#34_Inilah Hukum Yang Berlaku Dalam Semua Persoalan Agama


Download File Audio Kajian (.rm)

_______________________________

Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh-Zhahiri secara tegas tidak membeda-bedakan antara syirik dan kafir

Seseorang sadar menambah/mengurangi ayat, tau kalau salah/ berbeda dengan Al Qur'anm maka dia kafir

Seseorang karena tidak tau/ bodoh salah membaca ayat, diingatkan namun ia bersikukuh bahwa ia benar krn blm jelas kebenaran, maka dia tidak kafir/ tidak fasik/ tidak berdosa.

Namun jika dia sudah mengetahui kebenaran, melihat mushaf dan ternyata salah dan lalu ia tetap bersikukuh bahwa dia benar, maka dia kafir

Dan inilah hukum yang berlaku dalam seluruh (persoalan) agama.

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


Imam Ibnu Hazm Azh-Zhahiri (wafat tahun 456 H) termasuk ulama yang pertama kali membicarakan perkara ini dengan rincian dan penelitian yang cermat dalam bukunya, Al-Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal. Setelah menguraikan panjang lebar perkara ini dan menyebutkan sejumlah dalil, beliau mengatakan:

“Abu Muhammad (Ibnu Hazm sendiri, pent) berkata: Bukti nyata yang dharuri (pasti) yang tidak ada perbedaan pendapat tentangnya adalah sesungguhnya seluruh umat Islam telah berijma’ tanpa ada seorang pun di antara mereka yang menyelisihinya, bahwasanya setiap orang yang mengganti satu ayat dari Al-Qur’an secara sengaja sementara ia mengetahui bahwa bunyi ayat tersebut di dalam mushaf berbeda dengan bunyi ayat yang ia bawakan, dan ia menghilangkan satu kata (dari ayat tersebut) secara sengaja atau ia menambahi satu kata (dari ayat tersebut) secara sengaja, maka orang tersebut telah kafir berdasar ijma’ seluruh umat Islam.

Lalu, seseorang keliru dalam membaca sebuah ayat, ia menambah sebuah kata atau mengurangi sebuah kata dalam ayat tersebut atau mengganti kata dalam ayat tersebut, karena ia tidak tahu (bodoh) dan mengira bahwa ia sudah benar (dalam membaca ayat tersebut). Ia merasa besar (tidak percaya saat diingatkan akan kekeliruannya, pent) dan mendebat (mempertahankan bacaannya) sebelum jelas baginya kebenaran. Meski demikian, ia tidak kafir menurut seorang pun dari kalangan umat Islam; tidak pula fasik dan tidak pula berdosa.

Kemudian jika ia kembali melihat mushaf atau ia diberitahu oleh seorang qari’ (penghafal Al-Qur’an) yang beritanya menjadikan hujah tegak, namun ia tetap bersikeras mempertahankan kekeliruannya, maka ia menjadi orang kafir tak diragukan lagi menurut seluruh umat Islam. Dan inilah hukum yang berlaku dalam seluruh (persoalan) agama.”[1]

Inilah ijma’ tentang berlakunya udzur bil jahl menurut seluruh umat Islam bahwasannya kekeliruan yang tidak disengaja maka dimaafkan.


Catatan penting

Abu Maryam Al-Mukhlif dan para pengikutnya akan menjawab (pernyataan ijma’ yang disebutkan oleh Imam Ibnu Hazm Azh-Zhahiri ini) dengan mengatakan bahwa hal itu bukan dalam perkara syirik. Abu Maryam Al-Mukhlif dan para pengikutnya lantas akan menyebutkan landasan rusak mereka yang telah kami isyaratkan di atas, yaitu mereka membeda-bedakan antara kekafiran dan kesyirikan, dan bahwa kesyirikan tidak berlaku udzur kebodohan sama sekali, berbeda halnya dengan kekufuran.

Jawaban Abu Maryam Al-Mukhlif dan para pengikutnya ini adalah jawaban yang rusak. Sebab Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh-Zhahiri tidak membeda-bedakan antara kekafiran dan kesyirikan. Menurut beliau, semua perkara tersebut sama. Seandainya beliau berpendapat dua hal tersebut berbeda tentulah beliau akan menyebutkan perbedaannya. Justu bagian akhir perkataan beliau secara tegas menunjukkan hal itu berlaku umum (dalam semua perkara agama) dan tidak ada perbedaan. Sebab beliau mengatakan: “Dan inilah hukum yang berlaku dalam seluruh (persoalan) agama.”

Maka jelaslah bahwa ungkapan Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh-Zhahiri tersebut mematahkan punggung (hujah) Abu Maryam Al-Mukhlif dan para pengikutnya. Sebab ungkapan tersebut seperti ungkapan yang tegas mengenai riwayat ijma’, sementara penjelasan Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh-Zhahiri termasuk perkataan ulama yang paling lama yang bisa ditemukan dalam membahas masalah ini secara cermat, terinci dan teliti.

Dibandingkan dengan para penulis lainnya, misalnya dengan Ibnu Taimiyah yang meninggal tahun 728H, Ibnu Hazm 250an tahun lebih dahulu dibandingkan Ibnu Taimiyah yang membahas masalah ini. Maka ini termasuk riwayat paling kuno, original tentang udzur bil jahl dalam masalah kufur dan syirik akbar. Karena para ulama yang menulis setelah itu jauh hidupnya setelah Ibnu Hazm. Termasuk Ibnu Taimiyah 2,5 abad setelah meninggalnya Ibnu Hazm adz Dzahiri.

Juga karena Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh-Zhahiri tidak membeda-bedakan antara kekafiran dan kesyirikan, tidak seperti klaim Abu Maryam Al-Mukhlif. Justru ungkapan Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh-Zhahiri secara tegas tidak membeda-bedakan keduanya.

Bahkan Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh-Zhahiri telah menulis sebuah pembahasan khusus dalam bukunya, Al-Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal untuk menetapkan bahwa kekufuran dan kesyirikan itu satu perkara yang sama dalam agama, maksudnya dalam makna syar’i. Beliau membantah orang yang membeda-bedakan antara keduanya, maka pembahasan Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh-Zhahiri tersebut membantah Abu Maryam Al-Mukhlif yang mengklaim ijma’ dalam membeda-bedakan antara keduanya![2]

Ini dulu pernah kita bahas ketika membahas tentang Al Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, dimana Ibnu Hazm dalam juz 3 halaman 264 dan seterusnya beliau mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat dalam masalah kekufuran dan kesyirikan. Ada segolongan ulama yang berpendapat kufur dan syirik itu dua hal yang berbeda, masing-masing memiliki makna sendiri. Mereka mengatakan bahwa setiap syirik itu kekafiran, tapi tidak setiap kekafiran itu adalah kesyirikan. Dan mereka mengatakan bahwa tidak ada kesyirikan kecuali pada pendapat orang yang menyatakan bahwa Allah memiliki sekutu. Mereka menyatakan bahwa Yahudi dan Nashrani itu adalah orang kafir tapi bukan orang musyrik. Adapun agama-agama lainnya (Hindu, Buda, Majusi, dll) mereka itu kafir juga musyrik. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan selainnya.”

Ibnu Hazm melanjutkan, “Dan ulama lainnya berpendapat bahwa syirik dan kufur itu sama saja. Setiap orang kafir adalah orang musyrik dan setiap orang musyrik adalah orang kafir. Ini adalah pendaapt Imam Syafi’i dan lainnya.”

Kemudian Ibnu Hazam menyebutkan dalilnya Imam Abu Hanifah adalah ayat pertama dalam QS. Al Bayyinah. Di situ menurut Imam Abu Hanifah dibedakan antara kafir dan musyrik, berarti ahlul kitab itu kafir dan bukan musyrik. Kalau musyrik adalah selain mereka. Berarti kufur dan syirik itu dua hal yang berbeda. lalu pendapat beliau ini dibantah oleh Ibnu Hazm dengan menyebutkan banyak ayat, termasuk firman Allah dalam akhir QS. Al Maidah ”Wahai ‘Isa bin Maryam, apakah dahulu engkau mengatakan kepada umatmu “Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua illah selain Allah”.” Dari situ Ibnu Hazm menguatkan yang benar adalah bahwa syirik dan kufur itu satu hal yang sama. Dengan ini, maka ketika Ibnu Hazm menyatakan tentang mengganti ayat, menambah-mengurangi kata itu berarti kufur, dan jika pelakunya tidak tahu maka bukan golongan syirik, pernyataan itu sama ketika beliau  bicara tentang perkara agama lainnya yang orang menyebutnya syirik, juga berlaku udzur jahl.
Itulah pernyataan Ibnu Hazm. Jika kita baca dalam banyak ayat Al Qur’an yang mana menyebutkan bahwa syirik itu maknanya juga kufur. Selama ini Abu Maryam al Mukhlif mencontoh ulama generasi belakangan bahwa syirik itu beda dengan kufur, kalau syirik itu pelakunya belum datang hujjah disebut musyrik dan jka sudah datang hujjah maka disebut kafir-murtad. Jika orang Islam melakukan syirik dengan faktor ketidak tahuan maka namanya langsung musyrik, jadi kafir yang mana tidak ada bedanya dengan orang yang belum pernah masuk Islam. Itu yang mereka selalu sebutkan, dan mereka menyebutkan banyak ayat yang menyebutkan orang kafir asli yang belum pernah secara sah masuk Islam. Jika kufur dan syirik dibedakan seperti itu kemudian jika ada lafal ‘musyrik’ dalam Al Qur’an berarti maknanya musyrik disitu adalah orang melakukan syirik karena faktor ketidaktahuan, belum sampainya dakwah kepada dia, maka pemahaman seperti itu akan rusak. Umpamanya kita ambil ayat dalam surat Al Baqarah “ Janganlah kalian orang beriman laki-laki menikahi wanita-wanita musyrikah sampai mereka beriman”, bila difahami musyrikah itu pelaku syirik yang belum sampai kepadanya dakwah berarti mafhum dalam ayat itu adalah boleh menikahi orang musyrik yang sudah sampai kepadanya dakwah, maka akan rusak pemahamannya jika seperti itu.

Dan contoh lain misalkan dalam QS. At Taubah dari ayat pertama sudah sering disebut di situ ‘orang-orang musyrik’. Jika yang disebut ‘orang musyrik’ itu orang yang syirik dan belum sampai kepadanya dakwah, maka jika seperti itu akan sangat banyak bertabrakan dengan ayat Al Qur’an. Misal dalam ayat pertama, “(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan RasulNya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka).” Padahal surat dalam QS. At Taubah ini turunnya pada tahun 9H, itupun bulan Dzulhijjah. Kita tahu pada waktu itu musim haji sebelum haji Wada’. Di situ Allah menyatakan bahwa dengan turunnya ayat itu maka berhenti perjanjian damai dengan orang-orang musyrik. Padahal orang musyrik itu berdamai dengan Rasulullah pasca penaklukan Mekah tahun 8H, artinya orang musyrik itu sudah sampai dakwah kepadanya, sudah  9tahunan berperang dengan Rasulullah, namun tetap disebut musyrik. Ini menunjukkan bahwa musyrik dan kafir itu tidak ada bedanya, dan jika kita baca ayat-ayat berikutnya maka akan banyak sekali bahwa ‘musyrik’ itu maknanya orang kafir Quraisy saat itu, sesuai dengan asbabun Nuzul ayat itu, orang-orang yang telah sampai padanya dakwah. Dan tidak mungkin ada perjanjian antara orang muslim dengan kafir jika dakwahnya belum sampai, belum pernah ketemu. Mau perjanjian masalah apa?

“Dan pengumuman dari Allah dan RasulNya kepada manusia pada hari haji Akbar (ada yang menyatakan haji akbar itu adalah Haji Wadda’, dan ada yang menyebutkan -pendapat yang kuat- itu adalah haji berkumpulnya umat jama’ah haji di Mina pada tanggal 10 Dzulhijjah karena di situ ada banyak sya’air seperti menyembelih kurban, lempar jumrah, bercukur rambut, bahkan setelah itu ada thawaf iffadhah yang itu juga termasuk rukun haji) bahwasannya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik.” Orang musyrik di sini adalah orang musyrik  yang telah sampai kepada mereka hujjah.

Pada ayat sebelumnya (ayat 2) disebutkan “Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi selama empat bulan dan ketahuilah bahwa Sesungguhnya kamu tidak akan dapat melemahkan Allah, dan Sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir.” Orang-orang kafir di ayat ini adalah orang musyrik yang diberi tangguh 4 bulan itu. Jika nanti 4 bulan habisa dan tidak mau masuk Islam berarti nanti akan ada perang lagi. Maka musyrik dan kafir itu maknanya sama.

Ayat ke-4, “Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” Ini musyriknya juga musyrik yang sudah sampai kepadanya hujjah. Dan ayat kelimanya juga.

Ayat ke-5, “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan..Orang-orang musyrik disini juga musyrik yang sudah sampai kepadanya dakwah, yang istilah dari mereka (yang membedakan) adalah kafir-murtad tadi.

Artinya bahwa banyak sekali ayat Al Qur’an yang menyebutkan kafir dan syirik itu sama saja. Ketika para ulama menyatakan bahwa adanya ijma’ tentang adanya udzur bil jahl pada perbuatan kufur akbar, maka pada saat yang sama itu maknanya juga ada ijma’ tentang adanya udzur bil jahl pada perbuatan syirik akbar dalam hal-hal yang memungkinkan untuk terjadinya ketidaktahuan, jahl yang mu’tabar.

Jika kita baca Al Qur’an maka akan banyak sekali kita temukan bahwa tidak mesti yang disebut musyrik itu orang yang belum sampai kepadanya dakwah. Begitu juga tidak mesti jika disebutkan ‘kafir’ itu maknanya orang yang sudah sampai kepadanya dakwah. Ada ayat-ayat yang orang belum sampai kepadanya dakwah juga disebut kafir. Artinya mau istilah kafir atau istilah musyrik sebenarnya tidak masalah, dua-duanya sama saja. Adapun tentang bagaimana syari’at Islam menyikapinya, misal orang musyrik yang belum boleh diperangi sampai dia didakwahi terlebih dahulu. Maka yang seperti itu tentu ada dalil lainnya yang menyebutkannya, yang mana tidak ada kaitannya dengan pembahasan ada atau tidaknya udzur.

Dengan meneliti ayat-ayat Al Qur’an beserta tafsir-tafsirnya maka kita akan bisa mengetahui bahwasannya membeda-bedakan antara syirik dan kufur yang nanti dibuat kesimpulan jika syirik akbar tidak ada udzur sama sekali dan kalau kufur akbar ada udzur bil jahl. Maka yang seperti itu juga bertolak belakang dengan dalil-dalil Al Qur’an dan hadits-hadits shahih. Karena nanti dalam pembahasan fiqih ada bentuk-bentuk kekufuran misalnya yang tidak akan ada udzur. Misalnya tidak mengakui adanya Sang Pencipta, yang seperti itu tidak ada udzur sekalipun orang menyebutnya kufur ta’til, seeprti orang komunis, atheis, materialis.

Inilah pentingnya bagi kita untuk berhati-hati, jangan kita hanya mengambil pendapat-pendapat para ulama abad-abad belakangan sementara ulama-ulama terdahulu yang sudah membahasnya justru kita tinggalkan. Sehingga kita malah menyelisihi dengan apa yang sudah dirumuskan oleh para ulama terdahulu berdasarkan dalil-dalil yang shahih.

Allahua’lam...






[1]. Ibnu Hazm Al-Andalusi Azh-Zhahiri, Al-Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 3/296. Pent.
[2]. Selengkapnya silahkan membaca Al-Fishal fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 3/264 dst. Pent. 

Teks Arab :

فقد حكى الإمامُ ابن حزم الظاهريُّ (المتوفى سنة 456هـ) وهو من أوائل من تكلم في هذه المسألة بتفصيل وتحرير في كتابه الفِصَل بعد أن بسط الكلام في المسألة وساق جملة من الأدلة: "قال أبو محمد: وبرهان ضروري لا خلاف فيه وهو أن الأمة مجمعة كلها بلا خلاف من أحد منهم، وهو أن كل من بدّل آية من القرآن عامداً وهو يدري أنها في المصاحف بخلاف ذلك، وأسقط كلمة عمداً كذلك، أو زاد فيها كلمة عامداً، فإنه كافر بإجماع الأمة كلها، ثم أن المرء يخطئ في التلاوة فيزيد كلمة وينقص أخرى ويبدل كلامه جاهلاً مقدراً أنه مصيب، ويكابر في ذلك ويناظر قبل أن يتبين له الحق، ولا يكون بذلك عند أحد من الأمة كافراً ولا فاسقاً ولا آثماً، فإذا وقف على المصاحف أو أخبره بذلك من القراء من تقوم الحجة بخبره فإن تمادى على خطئه فهو عند الأمة كلها كافر بذلك لا محالة، وهذا هو الحكم الجاري في جميع الديانة"اهــ
وللفائدة: فإن المخلف وأفراخه سيجيبون بأن هذا في غير الشرك، ويذكرون ما أشرنا إليه من أصلهم الفاسد في التفريق بين الكفر والشرك، وأن الشرك لا يُعذَر فيه بالجهل بخلاف الكفر، وهذا جواب فاسدٌ، لأن أبا محمد ابن حزم رحمه الله لم يفرق بين الكفر والشرك، وعنده أن الجميع بابٌ واحد هنا، ولو كان يفرق لذكر الفرق، بل آخر عبارته صريحٌ في العموم وعدم الفرق فإنه قال: "وهذا هو الحكم الجاري في جميع الديانة".


فتبيّن أن عبارة ابن حزم هذه قاصمة لظهر المخالفة (المخلف وأتباعه) فإنها كالصريحة في حكاية الإجماع، وهو من أقدم ما يمكن أن يُوجَد من كلام العلماء في المسألة بشكل دقيق مفصل محرر، ولأنه لم يفرق بين الكفر والشرك كما يدعي المخلف، بل صريحُ كلامه عدم التفريق، بل إنه عقد فصلاً في نفس كتابه الفصل لإثبات أن الكفر والشرك شيءٌ واحدٌ في الدين أي في المعنى الشرعيّ، وردّ على المفرّق بينهما، ففيها ردّ لدعوى المخلف الإجماع على التفريق.!

About

Here you can share some biographical information next to your profile photo. Let your readers know your interests and accomplishments.