_______________________________________
Upaya membentengi diri dari fitnah khawarij :
1.
Beriman, berislam, bertauhid secara global; "asyhadu an laa ilaaha illa Allahu wa asyhadu anna Muhammad rasulullah"
Orang yang mengetahui suatu ilmu secara mendalam dan terperinci seperti ulama dan orang-orang yang sudah mendapatkan penjelasan dari ulama, maka ia wajib mengimani ilmu tersebut.
Sedang orang-orang yg belum sampai kepadanya ilmu, maka tidak wajib mengimani ilmu tersebut secara terperinci.
Intinya, dalam mengimani sesuatu, orang itu berbeda-beda sesuai ilmu dan pemahaman terhadap ilmu tersebut.
Ketika kita tidak mengetahui/ memahami sesuatu ilmu, hendaknya kita jujur saja seperti mengatakan "Aku tidak tau" atau "Allohu'alam"..dan itu sudah menjadi kebiasaan para salaf juga.
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Pembahasan
Untuk menjaga diri dari fitnah
(kesesatan) orang-orang yang terkena fitnah dan melesat keluar dari Islam
seperti orang-orang tersebut, terdapat beberapa perkara penting yang selayaknya
dilakukan, dengan pertolongan Allah semata.
Di antaranya adalah:
Beliau akan sebutkan 8 perkara yang mana
mungkin dalam artikel ini menempati fokus bahasan yang paling banyak. Mungkin
50% lebih dari isi artikel ini membahas tentang Al Isma’, bagaimana kita
memberikan suntikan kekebalan kepada diri kita agar tidak terkena penularan
virus mereka.
Pertama
Berpegang teguh dengan keimanan secara
global (al-iman al-jumali)
Iman secara jumal itu kita meyakini asyhadualla illaha ilallah, yang berhak
disembah, diibadahi itu hanya Allah. Segala bentuk ibadah hanya ditujukan hanya
kepada Allah, selain Allah tidak berhak diibadahi. Dan “wa asyhaduanna Muhammad
rasulullah’, kita beribadah kepada Allah dengan cara memegang teguh syariat
yang dibawa oleh Rasulullah. Kita Imani Allah, para malaikat-Nya, para nabi dan
rasul-Nya, kitab suci-Nya, Hari Akhir, dan kita imani takdir Allah yang baik
maupun yang buruk. Kita Imani rukun Islam yang 5, sami’na wa ato’na terhadap
apa yang Allah perintahkan dan tetapkan pada kita. Secara global kita yakini
dan pegang teguh itu. Orang yang punya iman global seperti ini, yang mempunyai
komitmen kepada rukun Islam dan Iman secara global seperti ini maka kita anggap
sebagai muslim.
Dalam perkara-perkara yang sifatnya
rincian-rincian dan cabang-cabang yang belum ia ketahui, ia belum menemukan
jawaban tuntas tentangnya, dan ia belum melakukan penelitian dan pengkajian
yang mendalam tentangnya; maka hendaklah ia mengatakan: “Aku tidak tahu, aku
tidak mengerti, Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya
dan Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai potensi yang telah
dikaruniakan kepadanya.”
Ini adalah sikap seorang muslim, apa
yang sifatnya pokok, baku, global dari Islam kita pegang teguh. Untuk yang
sifatnya rincian yanga belum kita tahu maka “Aku tidak tahu, aku tidak mengerti,
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya dan Allah tidak
membebani seseorang kecuali sesuai potensi yang telah dikaruniakan kepadanya”. Dan jika tidak
tahu, silahkan menanyakan kepada ahlinya. Jika akita baca fatwa aqidahnya
Syaikh ‘utsaimin, beliau ditanya bagaimana kedudukan hadits-hadits tentang
royatissuud/ pasukan pembawa panji hitam, maka beliau menjawab bahwa beliau
tidak tahu untuk masalah itu dan ketidak tahuan beliau tidak akan berbahaya
bagi keimanan beliau. Apakah hadits itu shahih atau munkar atau dhaif itu tidak
akan membahayakan iman beliau, dan seorang muslim jika tidak mengetahui perkara
itu tidak masalah. Karena yang dituntut oleh Allah itu keimanan yang global,
kita laksanakan yang sudah pasti, yang sifatnya rinci sepeti tanda-tanda kiamat
yang sifatnya juga sudah sangat rinci sekali. Tentang turunnya Imam Mahdi yang
mutawatir kata para ulama, munculnya Dajjal, Isa Al Masih itu sudah mutawatir.
Tapi yang lebih dari itu seperti apakah nanti ada royatisuud dari Khurasan, apa
sebelum munculnya ini-itu ada ini dan itu, yang seperti itu sudah bersifat
tambahan, dalam arti sudah cabang, orang yang tidak tahu tidak akan merusak
imannya. Makanya yang dituntut oleh Allah itu adalah Islam yang kita ketahui,
yang sudah jelas itu yang akan menjadi bekal dalam kita nanti menghadap Allah
kelak.
Bagaimana dengan hal-hal yang tidak
tahu? serahkan kepada Allah, tanyakan kepada para ahlinya. Untuk urusan yang
lebih sederhana dari itu saja sampai hari ini ulama tidak putus-putusnya
ikhtilaf, masalah sederhana sehari-hari, seperti masalah wanita haid boleh
pegang mushaf tidak? itu sejak zaman salaf sudah berselisih pendapat. Maka
tidak penting bagi masyarakat awam mengetahui sampai detail-detail. Yang pasti
dipegangi dan diamalkan, selebihnya serahkan kepada para ulama.
Dari
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, (beliau seorang
sahabat yang diwasiatkan oleh Rasulullah bahwa manusia disuruh mengikuti dalam
mengambil Al Quran dari 4 orang, dan salah satunya beliau dalam dijadikan
pegangan. Selain beliau ada Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan Salim Maula
Abi Hudzaifah).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، مَنْ عَلِمَ شَيْئًا فَلْيَقُلْ بِهِ،
وَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ فَلْيَقُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ، فَإِنَّ مِنَ العِلْمِ أَنْ يَقُولَ
لِمَا لاَ يَعْلَمُ اللَّهُ أَعْلَمُ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِنَبِيِّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا
مِنَ المُتَكَلِّفِينَ}
“Wahai masyarakat, barangsiapa
mengetahui sesuatu maka hendaklah ia mengatakannya. Dan barangsiapa tidak
mengetahui sesuatu maka hendaklah ia mengatakan Allahu a’lam (Allah Yang
lebih mengetahui). Karena di antara bagian dari ilmu adalah mengatakan atas hal
yang belum ia ketahui Allahu a’lam.
Itu bagian dari ilmu, bahkan setengah
dari ilmu kata para ulama adalah “laa a’dri”_Saya tidak tahu, karena yang
setengahnya “saya mengerti”. Dan itu sudah tradisi di kalangan salaf, bahkan
banyak sahabat yang ditanya Rasulullah meski mereka mengetahui jawabannya,
bilangnya “Allah dan rasulnya yang lebih tahu” sebagi bentuk dari adab mereka.
Siapa tahu ada jawaban lain dari sisi Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman kepada nabi-Nya:
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ
المُتَكَلِّفِينَ
Katakanlah: “Aku tidak meminta upah
sedikit pun dari kalian atas dakwah ini dan aku bukan termasuk orang-orang yang
mengada-ada (memaksakan diri di luar kesanggupan). QS. Shad [38]: 86. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Tidak tahu dipaksa tahu, tidak bisa
dipaksa memaksa bisa, dst. Ini perintah Allah kepada Rasulullah, kalau tidak
tahu maka bilang tidak tahu, diam dan menunggu turunnya wahyu. Pernah ditegur oleh
Allah ketika ada orang-orang Yahudi datang ke Mekah dan menyuruh orang-orang Qurasy
untuk menanyakan 3 pertanyaan kepada Muhammad, jika bisa menjawab maka Muhammad
adalah nabi. Ternyata salah satu pertanyaannya itu tentang Ashabul Kahfi. Ketika
ditanya, Rasulullah berkata bahwa besok akan dijawab, ternyata 20-an hari tidak
turun wahyu dan menjadi bahan tertawaan kafir Qurasy. Maka turunlah ayat itu “wa
laa taqullanna...”, “jangalah kalian mengatakan tentang sesuatu saya akan
mengerjakannya besok pagi, kecuali dengan mengatakan insya Allah”. Itu adalah
teguran kepada Rasulullah.
Maka ada dalam QS. Annisa, “Sesungguhnya
Kami menurunkan kepadamu kitab dengan kebenaran agar kamu memutuskan perkara
dengan apa yang Allah ajarkan kepadamu”. Artinya, ilmunya Rasulpun nunggu
arahan dari Allah. Ini penting bagi kita ketika ada gempuran syubhat sana-sini,
ada orang mengajukan beragam hujjah, jika kita tidak tahu maka santai saja,
kita tunggu sampai Allah memberikan jawaban yang terbaik, karena dengan belajar
pelan-pelan maka insya Allah akan ketemu sendiri jawabannya.
Ketahuilah oleh kalian bahwa hal ini
merupakan salah satu pokok yang agung dalam pokok-pokok manhaj Islam dan jalan
yang lurus. Karena sesungguhnya hal yang dikehendaki dari setiap hamba pada
awalnya adalah keimanan secara global, yaitu memenuhi sejak awal perintah Allah
dan Rasul-Nya, itulah makna syahadat asyhadu an laa ilaaha illa Allahu wa
asyhadu anna Muhammad rasulullah.
Sebab, makna dua kalimat syahadat
adalah menghadapkan diri kepada Allah dengan beribadah kepada Allah semata
tiada sekutu bagi-Nya, mencampakkan segala sesuatu yang diibadahi selain Allah
dan mengkufurinya, mengikuti nabi dan rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam setiap ajaran yang dibawanya dan membenarkan beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam setiap berita yang beliau kabarkan.
Sederhana sebetulnya, iman itu ya seperti
itu. Kita ibadah kepada Allah semata, kita tidak menyekutukan-Nya, kita ingkari
peribadatan selain kepada Allah, kita ikuti ajaran Rasulullah dan kita benarkan
berita dari beliau.
Inilah keimanan, keislaman dan tauhid
secara global. Maka jika kita baca dalam kitab-kitab hadits, banyak sekali hadits shahih
menyebutkan ada orang datang kepada Rasulullah menanyakan tentang apakah Allah
mengutus beliau? Dengan apa Allah mengutus beliau? Rasulullah menjawab dengan
perintah untuk beribadah kepada Allah semata, mengakuiku sebagai utusannya, meyambung
tali silaturrahmi, dst. Lalu orang itu menjawab bahwa demi Allah dia tidak akan
menambah atau mengurangi. Dan rasulullah melanjutkan bahwa orang itu sungguh
beruntung, sungguh masuk syurga jika dia menepati janjinya.
Hadits-hadits seperti itu banyak,
artinya memang itulah Islam yang global. Jika disebutkan kata iman, Islam, takwa,
dll yang semakna, banyak lafal tapi bermakna sama jika disebutkan dalam ayat
yang berlainan. Kecuali disebutkan dalam satu ayat atau satu hadits maka
maknanya masing-masing sendiri. Kita bisa baca keterangan seperti itu dalam
Majmu’ Fatawa juz 7.
Kemudian rincian-rincian (ajaran
agama) setelah itu mengikuti sesuai dengan kadar ilmu. Rincian-rincian itu
memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda, tidak setiap cabang-cabang iman
dan rincian-rincian iman berada dalam satu tingkatan yang sama. Sebagaimana
disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ
“Iman itu lebih dari tujuh puluh
cabang. Cabang iman yang paling tinggi (utama) adalah laa ilaaha illa Allah dan
cabang iman yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan.”[1]
Dan dalil-dalil lainnya yang
menunjukkan hal ini. Ajaran Islam, tauhid, iman itu tidak satu tingkat, yang
penting orang punya pokoknya, untuk rinciannya nanti masing-masing orang akan
berbeda sesuai keadaannya, tingkat ilmunya, tempat dia berada, dll. Orang yang
hidup sebagi petani tentu kadar ilmunya tentang masalah furu’/ rincian akan
berbeda dengan seorang pedagang yang bergelimang harta di kota. Yang satu harus
belajar ilmu tentang riba, jual beli, zakat, kewajiban haji. Yang mungkin bagi
si petani yang makan sehari-hari saja kekurangan, ilmu-ilmu tadi ada yang tidak
perlu dipelajari. Seperti itu sekalipun sama-sama misalkan haji, zakat, tapi
jika sudah diterapan maka yang diwajibkan adalh meyakini bahwa itu rukun Islam
yang bagian dari ajaran Islam. Adapun rinciannya, hukum-hukum rincinya akan
tergantung kepada kondisi, tidak semua muslim harus belajar seperti itu. Masalah ini tidak
diperselisihkan lagi oleh para ulama.
Iman yang terperinci berbeda dari satu
orang ke orang lainnya sesuai kadar ilmu, maksudnya sesuai kadar sampainya ilmu
kepada seseorang, kesungguhannya, pembelajarannya dan pengetahuannya dengan
ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang
ditunjukkan oleh syariatnya.
Mungkin ada kawan-kawan kita di luar
yang sudah ngaji sekian tahun, ikut halaqah dari sana ke mari tapi untuk
ilmu-ilmu tertentu dia belum dapat. Padahal dia bukan orang yang taksir, bukan
orang malas. Dan memang Allah kadang memberikan kemudahan kepada seseorang yang
mempunyai semangat pas-pasan tapi kondisi memudahkan mendapatkan suatu ilmu,
sementara yang lain malah tidak mendapatkannya.
Tidak semua orang mempunyai kesempatan
untuk mempelajari ajaran Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. Tidak semua orang
sekalipun ada usaha sungguh-sungguh mempunyai kesempatan. Syariat nabi itu
isinya banyak sekali, tergatung sejauh mana kita menggalinya.
Seorang ulama tentu berbeda dengan
orang awam yang bodoh. Seorang pakar spesialis dalam ilmu-ilmu agama dan
syariat tentu berbeda dengan seorang petani yang buta huruf di ladangnya dan
seorang nenek tua di kampung. Dan seterusnya. Maka tidak bisa
disamakan pengetahuannya dan pengamalannya, nilainya di sisi Allah juga beda.
Orang tua dikampung-kampung bisa membaca
AL Qur’an, mau mengaji seminggu sekali, dll itu sudah hebat. Jika kita baca
dalam buku “Api Sejarah” kalau tidak salah jilid 2, bagaimana Belanda itu
mempunyai strategi memigrasikan masyarakat dari suatu daerah ke daerah lain
dengan tujuan memutus pembelanjaran dan pengalam Islam. Bagaimana para kyai
dibuang ke daerah-daerah lain dan masyarakatnya dibuang ke daerah lain –yang beda
dengan kyai tadi- Dan nanti ganti yang daerah asalanya diisi dengan masyarakat
lain. Kenapa? karena agar kondisi masyarakat berubah total orang tidak bisa
lagi belajar kepada para kyai. Bagaimana di sebuah daerah itu misal ada kyai
karismatik, punya pengaruh luas kepada masyarakat maka masyarakatnya dibuang ke
luar jawa misalkan, untuk menggarap perkebunan. Tujuannya agar orang itu dalam
hidupnya tahunya ya cangkul, sabit, kelapa, dll dan jauh dari kyai, da kyainya
pun mati kutu, tidak punya pengikut untuk jihad melawan penjajah. Dan itu
dimana-mana, pembodohan secara sistematis, orang bodoh itu bukan karena
keinginan dia sendiri saja, tapi disengaja. Karena jika mereka jadi pintar maka
penjajah itu tidak akan bertahan lama
Maka barangsiapa telah sampai ilmu
tentang sebuah masalah kepada dirinya, ia mampu menelitinya, memastikannya dan
mengetahui bahwa hal tersebut benar-benar berasal dari agama Allah; dengan cara
ia mengetahui dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah jika ia termasuk orang yang
berilmu (ulama), pengkajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an, As-Sunnah dan
sisi penunjukan dalil; atau dengan cara ia bertanya kepada seorang ulama yang
terpercaya dalam urusan agama dan ilmu, sehingga ulama tersebut menunjukkan dan
menjelaskannya kepadanya lalu ia menerima dan mengambil penjelasan ulama
tersebut; maka orang seperti ini wajib mengimani ilmu yang ditunjukkan oleh
“dalil” bahwa ia termasuk ajaran agama Allah, baik ia berkaitan dengan
penghalalan maupun pengharaman, berita maupun ketetapan hukum, janji maupun
ancaman.
Adapun orang yang ilmu (tentang
masalah tersebut) belum sampai kepadanya, maka ia tidak wajib mengimaninya
secara terperinci.
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Teks Arab :
فصــــلٌ
والعصمة من فتنة هؤلاء المفتونين المارقين
تكمن في أمورٍ مهمة منها بعون الله تعالى ما يلي:
الأول:
التمسك بالإيمان الجُمليّ، ولْيَقُل الإنسان في التفاصيل والفروع التي لا يعلمها ولم
يقف على علمٍ فصلٍ فيها، ولا حررها ولا حققها: لا أعلم، ولا أدري، ولا يكلف الله نفسا
إلا وسعها، ولا يكلف الله نفسا إلا ما آتاها.
عن عبدالله بن مسعود رضي
الله عنه قال: "يا أيها الناس مَن علم شيئاً فليقل به، ومَن لم يعلم فليقُل
الله أعلم، فإن من العلم أن يقول لما لا يعلم الله أعلم، قال الله تعالى لنبيه ﴿قل ما أسألكم عليه
من أجر وما أنا من المتكلفين﴾ متفق عليه.
واعلموا أن هذا أصل عظيم
من أصول منهج الإسلام والصراط المستقيم، فإن المطلوب من العبد ابتداء هو الإيمان الجُملي،
وهو الاستجابة المبدئية لله والرسول، وهو معنى شهادة ألا إله إلا الله وأن محمدا رسول
الله، لأن معناها: التوجه بالعبادة إلى الله وحده لا شريك له، وخلع كل معبود سواه والكفر
به، واتباع نبيه ورسوله محمد صلى الله عليه وآله وسلم في كل ما جاء به، وتصديقه في
كل ما أخبر.
هذا هو الإيمان والتوحيد
والإسلام الجملي..
ثم التفاصيل تأتي تباعاً
بحسب العلم، وهي درجات، وليست كل الفروع وتفاصيل الإيمان وشعبه في درجة واحدة كما دل
عليه حديث "الإيمان بضعٌ وسبعون شعبة فأعلاها لا إله إلا الله، وأدناها إماطة
الأذى عن الطريق" وغيره من الأدلة، وهذه مسألة لا خلاف فيها بين أهل العلم.
فالإيمان التفصيلي يختلف
من شخص إلى آخر بحسب العلم، أي بحسب بلوغ العلم للشخص، واجتهاده وتعلمه ومعرفته بما
جاء به النبي صلى الله عليه وسلم، وبما دلت عليه شريعته، فالعالم غير العامي الجاهل،
والمتخصص في علوم الدين والشريعة غير الفلاح الأمي في مزرعته، والعجوز الفانية في قريتها.
وهكذا.
فمن
وصله العلم بمسألة وتحققها وحررها وعرف أنها صحيحة النسبة إلى دين الله تعالى بأن عرف
دليها من الكتاب والسنة إن كان هو من أهل العلم والنظر والفهم للكتاب والسنة ومعرفة
الدلالات، أو بأن سأل عالما موثوقا في دينه وعلمه فدله عليها وشرحها له فتلقاها منه
وأخذها عنه، فهذا يجب عليه أن يؤمن بهذا العلم الذي دل "الدليل" على أنه
من دين الله، تحليلا أو تحريما، خبرا وقضاء، ووعدا ووعيدا.