_______________________________
Lama-lama mereka akan menemukan sendiri bahwa pendapat mereka sangat bertentangan dengan syariat islam
Bahwa syariat islam itu lebih cenderung untuk memberikan udzur, memberikan keringanan dan kemudahan
Anda tidak akan mendapatkan seorang pun pelaku bid’ah dalam agama kecuali di dalam hatinya merasa sesak terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang menyelisihi bid’ahnya
::::::::::::::::::::::::::::::::
Lanjutan beberapa contoh kontradiksi yang dialami oleh
kelompoknya Abu mAryam al Mukhlif dan para pengikutnya.
6. Seiring perjalanan waktu, mereka akan menemukan
pendapat-pendapat yang mereka ikuti tersebut sangat banyak dan sangat kuat
menyelisihi tujuan-tujuan dan pokok-pokok syariat Islam (maqashidu
asy-syari’ah) dan pokok-pokok ajaran agama Islam (ushulud dien) yang
telah ditetapkan dengan beragam dilalah (penunjukan suatu dalil syar’i
terhadap suatu hukum atau perkara) yang bukan nash.[1], bukan teks tegas, tapi dari
pemahaman.
Kalau direnungkan, dalam ilmu ushul fiqh akan ada teori yang
namanya “Qowaid Lughah” (kaidah-kaidah bahasa), ada juga “Qowaid Syar’iyah”
(kaidah-kaidah syariat). Kaidah Lughah itu contohnya dalam ayat atau hadits itu
pasti ada 2 unsur, unsur mantuk (sesuatu yang tersurat) dan ada unsur mafhum
(sesuatu yang tersirat, yang dibalik lafal itu). Unsur mafhum tidak disebutkan
dalam lafal tapi sudah masuk dalam kandungan ayat itu.
Contohnya dalam ayat “wa laa taqrobuzzina”, janganlah kalian
mendekati zina. Mantuknya/ tersuratnya adalah yang dilarang yang mendekati zina
saja, kalau zina betulan belum disebutkan. Nah yang itu tidak disebutkan secara
nash, tapi disebutkan secara mafhum/ pemahaman, tersirat. Kalau mendekati zina
saja tidak boleh, apalagi yang melakukan zina betulan.
Nah, maka ini perlu dipahami bahwa syari’at (ayat dan hadits)
itu tidak harus menunjukan sesuatu itu dengan lafal, tekas nash saja, tapi cara
lain untuk memahami itu banyak. Maka ada mantuk dan mafhum, dilihat dari satu
ayat atau hadits itu mempunyai berapa makna, nanti dibagi lagi menjadi nash
yang mempunyai satu makna saja yang tidak mungkin mempunyai makna lain.
Contohnya hadits “wahai Rasulullah, apakah ada kewajiban atas kami yang lain
selain shalat lima waktu itu? Rasul menjawab “tidak ada, kecuali jika kalian
mau shalat sunnah”. Berarti di situ itu nash, shalat yang wajib itu lima waktu,
tidak mungkin ditafsirkan enam-tujuh waktu. Itu namanya nash. Ada lagi dibawah
nash itu namanya dhahir, yaitu sebuah ayat atau hadits punya banyak makna, tapi
makna yang kelihatannya sekilas jika kita baca langsung bisa dipahami dan makna
yang paling kuat itu namanya dhahir. Dibalik dhahir itu ada makna-makna lain
yang mungkin lebih lemah (muawwal). Nanti adalagi dari sisi luasnya cakupan,
nanti ada pembagian makna yang mutlak (umum sekali) dan ada yang muqayyad
(dibatasi dengan beberapa sifat). Nanti ada lagi yang namanya ‘Aam (menunjukkan
makna umum), adalagi Khos (makna khusus). Nanti ada ‘aam itu yang ditaksis
lagi. Jadi banyak cara dalam memahami ayat dan hadits, tidak musti mencari
sesuatu itu harus ada dalilnya nash.
Mereka mendapati syariat Islam lebih cenderung dan menyukai
pemberian udzur. Syariat Islam banyak memuji dan banyak menganjurkan untuk
memberikan udzur.
Jika kita baca ayat-ayat dan hadits maka akan seperti itu,
Allah itu mempunyai sifat “Rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku” yang banyak
disebutkan dalam hadits seperti itu. Allah mempunyai 100 rahmat, satu
diturunkan di muka bumi dan yang 99 di akhirat. Mereka akan menemukan
hadits-hadits seperti itu, bahwa syariat itu cenderung untuk memberikan udzur
daripada tidak memberikan udzur.
Seperti disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
وَلَيْسَ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ الْعُذْرُ مِنَ اللهِ، مِنْ أَجْلِ
ذَلِكَ أَنْزَلَ الْكِتَابَ وَأَرْسَلَ الرُّسُلَ
“Tiada seorang
pun yang lebih menyukai pemberian udzur selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, oleh
karena itu Allah menurunkan kitab suci dan mengutus para rasul.”(Hadits
riwayat Bukhari dan Muslim, dengan lafal Muslim)
Sebagaimana hadits ini disebutkan
dalam kitab Shahih Bukhari-Muslim diawali dengan kisah tentang ghirah, tentang
kecemburuan. Ada sahabat bertanya kepada Rasulullah, wahai Rasulullah apa yang
harus aku lakukan jika saya masuk ke dalam rumah, ke dalam kamar lalu saya
dapati seorang laki-laki di atas istri saya di atas ranjang. Lalu Rasul bertanya,
apakah kalian heran dengan kecemburuan Saad bin Abi Waqas? Allah lebih cemburu
lagi dari pada cemburunya Saad. Namun sekalipun Allah memiliki sifat
kecemburuan yang sangat tinggi (tentu yang layak dengan kesempurnaan Allah),
tapi Allah juga pemaaf.
Hadist itu kata Syaikh Shadiq bin
Abdullah cara memahaminya seperti itu, kenapa masalah udzur ini dikaitkan
dengan masalah cemburu? Jika manusia cemburu dengan istrinya berzina dengan
laki-laki lain langsung dia bunuh, dan Allah itu tiap hari ‘disakiti’ oleh
makhluknya. Sudah dikasih makan, ini dan itu tapi masih saja ada orang yang berbuat
syirik, kufur, dan maksiat. Allah cemburu, marah, tapi Allah tidak langsung
menghukum mereka. Tapi Allah adalah Dzat yang paling memberi maaf. Diturunkan
kitab suci, diutus para Rasul untuk menegakkan hujjah. Tidak sekedar berbuat
syitik dan kufur lalu Allah langsung memvonis. Allahu’alam bis showwab..
Sebagaimana juga syariat Islam juga lebih menyukai untuk
memudahkan dan meringankan, sementara mereka justru bersikap sebaliknya. Kita
ingat sebelum Rasulullah wafat tahun 10 H beliau mengirim beberapa sahabat
untuk berdakwah ke Yaman. Pertama sahabat Mu’adz bin Jabal kemudia ‘Ali bin Abi
Thalib dan ...(lupa). Dan Allah berpesan kepada mereka “permudahlah jangan
dipersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari”. Inilah pesan
beliau sebelum wafat kepada para dai yang beliau kirim ke daerah-daerah. Jika
kita baca ayat Al Qur’an banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa syariat islam
itu salah satu sifatnya adalah memberi kemudahan/ rukhsah.
Hal itu memaksa mereka lebih menekan perasaan mereka sendiri
secara berulang-ulang. Sampai-sampai sebagian mereka tidak suka jika
mendengarkan atau membaca ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang berbicara
tentang memudahkan, memberi udzur, meringankan dan lain-lain! Padahal jika kita
baca, ayat-ayat seperti itu banyak sekali bahwa orang itu masuk Islam betapa
sederhananya. Contohnya seperti Rasululloh mempunyai seorang pembantu anak
kecil. Kerjanya sebagaimana Anas bin Malik, membantu Rasulullah, tapi api dia
seorang yahudi. Setiap hari membantu Rasulullah. Suatu hari anak kecil ini
sakit parah mau sakaratul maut. Rasulullah menjeguk dan berkata kepadanya “masuk
islamlah kamu maka kamu akan selamat”. Maka dia melihat ke arah bapak-ibunya, menggambarkan
“bagaimana ini?” Maka bapaknya bilang “taatilah Abu Qasim (Rasulullah)”. Maka
dia mengucapkan Syahadat dan lalu menghembuskan nafas yang terakhir. Dan
Rasulullah bersabda “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah
menyelamatkan beliau dari api neraka”. Dan ini padahal masuk Islam bukan karena
dibacakan ayat Al Qur’an ataupun hadits, tapi nurut denagn bapaknya tadi. Dan
bapaknya pun tidak membacakan ayat taurat yang menyebutkan bahwa Muhammad itu
nabi.
Ini sebetulnya taqlid, tapi kenapa juga ulama bilang tidak
ada taqlid dalam masalah tauhid. Tapi anak kecil ini masuk Islam , tauhid. Jika
ulama bilang seperti itu maka harus kita lihat apakah benar praktiknya pada
masa Rasulullah apakah orang masuk Islam itu harus paham dalil semua. Betapa
banyak orang masuk Islam itu dengan tidak memahami dalil-dalil. Kadang dia
hanya melihat akhlak Rasulullah, kejujuran dalam muamalahnya.
Ada orang yahudi mempunyai piutang kepada Rasulullah. Lalu
dia menagih Rasulullah dengan menarik syal Rasulullah dengan keras sampai
membekas di leher beliau sampai para sahabat marah, namun Rasulullah sabar.
Beliau perintahkan sahabat untuk mengambilkan pembayaran hutang itu dengan
malah memberikan kelebihan (bukan riba). Dan dengan perantara seperti itu orang
yahudi itu akhirnya masuk Islam, bukan karena pembacaan ayat dan hadits, tapi
melihat akhlak Rasulullah.
Ada juga dalam hadits shahih Bukhari-Muslim, namanya Tsumamah
bin Utsal, pemimpin suku hanifah. Dia orang musyrik mau beragkat ke Mekah untuk
umrah dengan membawa unta dan ditangkap oleh para sahabat yang ditugaskan
Rasulullah untuk patroli. Dan dia diikat di tiang masjid selama tiga hari tiga
malam, dilepas pada saat makan atau BAB. Pagi ba’da subuh ditanya Rasulullah
bagaimana kabarnya, apa yang dia butuhkan. Dia berkata wahai Muhammad jika
enngkau akan membunuhku memang engkau layak karena aku punya permusuhan
kepadamu, tapi jika engkau minta tebusan, aku ini kepala suku dan sanggup
membayar tebusan yang banyak. Besoknya lagi seperti itu, tiga hari
berturut-turut. Sampai hari ketiga tidak ada perubahan, maka diperintahkan para
sahabat untuk melepasnya. Lalu Tsumamah pergi dan datang lagi ke masjid dgn
keadaan sudah mandi lalu menyatakan syahadat. Dia mengatakan “saya ini tidak
mau masuk Islam pada masa tiga hari itu karena saya khawatir orang-orang akan
salah faham dikiranya saya masuk Islam karena takut. Ingin menyelamatkan nyawa
dan harta”. Padahal dia masuk Islam itu karena dia melihat lima kali
orang-orang Islam dengan beragam profesi, status sosial, dll bisa bersatu dalam
shof yang rapi, ruku’ bareng, takbir bareng. Kekompakan, kesamarataan, tidak
ada kelas-kelas sosial itulah yang membuat dia terharu dan akhirnya masuk
Islam. Sama sekali tidak ada pembacaan ayat-ayat tauhid.
Dan masih banyak ribuan orang masuk Islam dengan cara seperti
itu. Islam memberikan kemudahan dan jika dikumpulkan, hadits seperti itu
sangatlah banyak. Dan mereka tidak kuat menahan, mendengarkan ayat ataupun
hadits seperti itu. Padahal itu praktik, amaliyat di zaman Rasulullah.
Inilah kondisi pelaku bid’ah dan kefasikan (kefasikan adalah
keluar (melanggar) dari ketaatan kepada Allah dan jalan-Nya yang lurus), ia
merasa sempit dan sesak terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits yang menyelisihi
bid’ah dan kefasikannya. Maka ia termasuk dalam makna golongan yang difirmankan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا
“Kemudian
mereka tidak mendapatkan dalam diri mereka rasa sempit (keberatan) atas
keputusan yang engkau (Rasulullah) tetapkan dan mereka menerimanya dengan
sepenuhnya.”(QS. An-Nisa’ [4]: 65)
Dalam ayat ini bahwa syarat orang
beriman salah satunya adalah tauhidul muttaba’ah (tauhid ittiba’), hanya ittiba’
kepada Rasulullah.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah telah menyebutkan masalah ini
dalam sebagian bukunya. Dalam bukunya yang berjudul Ijtima’u Al-Juyusy
Al-Islamiyah, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengutip dari Imam Ibnu Abi
Hatim dalam kitabnya As-Sunnah dan Imam Abdullah bin Ahmad bin Hambal
dalam kitabnya yang juga bernama As-Sunnah, keduanya meriwayatkan bahwa
Jahm bin Shafwan membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
”Yaitu Yang Maha
Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.”(QS. Thaha [20]: 5)
Maka Jahm bin Shafwan berkata, “Seandainya aku menemukan cara
untuk menghapus ayat ini dari mushaf Al-Qur’an, tentu akan akan melakukannya.”
Maunya dia itu tidak mau ada ayat ini di dalam Al Qur’an karena dia tidak
percaya bahwa Allah itu istiwa’ di atas Arsy. Dalam riwayat lain disebutkan “bukan
seperti ini tuhan yang kami inginkan”. Seperti orang-orang JIL, ada sunami yang
mati banyak dan mereka bilang bahwa kita tidak butuh tuhan yang kejam.
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kesehatan,
keselamatan dan keteguhan di atas kebenaran. Aamiin.
Saat membahas tentang sikap menjauhi Al-Qur’an, Imam Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Al-Fawaid menulis:
“Demikian pula halnya dengan rasa sempit dalam jiwa terhadap
Al-Qur’an. Hal itu terkadang terjadi karena ia merasa sesak disebabkan
Al-Qur’an adalah kebenaran dan diturunkan dari sisi Allah. Terkadang disebabkan
Allah berbicara dengannya atau anggapan ia adalah salah satu makhluk-Nya yang
Allah ilhamkan kepada selain-Nya untuk berbicara dengannya.
Debat panjang lebar apakah Al Qur’an itu makhluk apa bukan,
apakah hurufnya makhluk atau bukan. Debat yang sifatnya akal maka tidak akan
menambah iman sedikitpun. Orang-orang mu’tazilah kemudian diikuti orang-orang
muttakalimin, asy’ariyah maturidiyyah.
Terkadang disebabkan (keraguan bahwa) Al-Qur’an telah
mencukupi atau belum, dan (anggapan) bahwa Al-Qur’an belum cukup bagi
hamba-hamba-Nya. Mereka meyakini bahwa makhluk-makhluk Allah masih memerlukan
hasil-hasil akal, logika-logika, pendapat-pendapat atau siasat-siasat.
Terkadang sempitnya hati oleh sebab sisi penunjukan
lafal-lafalnya terhadap makna-makna yang sesungguhnya saat lafal tersebut
diucapkan ataukah makna lafal-lafal tersebut hendak dita’wilkan dan dikeluarkan
dari makna-makna sebenarnya kepada ta’wilan-ta’wilan yang dibenci dan memiliki
banyak makna. Terkadang oleh sebab makna-makna yang sesungguhnya tersebut
sekalipun maknanya telah teguh, namun diperdebatkan lagi apakah ia yang
dimaksudkan sendiri ataukah mengesankan ia yang dimaksudkan karena sebuah
maslahat tertentu?
Mereka semua, dalam hati mereka merasakan sesak dan sempit
dari Al-Qur’an. Mereka mengetahui hal itu dari hati mereka dan mereka
mendapatkannya dalam dada mereka. Anda tidak akan mendapatkan seorang pun
pelaku bid’ah dalam agama kecuali di dalam hatinya merasa sesak terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an yang menyelisihi bid’ahnya. Sebagaimana Anda tidak akan
mendapatkan seorang pun orang yang zalim dan pendosa kecuali dadanya akan
merasa sesak terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang menghalangi dirinya dari meraih
hawa nafsunya. Maka renungkanlah secara mendalam makna ini, kemudian sukailah
untuk dirimu sendiri apa yang engkau inginkan.”[2]
Pemabuk paling tidak suka ayat tentang khamer, pecandu
narkoba akan lari jika dibacakan ayat Al Maidah 91-92, penguasa sekuler
dibacakan tentang menetapkan hukum Allah akan sesak, dll. Karen ayat-ayat itu
mencegah dia untuk mengejar apa yang dia inginkan, hawa nafsuny terhalangi.
[1]. Dalam ilmu ushul fiqih, sebuah lafal dalam ayat Al-Qur’an dan
hadits nabawi dari sisi penunjukkannya terhadap sebuah makna dibagi menjadi dua
bagian: wadhih ad-dilalah dan ghairu wadhih ad-dilalah. Wadhih ad-dilalah
(penunjukan yang jelas terhadap sebuah makna) diklasifikasikan lagi menjadi
empat, yaitu zhahir, nash, mufassar dan muhkam. Adapun ghairu
wadhih ad-dilalah (penunjukannya terhadap suatu makna kurang jelas)
diklasifikasikan lagi menjadi empat, yaitu khafi, musykil, mujmal dan
mutasyabih.
Adapun dari sisi cara penunjukan
sebuah lafal dalam ayat Al-Qur’an dan hadits nabawi kepada sebuah makna
diklasifikasikan menjadi lima, yaitu ‘ibarah an-nash, isyarah an-nash,
dilalah an-nash, iqtidha’ an-nash dan mafhum mukhalafah. Mafhum mukhalafah
diklasifikasikan lagi menjadi lima, yaitu mafhum syarat, mafhum sifat,
mafhum ghayah, mafhum ‘adad dan mafhum laqab. Pent.
[2]. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Al-Fawaid, hlm. 82. Pent.
Teks Arab :
ومنها
أنهم مع مرور الوقت أيضا يكتشفون كثرة وقوة مناقضتهم لمقاصد الشرع ومبانيه وأصول الدين
المتقررة بأنواع الدلالات غير النصّيّـة، فإنهم يجدون أن الشرع يميل إلى العذر ويتشوّف
إليه، ويكثر من مدحه والحث عليه، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم: "وليس أحدٌ أحبَّ إليه العذرُ من الله من أجل ذلك أنزل الكتاب
وأرسل الرسل" (متفق عليه وهذا لفظ مسلم)، كما يتشوّف إلى التيسير والسهولة
والتخفيف، وهم بعكس ذلك كله، فيوجب لهم ذلك تأنيب ضمير مضافا ومكرراً، حتى ليصل الحالُ
ببعضهم إلى أن يكره أن يسمع أو يقرأ من القرآن والحديث آيات وأحاديث التيسير والعذر
والتخفيف ونحو ذلك..!
وهذا هو شأن صاحب البدعة
والفسوق (وهو الخروج عن طاعة الله تعالى وصراطه المستقيم) أنه يصير عنده حرجٌ من الآيات
والأحاديث التي تخالف بدعته وفسقه، فيدخل بذلك تحت طائلة قول الله عز وجل: ﴿ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجاً مما قضيتَ ويسلموا تسليماً﴾،
وقد ذكر هذه الفائدة ابنُ القيم في بعض كتبه، ونقل في كتابه اجتماع الجيوش الإسلامية
عن ابن أبي حاتم وعبد الله بن الإمام أحمد في كتابيهما السنة، أنهما رويا عن الجهم
بن صفوان أنه تلا قوله تعالى ﴿الرحمن على العرش استوى﴾
فقال: لو وجدتُ السبيلَ إلى أن أحكها من الصحف لفعلتُ.
نسأل الله العافية والسلامة
والتثبيت على الحق.. آمين
قال ابن القيم رحمه الله
في كتابه الفوائد، عند كلامه على أنواع هجر القرآن: ((وكذلك الحرجُ الذي في الصدور
منه، فإنه تارة يكون حرجا من إنزاله وكونه حقا من عند الله، وتارة يكون من جهة التكلم
به أو كونه مخلوقا من بعض مخلوقاته ألهم غيرَهُ أن تكلم به، وتارة يكون من جهة كفايته
وعدمها وأنه لا يكفي العباد، بل هم محتاجون معه إلى المعقولات والأقيسة أو الآراء أو
السياسات، وتارة يكون من جهة دلالته وما أريد به حقائقه المفهومة منه عند الخطاب أو
أريد به تأويلها وإخراجها عن حقائقها إلى تأويلات مستكرهة مشتركة، وتارة يكون من جهة
كون تلك الحقائق وإن كانت مرادة فهي ثابتة في نفس الأمر أو أوهم أنها مرادة لضرب من
المصلحة، فكل هؤلاء في صدورهم حرج من القرآن، وهم يعلمون ذلك من نفوسهم ويجدونه في
صدورهم، ولا تجد مبتدعا في دينه قط إلا وفي قلبه حرجٌ من الآيات التي تخالف بدعته كما
أنك لا تجد ظالما فاجراً إلا وفي صدره حرج من الآيات التي تحول بينه وبين إرادته، فتدبر
هذا المعنى ثم ارض لنفسك بما تشاء)) اهـ.