Download File Audio Kajian (.rm)
_______________________________
Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh-Zhahiri secara tegas tidak membeda-bedakan antara syirik dan kafir
Seseorang sadar menambah/mengurangi ayat, tau kalau salah/ berbeda dengan Al Qur'anm maka dia kafir
Seseorang karena tidak tau/ bodoh salah membaca ayat, diingatkan namun ia bersikukuh bahwa ia benar krn blm jelas kebenaran, maka dia tidak kafir/ tidak fasik/ tidak berdosa.
Namun jika dia sudah mengetahui kebenaran, melihat mushaf dan ternyata salah dan lalu ia tetap bersikukuh bahwa dia benar, maka dia kafir
Dan inilah hukum yang berlaku dalam seluruh (persoalan) agama.
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Imam Ibnu Hazm Azh-Zhahiri (wafat
tahun 456 H) termasuk ulama yang pertama kali membicarakan perkara ini dengan
rincian dan penelitian yang cermat dalam bukunya, Al-Fishal fil Milal wal
Ahwa’ wan Nihal. Setelah menguraikan panjang lebar perkara ini dan menyebutkan
sejumlah dalil, beliau mengatakan:
“Abu Muhammad (Ibnu Hazm sendiri,
pent) berkata: Bukti nyata yang dharuri (pasti) yang tidak ada perbedaan
pendapat tentangnya adalah sesungguhnya seluruh umat Islam telah berijma’ tanpa
ada seorang pun di antara mereka yang menyelisihinya, bahwasanya setiap orang
yang mengganti satu ayat dari Al-Qur’an secara sengaja sementara ia mengetahui
bahwa bunyi ayat tersebut di dalam mushaf berbeda dengan bunyi ayat yang ia
bawakan, dan ia menghilangkan satu kata (dari ayat tersebut) secara sengaja
atau ia menambahi satu kata (dari ayat tersebut) secara sengaja, maka orang
tersebut telah kafir berdasar ijma’ seluruh umat Islam.
Lalu, seseorang keliru dalam membaca
sebuah ayat, ia menambah sebuah kata atau mengurangi sebuah kata dalam ayat
tersebut atau mengganti kata dalam ayat tersebut, karena ia tidak tahu (bodoh)
dan mengira bahwa ia sudah benar (dalam membaca ayat tersebut). Ia merasa besar
(tidak percaya saat diingatkan akan kekeliruannya, pent) dan mendebat (mempertahankan
bacaannya) sebelum jelas baginya kebenaran. Meski demikian, ia tidak kafir
menurut seorang pun dari kalangan umat Islam; tidak pula fasik dan tidak pula
berdosa.
Kemudian jika ia kembali melihat
mushaf atau ia diberitahu oleh seorang qari’ (penghafal Al-Qur’an) yang
beritanya menjadikan hujah tegak, namun ia tetap bersikeras mempertahankan
kekeliruannya, maka ia menjadi orang kafir tak diragukan lagi menurut seluruh
umat Islam. Dan inilah hukum yang berlaku dalam seluruh (persoalan) agama.”[1]
Inilah ijma’ tentang berlakunya udzur
bil jahl menurut seluruh umat Islam bahwasannya kekeliruan yang tidak disengaja
maka dimaafkan.
Catatan penting
Abu Maryam Al-Mukhlif dan para
pengikutnya akan menjawab (pernyataan ijma’ yang disebutkan oleh Imam Ibnu Hazm
Azh-Zhahiri ini) dengan mengatakan bahwa hal itu bukan dalam perkara syirik.
Abu Maryam Al-Mukhlif dan para pengikutnya lantas akan menyebutkan landasan
rusak mereka yang telah kami isyaratkan di atas, yaitu mereka membeda-bedakan
antara kekafiran dan kesyirikan, dan bahwa kesyirikan tidak berlaku udzur
kebodohan sama sekali, berbeda halnya dengan kekufuran.
Jawaban Abu Maryam Al-Mukhlif dan
para pengikutnya ini adalah jawaban yang rusak. Sebab Imam Abu Muhammad Ibnu
Hazm Azh-Zhahiri tidak membeda-bedakan antara kekafiran dan kesyirikan. Menurut
beliau, semua perkara tersebut sama. Seandainya beliau berpendapat dua hal
tersebut berbeda tentulah beliau akan menyebutkan perbedaannya. Justu bagian
akhir perkataan beliau secara tegas menunjukkan hal itu berlaku umum (dalam
semua perkara agama) dan tidak ada perbedaan. Sebab beliau mengatakan: “Dan
inilah hukum yang berlaku dalam seluruh (persoalan) agama.”
Maka jelaslah bahwa ungkapan Imam Abu
Muhammad Ibnu Hazm Azh-Zhahiri tersebut mematahkan punggung (hujah) Abu Maryam
Al-Mukhlif dan para pengikutnya. Sebab ungkapan tersebut seperti ungkapan yang
tegas mengenai riwayat ijma’, sementara penjelasan Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm
Azh-Zhahiri termasuk perkataan ulama yang paling lama yang bisa ditemukan dalam
membahas masalah ini secara cermat, terinci dan teliti.
Dibandingkan dengan para penulis
lainnya, misalnya dengan Ibnu Taimiyah yang meninggal tahun 728H, Ibnu Hazm
250an tahun lebih dahulu dibandingkan Ibnu Taimiyah yang membahas masalah ini.
Maka ini termasuk riwayat paling kuno, original tentang udzur bil jahl dalam
masalah kufur dan syirik akbar. Karena para ulama yang menulis setelah itu jauh
hidupnya setelah Ibnu Hazm. Termasuk Ibnu Taimiyah 2,5 abad setelah
meninggalnya Ibnu Hazm adz Dzahiri.
Juga karena Imam Abu Muhammad Ibnu
Hazm Azh-Zhahiri tidak membeda-bedakan antara kekafiran dan kesyirikan, tidak
seperti klaim Abu Maryam Al-Mukhlif. Justru ungkapan Imam Abu Muhammad Ibnu
Hazm Azh-Zhahiri secara tegas tidak membeda-bedakan keduanya.
Bahkan Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm
Azh-Zhahiri telah menulis sebuah pembahasan khusus dalam bukunya, Al-Fishal fil
Milal wal Ahwa’ wan Nihal untuk menetapkan bahwa kekufuran dan kesyirikan itu
satu perkara yang sama dalam agama, maksudnya dalam makna syar’i. Beliau
membantah orang yang membeda-bedakan antara keduanya, maka pembahasan Imam Abu
Muhammad Ibnu Hazm Azh-Zhahiri tersebut membantah Abu Maryam Al-Mukhlif yang
mengklaim ijma’ dalam membeda-bedakan antara keduanya![2]
Ini dulu pernah kita bahas ketika
membahas tentang Al Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, dimana Ibnu Hazm
dalam juz 3 halaman 264 dan seterusnya beliau mengatakan, “Para ulama berbeda
pendapat dalam masalah kekufuran dan kesyirikan. Ada segolongan ulama yang
berpendapat kufur dan syirik itu dua hal yang berbeda, masing-masing memiliki
makna sendiri. Mereka mengatakan bahwa setiap syirik itu kekafiran, tapi tidak
setiap kekafiran itu adalah kesyirikan. Dan mereka mengatakan bahwa tidak ada
kesyirikan kecuali pada pendapat orang yang menyatakan bahwa Allah memiliki
sekutu. Mereka menyatakan bahwa Yahudi dan Nashrani itu adalah orang kafir tapi
bukan orang musyrik. Adapun agama-agama lainnya (Hindu, Buda, Majusi, dll)
mereka itu kafir juga musyrik. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan
selainnya.”
Ibnu Hazm melanjutkan, “Dan ulama
lainnya berpendapat bahwa syirik dan kufur itu sama saja. Setiap orang kafir
adalah orang musyrik dan setiap orang musyrik adalah orang kafir. Ini adalah
pendaapt Imam Syafi’i dan lainnya.”
Kemudian Ibnu Hazam menyebutkan dalilnya
Imam Abu Hanifah adalah ayat pertama dalam QS. Al Bayyinah. Di situ menurut
Imam Abu Hanifah dibedakan antara kafir dan musyrik, berarti ahlul kitab itu
kafir dan bukan musyrik. Kalau musyrik adalah selain mereka. Berarti kufur dan
syirik itu dua hal yang berbeda. lalu pendapat beliau ini dibantah oleh Ibnu
Hazm dengan menyebutkan banyak ayat, termasuk firman Allah dalam akhir QS. Al
Maidah ”Wahai ‘Isa bin Maryam, apakah dahulu engkau mengatakan kepada umatmu
“Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua illah selain Allah”.” Dari situ Ibnu Hazm
menguatkan yang benar adalah bahwa syirik dan kufur itu satu hal yang sama.
Dengan ini, maka ketika Ibnu Hazm menyatakan tentang mengganti ayat,
menambah-mengurangi kata itu berarti kufur, dan jika pelakunya tidak tahu maka
bukan golongan syirik, pernyataan itu sama ketika beliau bicara tentang perkara agama lainnya yang
orang menyebutnya syirik, juga berlaku udzur jahl.
Itulah pernyataan Ibnu Hazm. Jika kita
baca dalam banyak ayat Al Qur’an yang mana menyebutkan bahwa syirik itu
maknanya juga kufur. Selama ini Abu Maryam al Mukhlif mencontoh ulama generasi
belakangan bahwa syirik itu beda dengan kufur, kalau syirik itu pelakunya belum
datang hujjah disebut musyrik dan jka sudah datang hujjah maka disebut
kafir-murtad. Jika orang Islam melakukan syirik dengan faktor ketidak tahuan
maka namanya langsung musyrik, jadi kafir yang mana tidak ada bedanya dengan
orang yang belum pernah masuk Islam. Itu yang mereka selalu sebutkan, dan
mereka menyebutkan banyak ayat yang menyebutkan orang kafir asli yang belum
pernah secara sah masuk Islam. Jika kufur dan syirik dibedakan seperti itu
kemudian jika ada lafal ‘musyrik’ dalam Al Qur’an berarti maknanya musyrik
disitu adalah orang melakukan syirik karena faktor ketidaktahuan, belum sampainya
dakwah kepada dia, maka pemahaman seperti itu akan rusak. Umpamanya kita ambil
ayat dalam surat Al Baqarah “ Janganlah kalian orang beriman laki-laki menikahi
wanita-wanita musyrikah sampai mereka beriman”, bila difahami musyrikah itu
pelaku syirik yang belum sampai kepadanya dakwah berarti mafhum dalam ayat itu
adalah boleh menikahi orang musyrik yang sudah sampai kepadanya dakwah, maka
akan rusak pemahamannya jika seperti itu.
Dan contoh lain misalkan dalam QS. At
Taubah dari ayat pertama sudah sering disebut di situ ‘orang-orang musyrik’.
Jika yang disebut ‘orang musyrik’ itu orang yang syirik dan belum sampai
kepadanya dakwah, maka jika seperti itu akan sangat banyak bertabrakan dengan
ayat Al Qur’an. Misal dalam ayat pertama, “(Inilah pernyataan) pemutusan
hubungan dari Allah dan RasulNya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin
yang kamu (kaum muslimin) telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka).” Padahal
surat dalam QS. At Taubah ini turunnya pada tahun 9H, itupun bulan Dzulhijjah.
Kita tahu pada waktu itu musim haji sebelum haji Wada’. Di situ Allah
menyatakan bahwa dengan turunnya ayat itu maka berhenti perjanjian damai dengan
orang-orang musyrik. Padahal orang musyrik itu berdamai dengan Rasulullah pasca
penaklukan Mekah tahun 8H, artinya orang musyrik itu sudah sampai dakwah
kepadanya, sudah 9tahunan berperang
dengan Rasulullah, namun tetap disebut musyrik. Ini menunjukkan bahwa musyrik
dan kafir itu tidak ada bedanya, dan jika kita baca ayat-ayat berikutnya maka akan
banyak sekali bahwa ‘musyrik’ itu maknanya orang kafir Quraisy saat itu, sesuai
dengan asbabun Nuzul ayat itu, orang-orang yang telah sampai padanya dakwah.
Dan tidak mungkin ada perjanjian antara orang muslim dengan kafir jika
dakwahnya belum sampai, belum pernah ketemu. Mau perjanjian masalah apa?
“Dan pengumuman dari Allah dan RasulNya
kepada manusia pada hari haji Akbar (ada yang menyatakan haji akbar itu adalah
Haji Wadda’, dan ada yang menyebutkan -pendapat yang kuat- itu adalah haji
berkumpulnya umat jama’ah haji di Mina pada tanggal 10 Dzulhijjah karena di
situ ada banyak sya’air seperti menyembelih kurban, lempar jumrah, bercukur
rambut, bahkan setelah itu ada thawaf iffadhah yang itu juga termasuk rukun
haji) bahwasannya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik.” Orang musyrik
di sini adalah orang musyrik yang telah
sampai kepada mereka hujjah.
Pada ayat sebelumnya (ayat 2) disebutkan
“Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi selama empat bulan dan
ketahuilah bahwa Sesungguhnya kamu tidak akan dapat melemahkan Allah, dan
Sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir.” Orang-orang kafir di ayat
ini adalah orang musyrik yang diberi tangguh 4 bulan itu. Jika nanti 4 bulan
habisa dan tidak mau masuk Islam berarti nanti akan ada perang lagi. Maka
musyrik dan kafir itu maknanya sama.
Ayat ke-4, “Kecuali orang-orang
musyrikin yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) dan mereka
tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka
membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu penuhilah
janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaqwa.” Ini musyriknya juga musyrik yang sudah sampai kepadanya hujjah. Dan
ayat kelimanya juga.
Ayat ke-5, “Apabila sudah habis
bulan-bulan Haram itu, Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja
kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah
ditempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan
menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk
berjalan..Orang-orang musyrik disini juga musyrik yang sudah sampai kepadanya
dakwah, yang istilah dari mereka (yang membedakan) adalah kafir-murtad tadi.
Artinya bahwa banyak sekali ayat Al
Qur’an yang menyebutkan kafir dan syirik itu sama saja. Ketika para ulama
menyatakan bahwa adanya ijma’ tentang adanya udzur bil jahl pada perbuatan
kufur akbar, maka pada saat yang sama itu maknanya juga ada ijma’ tentang
adanya udzur bil jahl pada perbuatan syirik akbar dalam hal-hal yang
memungkinkan untuk terjadinya ketidaktahuan, jahl yang mu’tabar.
Jika kita baca Al Qur’an maka akan
banyak sekali kita temukan bahwa tidak mesti yang disebut musyrik itu orang
yang belum sampai kepadanya dakwah. Begitu juga tidak mesti jika disebutkan ‘kafir’
itu maknanya orang yang sudah sampai kepadanya dakwah. Ada ayat-ayat yang orang
belum sampai kepadanya dakwah juga disebut kafir. Artinya mau istilah kafir
atau istilah musyrik sebenarnya tidak masalah, dua-duanya sama saja. Adapun
tentang bagaimana syari’at Islam menyikapinya, misal orang musyrik yang belum
boleh diperangi sampai dia didakwahi terlebih dahulu. Maka yang seperti itu
tentu ada dalil lainnya yang menyebutkannya, yang mana tidak ada kaitannya
dengan pembahasan ada atau tidaknya udzur.
Dengan meneliti ayat-ayat Al Qur’an
beserta tafsir-tafsirnya maka kita akan bisa mengetahui bahwasannya
membeda-bedakan antara syirik dan kufur yang nanti dibuat kesimpulan jika
syirik akbar tidak ada udzur sama sekali dan kalau kufur akbar ada udzur bil
jahl. Maka yang seperti itu juga bertolak belakang dengan dalil-dalil Al Qur’an
dan hadits-hadits shahih. Karena nanti dalam pembahasan fiqih ada bentuk-bentuk
kekufuran misalnya yang tidak akan ada udzur. Misalnya tidak mengakui adanya
Sang Pencipta, yang seperti itu tidak ada udzur sekalipun orang menyebutnya
kufur ta’til, seeprti orang komunis, atheis, materialis.
Inilah pentingnya bagi kita untuk
berhati-hati, jangan kita hanya mengambil pendapat-pendapat para ulama
abad-abad belakangan sementara ulama-ulama terdahulu yang sudah membahasnya
justru kita tinggalkan. Sehingga kita malah menyelisihi dengan apa yang sudah
dirumuskan oleh para ulama terdahulu berdasarkan dalil-dalil yang shahih.
Allahua’lam...
[1]. Ibnu Hazm Al-Andalusi Azh-Zhahiri, Al-Fishal fil Milal wal Ahwa’
wan Nihal, 3/296. Pent.
[2]. Selengkapnya silahkan membaca Al-Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan
Nihal, 3/264 dst. Pent.
Teks Arab :
فقد حكى الإمامُ ابن حزم الظاهريُّ (المتوفى سنة 456هـ) وهو من أوائل من تكلم في هذه المسألة بتفصيل وتحرير في كتابه الفِصَل بعد أن بسط الكلام في المسألة وساق جملة من الأدلة: "قال أبو محمد: وبرهان ضروري لا خلاف فيه وهو أن الأمة مجمعة كلها بلا خلاف من أحد منهم، وهو أن كل من بدّل آية من القرآن عامداً وهو يدري أنها في المصاحف بخلاف ذلك، وأسقط كلمة عمداً كذلك، أو زاد فيها كلمة عامداً، فإنه كافر بإجماع الأمة كلها، ثم أن المرء يخطئ في التلاوة فيزيد كلمة وينقص أخرى ويبدل كلامه جاهلاً مقدراً أنه مصيب، ويكابر في ذلك ويناظر قبل أن يتبين له الحق، ولا يكون بذلك عند أحد من الأمة كافراً ولا فاسقاً ولا آثماً، فإذا وقف على المصاحف أو أخبره بذلك من القراء من تقوم الحجة بخبره فإن تمادى على خطئه فهو عند الأمة كلها كافر بذلك لا محالة، وهذا هو الحكم الجاري في جميع الديانة"اهــ
وللفائدة:
فإن المخلف وأفراخه سيجيبون بأن هذا في غير الشرك، ويذكرون ما أشرنا إليه من أصلهم
الفاسد في التفريق بين الكفر والشرك، وأن الشرك لا يُعذَر فيه بالجهل بخلاف الكفر،
وهذا جواب فاسدٌ، لأن أبا محمد ابن حزم رحمه الله لم يفرق بين الكفر والشرك، وعنده
أن الجميع بابٌ واحد هنا، ولو كان يفرق لذكر الفرق، بل آخر عبارته صريحٌ في العموم
وعدم الفرق فإنه قال: "وهذا هو الحكم الجاري في جميع الديانة".
فتبيّن أن عبارة ابن حزم
هذه قاصمة لظهر المخالفة (المخلف وأتباعه) فإنها كالصريحة في حكاية الإجماع، وهو من
أقدم ما يمكن أن يُوجَد من كلام العلماء في المسألة بشكل دقيق مفصل محرر، ولأنه لم
يفرق بين الكفر والشرك كما يدعي المخلف، بل صريحُ كلامه عدم التفريق، بل إنه عقد فصلاً
في نفس كتابه الفصل لإثبات أن الكفر والشرك شيءٌ واحدٌ في الدين أي في المعنى الشرعيّ،
وردّ على المفرّق بينهما، ففيها ردّ لدعوى المخلف الإجماع على التفريق.!