#09_Beriman, berislam, bertauhid secara global


_______________________________________

Upaya membentengi diri dari fitnah khawarij :

1.
Beriman, berislam, bertauhid secara global; "asyhadu an laa ilaaha illa Allahu wa asyhadu anna Muhammad rasulullah"

Orang yang mengetahui suatu ilmu secara mendalam dan terperinci  seperti ulama dan orang-orang yang sudah mendapatkan penjelasan dari ulama, maka ia wajib mengimani ilmu tersebut.

Sedang orang-orang yg belum sampai kepadanya ilmu, maka tidak wajib mengimani ilmu tersebut secara terperinci.

Intinya, dalam mengimani sesuatu, orang itu berbeda-beda sesuai ilmu dan pemahaman terhadap ilmu tersebut.

Ketika kita tidak mengetahui/ memahami sesuatu ilmu, hendaknya kita jujur saja seperti mengatakan "Aku tidak tau" atau "Allohu'alam"..dan itu sudah menjadi kebiasaan para salaf juga.

::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Pembahasan

Untuk menjaga diri dari fitnah (kesesatan) orang-orang yang terkena fitnah dan melesat keluar dari Islam seperti orang-orang tersebut, terdapat beberapa perkara penting yang selayaknya dilakukan, dengan pertolongan Allah semata.

Di antaranya adalah:

Beliau akan sebutkan 8 perkara yang mana mungkin dalam artikel ini menempati fokus bahasan yang paling banyak. Mungkin 50% lebih dari isi artikel ini membahas tentang Al Isma’, bagaimana kita memberikan suntikan kekebalan kepada diri kita agar tidak terkena penularan virus mereka.

Pertama

Berpegang teguh dengan keimanan secara global (al-iman al-jumali)

Iman secara jumal itu kita meyakini  asyhadualla illaha ilallah, yang berhak disembah, diibadahi itu hanya Allah. Segala bentuk ibadah hanya ditujukan hanya kepada Allah, selain Allah tidak berhak diibadahi. Dan “wa asyhaduanna Muhammad rasulullah’, kita beribadah kepada Allah dengan cara memegang teguh syariat yang dibawa oleh Rasulullah. Kita Imani Allah, para malaikat-Nya, para nabi dan rasul-Nya, kitab suci-Nya, Hari Akhir, dan kita imani takdir Allah yang baik maupun yang buruk. Kita Imani rukun Islam yang 5, sami’na wa ato’na terhadap apa yang Allah perintahkan dan tetapkan pada kita. Secara global kita yakini dan pegang teguh itu. Orang yang punya iman global seperti ini, yang mempunyai komitmen kepada rukun Islam dan Iman secara global seperti ini maka kita anggap sebagai muslim.

Dalam perkara-perkara yang sifatnya rincian-rincian dan cabang-cabang yang belum ia ketahui, ia belum menemukan jawaban tuntas tentangnya, dan ia belum melakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam tentangnya; maka hendaklah ia mengatakan: “Aku tidak tahu, aku tidak mengerti, Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya dan Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai potensi yang telah dikaruniakan kepadanya.”

Ini adalah sikap seorang muslim, apa yang sifatnya pokok, baku, global dari Islam kita pegang teguh. Untuk yang sifatnya rincian yanga belum kita tahu maka “Aku tidak tahu, aku tidak mengerti, Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya dan Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai potensi yang telah dikaruniakan kepadanya”. Dan jika tidak tahu, silahkan menanyakan kepada ahlinya. Jika akita baca fatwa aqidahnya Syaikh ‘utsaimin, beliau ditanya bagaimana kedudukan hadits-hadits tentang royatissuud/ pasukan pembawa panji hitam, maka beliau menjawab bahwa beliau tidak tahu untuk masalah itu dan ketidak tahuan beliau tidak akan berbahaya bagi keimanan beliau. Apakah hadits itu shahih atau munkar atau dhaif itu tidak akan membahayakan iman beliau, dan seorang muslim jika tidak mengetahui perkara itu tidak masalah. Karena yang dituntut oleh Allah itu keimanan yang global, kita laksanakan yang sudah pasti, yang sifatnya rinci sepeti tanda-tanda kiamat yang sifatnya juga sudah sangat rinci sekali. Tentang turunnya Imam Mahdi yang mutawatir kata para ulama, munculnya Dajjal, Isa Al Masih itu sudah mutawatir. Tapi yang lebih dari itu seperti apakah nanti ada royatisuud dari Khurasan, apa sebelum munculnya ini-itu ada ini dan itu, yang seperti itu sudah bersifat tambahan, dalam arti sudah cabang, orang yang tidak tahu tidak akan merusak imannya. Makanya yang dituntut oleh Allah itu adalah Islam yang kita ketahui, yang sudah jelas itu yang akan menjadi bekal dalam kita nanti menghadap Allah kelak.

Bagaimana dengan hal-hal yang tidak tahu? serahkan kepada Allah, tanyakan kepada para ahlinya. Untuk urusan yang lebih sederhana dari itu saja sampai hari ini ulama tidak putus-putusnya ikhtilaf, masalah sederhana sehari-hari, seperti masalah wanita haid boleh pegang mushaf tidak? itu sejak zaman salaf sudah berselisih pendapat. Maka tidak penting bagi masyarakat awam mengetahui sampai detail-detail. Yang pasti dipegangi dan diamalkan, selebihnya serahkan kepada para ulama.

 Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, (beliau seorang sahabat yang diwasiatkan oleh Rasulullah bahwa manusia disuruh mengikuti dalam mengambil Al Quran dari 4 orang, dan salah satunya beliau dalam dijadikan pegangan. Selain beliau ada Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan Salim Maula Abi Hudzaifah).

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، مَنْ عَلِمَ شَيْئًا فَلْيَقُلْ بِهِ، وَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ فَلْيَقُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ، فَإِنَّ مِنَ العِلْمِ أَنْ يَقُولَ لِمَا لاَ يَعْلَمُ اللَّهُ أَعْلَمُ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ المُتَكَلِّفِينَ}

“Wahai masyarakat, barangsiapa mengetahui sesuatu maka hendaklah ia mengatakannya. Dan barangsiapa tidak mengetahui sesuatu maka hendaklah ia mengatakan Allahu a’lam (Allah Yang lebih mengetahui). Karena di antara bagian dari ilmu adalah mengatakan atas hal yang belum ia ketahui Allahu a’lam

Itu bagian dari ilmu, bahkan setengah dari ilmu kata para ulama adalah “laa a’dri”_Saya tidak tahu, karena yang setengahnya “saya mengerti”. Dan itu sudah tradisi di kalangan salaf, bahkan banyak sahabat yang ditanya Rasulullah meski mereka mengetahui jawabannya, bilangnya “Allah dan rasulnya yang lebih tahu” sebagi bentuk dari adab mereka. Siapa tahu ada jawaban lain dari sisi Allah dan Rasul-Nya.

Allah berfirman kepada nabi-Nya:

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ المُتَكَلِّفِينَ

Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikit pun dari kalian atas dakwah ini dan aku bukan termasuk orang-orang yang mengada-ada (memaksakan diri di luar kesanggupan). QS. Shad [38]: 86. (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak tahu dipaksa tahu, tidak bisa dipaksa memaksa bisa, dst. Ini perintah Allah kepada Rasulullah, kalau tidak tahu maka bilang tidak tahu, diam dan menunggu turunnya wahyu. Pernah ditegur oleh Allah ketika ada orang-orang Yahudi datang ke Mekah dan menyuruh orang-orang Qurasy untuk menanyakan 3 pertanyaan kepada Muhammad, jika bisa menjawab maka Muhammad adalah nabi. Ternyata salah satu pertanyaannya itu tentang Ashabul Kahfi. Ketika ditanya, Rasulullah berkata bahwa besok akan dijawab, ternyata 20-an hari tidak turun wahyu dan menjadi bahan tertawaan kafir Qurasy. Maka turunlah ayat itu “wa laa taqullanna...”, “jangalah kalian mengatakan tentang sesuatu saya akan mengerjakannya besok pagi, kecuali dengan mengatakan insya Allah”. Itu adalah teguran kepada Rasulullah.

Maka ada dalam QS. Annisa, “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab dengan kebenaran agar kamu memutuskan perkara dengan apa yang Allah ajarkan kepadamu”. Artinya, ilmunya Rasulpun nunggu arahan dari Allah. Ini penting bagi kita ketika ada gempuran syubhat sana-sini, ada orang mengajukan beragam hujjah, jika kita tidak tahu maka santai saja, kita tunggu sampai Allah memberikan jawaban yang terbaik, karena dengan belajar pelan-pelan maka insya Allah akan ketemu sendiri jawabannya.

Ketahuilah oleh kalian bahwa hal ini merupakan salah satu pokok yang agung dalam pokok-pokok manhaj Islam dan jalan yang lurus. Karena sesungguhnya hal yang dikehendaki dari setiap hamba pada awalnya adalah keimanan secara global, yaitu memenuhi sejak awal perintah Allah dan Rasul-Nya, itulah makna syahadat asyhadu an laa ilaaha illa Allahu wa asyhadu anna Muhammad rasulullah.

Sebab, makna dua kalimat syahadat adalah menghadapkan diri kepada Allah dengan beribadah kepada Allah semata tiada sekutu bagi-Nya, mencampakkan segala sesuatu yang diibadahi selain Allah dan mengkufurinya, mengikuti nabi dan rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap ajaran yang dibawanya dan membenarkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap berita yang beliau kabarkan.

Sederhana sebetulnya, iman itu ya seperti itu. Kita ibadah kepada Allah semata, kita tidak menyekutukan-Nya, kita ingkari peribadatan selain kepada Allah, kita ikuti ajaran Rasulullah dan kita benarkan berita dari beliau.

Inilah keimanan, keislaman dan tauhid secara global. Maka jika kita baca dalam kitab-kitab hadits, banyak sekali hadits shahih menyebutkan ada orang datang kepada Rasulullah menanyakan tentang apakah Allah mengutus beliau? Dengan apa Allah mengutus beliau? Rasulullah menjawab dengan perintah untuk beribadah kepada Allah semata, mengakuiku sebagai utusannya, meyambung tali silaturrahmi, dst. Lalu orang itu menjawab bahwa demi Allah dia tidak akan menambah atau mengurangi. Dan rasulullah melanjutkan bahwa orang itu sungguh beruntung, sungguh masuk syurga jika dia menepati janjinya.

Hadits-hadits seperti itu banyak, artinya memang itulah Islam yang global. Jika disebutkan kata iman, Islam, takwa, dll yang semakna, banyak lafal tapi bermakna sama jika disebutkan dalam ayat yang berlainan. Kecuali disebutkan dalam satu ayat atau satu hadits maka maknanya masing-masing sendiri. Kita bisa baca keterangan seperti itu dalam Majmu’ Fatawa juz 7.

Kemudian rincian-rincian (ajaran agama) setelah itu mengikuti sesuai dengan kadar ilmu. Rincian-rincian itu memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda, tidak setiap cabang-cabang iman dan rincian-rincian iman berada dalam satu tingkatan yang sama. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ

Iman itu lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang iman yang paling tinggi (utama) adalah laa ilaaha illa Allah dan cabang iman yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan.”[1]

Dan dalil-dalil lainnya yang menunjukkan hal ini. Ajaran Islam, tauhid, iman itu tidak satu tingkat, yang penting orang punya pokoknya, untuk rinciannya nanti masing-masing orang akan berbeda sesuai keadaannya, tingkat ilmunya, tempat dia berada, dll. Orang yang hidup sebagi petani tentu kadar ilmunya tentang masalah furu’/ rincian akan berbeda dengan seorang pedagang yang bergelimang harta di kota. Yang satu harus belajar ilmu tentang riba, jual beli, zakat, kewajiban haji. Yang mungkin bagi si petani yang makan sehari-hari saja kekurangan, ilmu-ilmu tadi ada yang tidak perlu dipelajari. Seperti itu sekalipun sama-sama misalkan haji, zakat, tapi jika sudah diterapan maka yang diwajibkan adalh meyakini bahwa itu rukun Islam yang bagian dari ajaran Islam. Adapun rinciannya, hukum-hukum rincinya akan tergantung kepada kondisi, tidak semua muslim harus belajar seperti itu. Masalah ini tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama.

Iman yang terperinci berbeda dari satu orang ke orang lainnya sesuai kadar ilmu, maksudnya sesuai kadar sampainya ilmu kepada seseorang, kesungguhannya, pembelajarannya dan pengetahuannya dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang ditunjukkan oleh syariatnya.

Mungkin ada kawan-kawan kita di luar yang sudah ngaji sekian tahun, ikut halaqah dari sana ke mari tapi untuk ilmu-ilmu tertentu dia belum dapat. Padahal dia bukan orang yang taksir, bukan orang malas. Dan memang Allah kadang memberikan kemudahan kepada seseorang yang mempunyai semangat pas-pasan tapi kondisi memudahkan mendapatkan suatu ilmu, sementara yang lain malah tidak mendapatkannya.

Tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk mempelajari ajaran Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. Tidak semua orang sekalipun ada usaha sungguh-sungguh mempunyai kesempatan. Syariat nabi itu isinya banyak sekali, tergatung sejauh mana kita menggalinya.

Seorang ulama tentu berbeda dengan orang awam yang bodoh. Seorang pakar spesialis dalam ilmu-ilmu agama dan syariat tentu berbeda dengan seorang petani yang buta huruf di ladangnya dan seorang nenek tua di kampung. Dan seterusnya. Maka tidak bisa disamakan pengetahuannya dan pengamalannya, nilainya di sisi Allah juga beda.

Orang tua dikampung-kampung bisa membaca AL Qur’an, mau mengaji seminggu sekali, dll itu sudah hebat. Jika kita baca dalam buku “Api Sejarah” kalau tidak salah jilid 2, bagaimana Belanda itu mempunyai strategi memigrasikan masyarakat dari suatu daerah ke daerah lain dengan tujuan memutus pembelanjaran dan pengalam Islam. Bagaimana para kyai dibuang ke daerah-daerah lain dan masyarakatnya dibuang ke daerah lain –yang beda dengan kyai tadi- Dan nanti ganti yang daerah asalanya diisi dengan masyarakat lain. Kenapa? karena agar kondisi masyarakat berubah total orang tidak bisa lagi belajar kepada para kyai. Bagaimana di sebuah daerah itu misal ada kyai karismatik, punya pengaruh luas kepada masyarakat maka masyarakatnya dibuang ke luar jawa misalkan, untuk menggarap perkebunan. Tujuannya agar orang itu dalam hidupnya tahunya ya cangkul, sabit, kelapa, dll dan jauh dari kyai, da kyainya pun mati kutu, tidak punya pengikut untuk jihad melawan penjajah. Dan itu dimana-mana, pembodohan secara sistematis, orang bodoh itu bukan karena keinginan dia sendiri saja, tapi disengaja. Karena jika mereka jadi pintar maka penjajah itu tidak akan bertahan lama

Maka barangsiapa telah sampai ilmu tentang sebuah masalah kepada dirinya, ia mampu menelitinya, memastikannya dan mengetahui bahwa hal tersebut benar-benar berasal dari agama Allah; dengan cara ia mengetahui dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah jika ia termasuk orang yang berilmu (ulama), pengkajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an, As-Sunnah dan sisi penunjukan dalil; atau dengan cara ia bertanya kepada seorang ulama yang terpercaya dalam urusan agama dan ilmu, sehingga ulama tersebut menunjukkan dan menjelaskannya kepadanya lalu ia menerima dan mengambil penjelasan ulama tersebut; maka orang seperti ini wajib mengimani ilmu yang ditunjukkan oleh “dalil” bahwa ia termasuk ajaran agama Allah, baik ia berkaitan dengan penghalalan maupun pengharaman, berita maupun ketetapan hukum, janji maupun ancaman.
Adapun orang yang ilmu (tentang masalah tersebut) belum sampai kepadanya, maka ia tidak wajib mengimaninya secara terperinci.




[1]. HR. Muslim, Abu Daud, A-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain. Pent 

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Teks Arab :

فصــــلٌ

والعصمة من فتنة هؤلاء المفتونين المارقين تكمن في أمورٍ مهمة منها بعون الله تعالى ما يلي:
الأول: التمسك بالإيمان الجُمليّ، ولْيَقُل الإنسان في التفاصيل والفروع التي لا يعلمها ولم يقف على علمٍ فصلٍ فيها، ولا حررها ولا حققها: لا أعلم، ولا أدري، ولا يكلف الله نفسا إلا وسعها، ولا يكلف الله نفسا إلا ما آتاها.
عن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال: "يا أيها الناس مَن علم شيئاً فليقل به، ومَن لم يعلم فليقُل الله أعلم، فإن من العلم أن يقول لما لا يعلم الله أعلم، قال الله تعالى لنبيه ﴿قل ما أسألكم عليه من أجر وما أنا من المتكلفين﴾ متفق عليه.
واعلموا أن هذا أصل عظيم من أصول منهج الإسلام والصراط المستقيم، فإن المطلوب من العبد ابتداء هو الإيمان الجُملي، وهو الاستجابة المبدئية لله والرسول، وهو معنى شهادة ألا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، لأن معناها: التوجه بالعبادة إلى الله وحده لا شريك له، وخلع كل معبود سواه والكفر به، واتباع نبيه ورسوله محمد صلى الله عليه وآله وسلم في كل ما جاء به، وتصديقه في كل ما أخبر.
هذا هو الإيمان والتوحيد والإسلام الجملي..
ثم التفاصيل تأتي تباعاً بحسب العلم، وهي درجات، وليست كل الفروع وتفاصيل الإيمان وشعبه في درجة واحدة كما دل عليه حديث "الإيمان بضعٌ وسبعون شعبة فأعلاها لا إله إلا الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق" وغيره من الأدلة، وهذه مسألة لا خلاف فيها بين أهل العلم.
فالإيمان التفصيلي يختلف من شخص إلى آخر بحسب العلم، أي بحسب بلوغ العلم للشخص، واجتهاده وتعلمه ومعرفته بما جاء به النبي صلى الله عليه وسلم، وبما دلت عليه شريعته، فالعالم غير العامي الجاهل، والمتخصص في علوم الدين والشريعة غير الفلاح الأمي في مزرعته، والعجوز الفانية في قريتها.
وهكذا.

فمن وصله العلم بمسألة وتحققها وحررها وعرف أنها صحيحة النسبة إلى دين الله تعالى بأن عرف دليها من الكتاب والسنة إن كان هو من أهل العلم والنظر والفهم للكتاب والسنة ومعرفة الدلالات، أو بأن سأل عالما موثوقا في دينه وعلمه فدله عليها وشرحها له فتلقاها منه وأخذها عنه، فهذا يجب عليه أن يؤمن بهذا العلم الذي دل "الدليل" على أنه من دين الله، تحليلا أو تحريما، خبرا وقضاء، ووعدا ووعيدا.

About

Here you can share some biographical information next to your profile photo. Let your readers know your interests and accomplishments.