imam Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah menceritakan: “Saya menuturkan satu demi satu argumen mereka kepada
Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah Al-Harrani), maka beliau berkata kepadaku:
“Janganlah engkau menjadikan hatimu sebagai wadah bagi argumen-argumen dan
syubhat-syubhat itu, seperti halnya bunga karang laut yang diguyur air sehingga
tidak memercikkan kecuali air tersebut. Namun jadikanlah hatimu seperti cermin
yang licin, sehingga syubhat-syubhat hanya melewati bagian permukaannya namun
tidak menetap padanya. Cermin itu melihat syubhat-syubhat itu dengan
kebeningannya dan menolaknya dengan kekokohannya. Jika tidak begitu, maka
setiap kali syubhat melewati hatimu dan hatimu menelannya, niscaya hatimu akan
menjadi tempat menetap semua syubhat.”
Imam Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah mengatakan: “Kira-kira begitulah wasiat beliau kepadaku. Setahuku,
aku tidak mendapatkan manfaat yang lebih besar dalam masalah menolak syubhat,
daripada wasiat beliau tersebut. Sesungguhnya syubhat itu disebut syubhat
tidak lain karena kebenaran samar-samar dengan kebatilan dalam perkara
tersebut, sehingga ia mengenakan pakaian kebenaran atas jasad kebatilan.
Sementara itu kebanyakan manusia melihat kepada penampilan lahiriah yang bagus.
Maka orang yang memandang akan melihat pakaian yang dikenakannya, sehingga ia
mengira kebenaran perkara tersebut.
Maksudnya ini seperti
teko, teko itu kita masukan air nanti keluarnya air, dimasukan teh keluarnya
juga teh, kopi keluarnya juga kopi. Jangan jadikan hati kita itu seperti teko,
apa yang masuk diserap semua kemudia dikeluarkan. Jadilah muslim itu yang model penggilingan padi, masuk gabah nanti
kulit arinya pisah, bekatul pisah, berasnya pisah. Jadi diolah, jangan semua
diterima masuk. Yang kita terima beras, jauh2nya bekatul, yg kulit arinya bukan
untuk di konsumsi.
Adapun seorang yang
memiliki ilmu dan keyakinan tidak akan tertipu oleh (penampilan pakaian luar)
tersebut. Pandangannya tertuju kepada bagian dalam dan apa yang berada di balik
pakaian tersebut, sehingga hakekatnya tersingkap bagi dirinya…”[1]
Sampai akhir uraian Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Silahkan melihatnya secara
lengkap dalam buku beliau, Miftahu Daris Sa’adah (Kunci Negeri Kebahagiaan),
dan renungkanlah ia baik-kaik, karena uraiannya adalah sebuah penjelasan yang
bijaksan, penuh himah.
Nah ini yang sangat
penting ikhwani fid Din, dalam mnghadapi hal-hal yang baru, mungkin selama ini
kita pelajari bertahun-tahun, belajar tauhid mulai dari kitab tauhidnya Syaikh
Ahmad bin Abdul Wahab, kita pelajari syarahnya Syaikh ‘Utsaimin, kita pelajari
syarahnya Syaikh Sholeh al Fauzan, kita pelajari syarahnya Taisirul ‘Azizil
Hamid, Fatul majid, kitab-kitab fiqih, aqidah, kok tiba-tiba ada orang-orang
mendakwahkan perkara-perkara yang kita tidak kenal dalam kitab-kitab aqidah
sebelumnya, tp hati kita merasa ada sesuatu yang janggal, sementar otak kita tidak
mampu menjawabnya, bagaimana itu tadi? Kata beliau, peganglah ajaran islam,
keimanan, keislaman yg sifatnya global, imanul ajaiz/ imannya nenek-nenek tua/ imannya
orang-orang awam yg menyakini secara global, Kemudian pada perkara-perkara yang
kita belum tahu, kita tanyakan kepada para ulama yg ahli. Kalau kita punya
kemampuan ya kita membaca, mengkaji kajian-kajian
mereka, mendengarkan tausiah-tausiah mereka, ceramah-ceramah mereka, dauro-dauroh
mereka, maka itu yang kita lalukan. Kalau tidak, bertakwalah kepada Allah, sabar,
tawakal, serius mengkaji dengan tidak tergesa-gesa ingin membantah, ingin ikut
terjun dalam dialog. Gara-gara takut nanti dibilang tidak punya dalil, tidak
punya kemampuan kemudian ikut-ikutan membahas.
Jangan! Jangna bicara masalah besar tanpa keyakinan atau landasan yg kuat..Allohu’alam
bi shawab, demikian pesan petama beliau.
[1]. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Miftahu Dar As-Sa’adah wa Mansyur Wilayat
Al-Ilmi wa Al-Iradah, 1/140.
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Teks Arab :
وأما مَن لم يصله العلم
(لم يبلغه) فإنه لا يجب عليه.
وقد يجب عليه البحثُ والتعلم
والطلب والسؤالُ، ويُؤاخَذُ على التقصير، وقد لا يجبُ، فالعلم منه الواجب العيني ومنه
الكفائيّ والمستحبّ، وهكذا.
والمقصود أن الوصية الكبرى
للإخوة أن يتمسكوا بالإيمان الجملي، إيمان العجائز إن شئتم..!
ويتركوا ما لا يستطيعون
فهمه وتحقيقه من المسائل إلى أهلها المتخصصين من أهل العلم.
ويقولوا: ﴿آمنا به كلٌ من عند ربنا﴾ ويكلوا ما لم يفهموه وما
لم يقفوا على تحقيقه إلى الله عز وجل، والله سبحانه يفتح عليهم بالتوكل والصبر والصدق
في البحث والطلب، وبإتيان الأمور من أبوابها، وعدم الاستعجال المذموم.
فأوصي إخواني بالحذر من
هؤلاء المفتونين والبُــعد عنهم والمتاركة لهم، ولا يسمعوا لهم ولا يجادلوهم ولا يماروهم
إلا مراءً ظاهراً إن كان لابدّ، وليصبروا وليثبوا على دين الله تعالى، ولا يستعجلوا
في السعي في مناظرتهم أو تحصيل الجواب على كل إيراداتهم، وليتمسّكوا بالمحكمات الواضحات
البيّنات في دين الإسلام، وليقتدوا بالأئمة الراسخين في العلم وما عليه عمومهم وليحذروا
من الشذوذ والتفرد، وليكلوا علمَ ما لم يعلموه إلى الله تعالى، والله يفتح عليهم.
قال ابن القيم رحمه الله:
وقال لي شيخ الإسلام رضي الله عنه وقد جعلت أورد عليه إيرادا بعد إيراد: لا تجعل قلبك
للإيرادات والشبهات مثل السفنجة فيتشربها فلا ينضح إلا بها، ولكن اجعله كالزجاجة المصمتة
تمر الشبهات بظاهرها ولا تستقر فيها، فيراها بصفائه ويدفعها بصلابته، وإلا فإذا أشربت
قلبك كل شبهة تمر عليها صار مقرّاً للشبهات. أو كما قال فما أعلم أني انتفعت بوصية
في دفع الشبهات كانتفاعي بذلك، وإنا سميت الشبهة شبهة لاشتباه الحق بالباطل فيها فإنها
تلبس ثوب الحق على جسم الباطل وأكثر الناس أصحاب حسن ظاهر فينظر الناظر فيما ألبسته
من اللباس فيعتقد صحتها وأما صاحب العلم واليقين فإنه لا يغتر بذلك بل يجاوز نظره إلى
باطنها وما تحت لباسها فينكشف له حقيقتها...إلخ كلامه فانظره بتمامه في مفتاح دار السعادة
وتأمّله فإنه حكمةٌ.