__________________________
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah :
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah :
Tidak mengkafirkan orang yang telah benar keagamaannya, terkenal keshalihannya, dikenal luas sikap wara’ dan zuhudnya, baik perjalanan hidupnya, dan tulus mengurus keperluan kaum muslimin dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat dan mengarang karya-karya yang bermanfaat, sekalipun ia melakukan kekeliruan dalam masalah ini atau masalah lainnya. Seperti Ibnu Hajar Al-Haitami, kita telah mengenal pendapatnya (yang sesat tentang berdoa kepada orang shalih yang telah mati, pent) dalam kitabnya, Ad-Dur Al-Muntazham. Namun kita tidak mengingkari keluasan ilmunya. Oleh karenanya kita mendalami buku-bukunya seperti Syarh Al-Arba’in, kitab Az-Zawajir, dan lain-lain. Kita juga bersandar (memegangi dan memercayai, pent) kutipan-kutipannya, karena ia termasuk golongan ulama kaum muslimin.”
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Padahal ini di
dalam Ad Durrar As Saniyah baru juz I, sementara Syaikh ‘Ali bin Hudair kutipan
beliau sampai juz 12, 16, dst. Termasuk ulama lainnya seperti Syaikh Midhaj bin
Hasan Alu Farrad dalam buku-buku beliau, baik ‘Al Fatawa An Najdiyah’ (5
jilid), atau ‘Al Udzru bil Jahli Tahtal mijhar Asy Syar’i, dll. Dan termasuk
juga para ulama setelahnya yang mengarang buku-buku yang menegaskan tidak
adanya udzur jahl, khata’ dalam syirik akbar yang menisbatkan pendapat-pendapat
pada kutipan dari ulama-ulama dakwah Nejd, kutipan yang seperti di atas itu
tidak ada. Apakah itu kejujuran dalam menulis ataukah tidak alakulihal ini data
baru yang mungkin membuat kita juga harus hati-hati bahwa tidak semua dakwah
ulama Nejd tidak seperti yang diklaimkan oleh para generasi belakangannya.
Apalagi kita tahu ini Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab
berbicara, menulis seperti di atas ketika pada masa puncak jayanya bagaimana
dakwah Nejd ketika itu menahlukkan Mekah, Madinah, dan seluruh Arab Saudi,
bahkan menguasai Yaman dan sebagian Irak. Ini adalah kerajaan Arab Saudi pada generasi pertama, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul
Wahhab, kemudian putranya. Baru pada generasi cucu beliau, Syaikh Sulaiman
inilah serangan dari Mesir datang, Ibrahim Basya-putra dari Muhammad Basya,
gubernur Turki ‘Utsmani yang memang didikan Perancis yang mana dia memberontak
pada Turki ‘Utsmani. Menyerang ke Mekah, Madinah, sampai Nejd, semua daerah
kekuasaannya dakwah Nejd jatuh sampai Diriya, di situ tertangkap termasuk
Syaikh ‘Abdullah. Ini pada tahun 1233H/1818M, dimana yang tertangkap duluan
adalah Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, digiring ke Mesir untuk
ditawan dan meninggal di Mesir sekitar 9 tahun setelah itu. Adapun cucu beliau,
Syaikh Sulaiman sembunyi pada peristiwa itu, yang mana ada mata-mata yang lapor
dan akhirnya beliau tertangkap dan dieksekusi mati di Diriya, semoga Allah
merahmati beliau.
Melanjutkan
tentang contoh penerapan kaidah “Barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir
atau ragu-ragu atas kekafiran orang kafir, maka ia telah kafir”
Di sini di
contohkan Ibnu Hajar al Haitami, seorang faqih, ulama besar madzhab Syafi’i
yang berpendapat bahwa sunnah beristighatsah dengan makhluk, minta pertolongan
kepada Allah dengan perantara wali/ sunan yang telah mati. Apakah serta merta
para ulama mengkafirkan atau menganggap beliau telah musyrik? Ternyata di dalam
risalah ini diterangkan bahwa tidak seperti itu.
Di antara para ulama yang tidak mengkafirkannya adalah para
ulama dakwah Nejed, seperti disebutkan dalam kitab Ad-Durrar As-Sanniyah fil
Ajwibah An-Najdiyah (kitab paling lengkap yang menghimpun fatwa-fatwa,
risalah para ulama dakwah Nejd sejak zaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
sampai zaman Syaikh Muhammad bin Ibrahim_mufti Saudi pertama untuk kerajaan
Saudi modern yang dibangun oleh Abdul ‘Aziz bin Sa’ud tahun 1932M pasca perang
dunia I setelah runtuhnya Turki Utsmani) Juz 1, tentang aqidah.
Di situ terdapat risalah Syaikh Abdullah bin Muhammad bin
Abdul Wahhab rahimahullah, nampaknya anak tertua dari Syaikh Muhammad bin
‘Abdul Wahhab. Dimana Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab sendiri hidup dari
tahun 1115H-1206H/ 1703-1792M. Dikaruniai usia 89 tahun, cukup panjang. Seorang
ulama abad 18M, 12H. Semasa hidupnya, beliau menjalin persekutuan, bai’at
dengan gubernur Muhammad bin Saud. Bai’at itu isinya bahwa Muhammad bin Sa’ud
sebagai gubernur dan akan membantu dakwahnya Sayikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab.
Dan timbal baliknya nanti yang jadu penguasa adalah Muhammad bin Sa’ud dan anak
cucunya. Dan sampai sekarang masih dipertahankan sistemnya seperti itu,
keturunannya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab adalah mufti-mufti, qadhi bagi
kerajaan Arab Saudi, termasuk yang sekarang (2013) Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz
bin Muhammad bin Ibrahim bin ‘Abdul Latif. Yang mana beliau baru saja beberapa
bulan ini memfatwakan bahwa orang yang mengajak jihad ke Suriahh itu adalah
penghianat Islam.
Ketika Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab meninggal tahun
1206H, kerajaan Muhammad bin Sa’ud belum meluas seperti pada zaman anaknya,
Syaikh ‘Abdullah. Dan ketika Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab meninggal, maka
beliau sebagai mahkamah agung/ qadhi qudhatnya Muhammad bin Sa’ud digantikan
oleh anaknya, Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, yang hidup pada
tahun 1165-1242H/ 1752-1826M, seperempat pertama dari abad 19M (jika di
Indonesia, zaman-zaman perang Diponegoro). Di Riyad dan sekitarnya yang
berkuasa adalah penggantinya, ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Sa’ud. Dan ketika
meninggal, dia digantikan olehh anaknya, Sa’ud bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad
bin Sau’d. Untuk qadhi qudhatnya tetap Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad. Jadi
beliau uurnya juga panjang, 74 tahun. Beliau mengalami periode 3 raja pertama
kerajaan Saudi.
Pada masa Sa’ud bin ‘Abdul ‘Aziz inilah pasukan dakwah Nejd
menyerang Mekah dan Madinah dan menang. Lalu penguasa, masyarakat, dan ulamanya
Mekah menyerah dan meminta jaminan keamanan. Maka Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad
ketika memasuki Mekah, beliau mengumpulkan para pemimpin, ulama, dan rakyat
Mekah. Di situ dari mereka menanyakan alasan mengapa diperangi, apakah telah
dikafirkan, dan pertanyaan-ertanyaan lainnya. Pada kesempatan itulah Syaikh ‘Abdullah
bin Muhammad selaku qadhi qudhatnya kerajaann Saudi yang pertama, beliau
menulis risalah jawaban yang dimuat dalam Ad-Durrar As-Sanniyah fil Ajwibah
An-Najdiyah. Pada edisi cetaknya
pada Juz 1 halama 222 sampai nanti bersambung pada kutipan halaman 236.
Yang bagian awalnya berbunyi:
“Segala puji bagi
Allah Rabb seluruh alam. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada nabi
kita Muhammad yang terpercaya, juga kepada keluarganya, sahabatnya dan para
pengikutnya. Amma ba’du.
Sesungguhnya kami
semua, para pejuang muwahhidin, ketika Allah melimpahkan karunia kepada kami
---segala puji bagi Allah semata--- sehingga kami bisa memasuki kota Makkah
pada pertengahan siang, hari Sabtu, 8 Muharram 1218 H, setelah para Syarif (istilah
pemimpin Mekah dari keturunan Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib. Jika dari
keturunan Husain, sebutannya Sayyid) Makkah, ulama Makkah dan seluruh penduduk
Makkah meminta jaminan keamanan dari amir pasukan penyerang Sa’ud…”
Sampai pada
perkataan beliau:
“Jika seseorang,
yang ingin membuat manusia lari dari menerima dan patuh kepada kebenaran,
mengatakan: “kesimpulan dan penegasan kalian bahwa orang yang mengatakan ‘Ya
Rasulullah, aku meminta syafa’atmu’ adalah orang musyrik yang halal darahnya,
berkonskuensi kalian mengkafirkan seluruh umat Islam, terlebih lagi umat Islam
generasi belakangan, karena para ulama mereka yang terpercaya menegaskan
bahwa tindakan (doa) tersebut adalah perkara yang dianjurkan, dan mereka
melancarkan “serangan” (lewat tulisan dan ceramah, pent) atas orang yang
menyelisihi hal tersebut!
Maka saya jawab,
“Tidak mesti begitu. Karena laazim al-madzhab (konskuensi sebuah
pendapat) bukanlah madzhab (pendapat itu sendiri), seperti sudah
ditetapkan (dalam kitab-kitab ushul fiqih, pent).”
Dalam kitabnya
Syaikh Abu Muhammad al Maqdisi “Risalatul Jah’fr fii annal Ghuluw fii Takfir
Yuadzii ila Kufr” ada pembahasaan salah satu kekeliruan dalam masalah takfir.
Salah satunya adalah mengkafirkan karena konsekuensi dari sebuah pendapat.
Contohnya dari kesalahan itu adalah seperti kasus ini tadi, menyatakan bahwa
istighatsah bil anwat itu adalah syirik akbar dan orang menyatakan berarti
konsekuensinya dari pendapat tersebut adalah mengkafirkan semua orang yang
beristighatsah bil anwat itu. Maka mengkafirkan seperti itu adalah sebuah
kekeliruan, karena madzhab dengan lazimul madzhab itu dua hal yang berbeda,
tidak mesti ketika seseorang meyakini sebuah madzhab dia meyakini lazimul
madzhab itu. Sama seperti yang sering diulas dalam tulisan misalakan Syaikh ‘Ali
bin Hudzair, atau Syaikh Sulaiman bin Sahman. Seperti dalam Syarh Kasyfu
Subhatnya Syaikh ‘Ali bin Hudzair, di situ disebutkan bahwa orang yang
mengudzur jahl dengan syirik itu konsekuensinya berarti mengudzur Yahudi,
Nashrani, komunis,dll. Itu takfir yang keliru karena itu adalah lazimul
madzhab, tidak boleh seperti itu. Kata Ibnu Hazm jika lazimul madzhab jika
dipegangi oleh lawan bicaranya, maka itu berdusta/ mengada-ada atas lawan
bicara.
Sama dalam kasus di
sini, tidak berarti ulama dakwah Nejd itu menyatakan bahwa perbuatannya syirik
lalu orang yang melakukan langsung dianggap syirik atau kafir. Tidak seperti
itu.
“Contohnya: Kita
tidak mesti menjadi mujassimah (golongan yang menyatakan Allah memiliki
bagian-bagian tubuh sama persis dengan bagian-bagian tubuh makhluk-Nya, pent),
sekalipun kita menyebutkan Allah mempunyai sifat “berada di atas”, karena
hadits pun menyebutkan hal demikian itu.”
Dzat Allah berada di atas, di atas ‘Arsy. Ada
7 ayat Al Qur’an yang menyebutkan seperti itu. Lalu ada hadits-hadits yang
menyebutkan bahwa Allah pada sepertiga malam yang terakhir turun ke langit
dunia. Itu berarti dari atas turun, berarti Allah mempunyai sifat Al ‘Ulu, tapi
bukan berarti ketika kita berpendapat bahwa Allah punya sifat Al ‘Ulu itu Allah
mempunyai jasat seperti makhluk. Dan lalu kita dianggap mujassimah, dianggap menyamakan
dengan makhluk, tidak seperti itu. Karena itu lazimul madzhab, tidak boleh
dalam berdiskusi memakai cara seperti itu.
Tentang orang-orang
yang telah meninggal (di waktu yang telah lampau), kami katakan:
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ
“Itu adalah umat
yang telah berlalu…” (QS. Al-Baqarah (2): 134)
“Kami tidak mengkafirkan
kecuali orang yang telah sampai kepada dirinya dakwah kami kepada kebenaran,
jalan lurus telah terang baginya, dan hujah telah tegak atas dirinya, lalu ia
terus-menerus (melakukan kesyirikan, pent) dengan kesombongan dan penentangan.
Seperti mayoritas orang yang kami perangi hari ini.”
Jadi yang diperangi,
dikafirkan oleh dakwah Nejd itu adalah orang yang hari itu sudah berkali-kali
di dakwahi, sudah tegak hujjah, dan mereka itu mustakbir mu’anith. Ini yang
bercerita bukan kita, tapi qadhi qudhatnya anaknya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul
Wahhab sendiri.
“Mereka nekad
melakukan kesyirikan, menolak melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, dan
melakukan dosa-dosa besar yang mungkar secara terang-terangan.” Itu mayoritas
orang yang diperangi oleh dakwah Nejd pada masa itu
“Adapun kelompok
yang bukan mayoritas hanya kami perangi karena ia menolong orang yang seperti
ini keadaannya (nekad berbuat syirik setelah tegak atasnya hujah, pent) dan ia
ridha dengannya, dan karena ia memperbanyak jumlahnya dan menguatkan
kelompoknya. Dalam kondisi ini, status hukumnya sama dengan orang yang ia dukung
dalam hal boleh diperangi.
Adapun orang-orang
yang telah meninggal di masa yang lalu, kami memberi mereka udzur karena mereka
keliru (sekalipun kelirunya syirik akbar, seperti Ibnu Hajar al Haitami,
Taqiyuddin as Subqi_2 ulama besar madzhab Syafi’i yang sama-sama ngotot dalam
hal sunnahnya istighatsah bil anwat) dan memiliki udzur, karena mereka tidak
ma’shum (terjaga) dari kekeliruan. Dan tentu saja, tidak mungkin tercapai ijma’
bahwa mereka ma’shum.
Adapun orang (di
pihak kami, pent) yang melakukan serangan di waktu mereka lengah (sebelum
mendapat dakwah, pent) maka ia telah melakukan kekeliruan.”
Maksunya, orang-orang
yang telah lewat yang berpendapat istighatsah bil anwat adalah masyru’/ sunnah,
kemudian dia mencaci-maki para ulama yang tidak sependapat dengannya maka
sungguh dia telah keliru.
“Dan pasti ia
pernah melakukan kekeliruan, karena orang yang lebih baik dari dia sekalipun
juga pernah melakukan kekeliruan. Seperti Umar bin Khaththab, yang ketika
diperingatkan oleh seorang wanita, maka ia menarik kembali keputusannya dalam
masalah mahar, dan lain sebagainya. Hal itu cukup terkenal dalam sejarah
hidupnya.”
Ini kisah tentang
kelirunya ijtihad ‘Umar bin Khatab. Ketika beliau menjadi khalifah, para orang
tua menaikkan mahar. Maka ‘Umar membuat keputusan bahwa tidak boleh menetapkan
mahar melebihi mahar yang diberikan oleh Rasulullah kepada para istri beliau,
yaitu 400 dirham=40 dinar. Bagi orang-orang saat itu, 40 dinar itu tidak
terlalu mahal. Tapi ketika ‘Umar baru selesai membuat keputusan seperti itu,
ada seorang wanita yang menjadi perantara atas turunnya surat Al Mujadalah.
Kata wanita itu “Bagaimana engkau wahai amirul mu’minin akan menetapkan
peraturan seperti itu sementara Allah menghalalkan puluhan ribu dinar (“dan
jika kalian ingin menceraikan seorang istri dan ingin mencari istri yang
lainnya, maka janganlah kamu menarik kembali maharnya sekalipun kamu telah
memberikan kepadanya qinthar/ 12.000 dinar”).
‘Umar keliru,
padahal maksud beliau adalah untuk mempermudah pernikahan. Tapi karena niat itu
melanggar ayat maka mau-tidak mau ditegur oleh wanita tadi dan ‘Umar akhirnya mencabutnya
kembali. Kalau orang sekelas ‘Umar bin Khatab, yang mendapat jaminan dari
Rasulullah dalam hadits “seandainya ditengah umatku ada orang yang mendapat
ilham dari Allah, maka dialah ‘Umar” itu saja beliau bisa keliru, apalagi ulama
belakangan seperti Ibnu Hajar al Haitami, dan lainnya.
“Bahkan para sahabat
yang jumlahnya sangat banyak pernah berbuat keliru, padahal nabi kita Muhammad
SAW berada di tengah mereka dan cahaya petunjuk beliau menerangi mereka. Mereka
mengatakan: “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwat (pohon tempat
menggantungkan senjata dan diyakini membawa berkah dalam perang) sebagaimana
mereka memiliki Dzatu Anwat!” Ini kisah dalam perang Hunain, 12.000 sahabat
berangkat perang dan sekitar 200 orang dari mereka adalah baru masuk Islam
setelah fathul Mekah. Ribuan sahabat bisa keliru seperti itu, padahal
Rasulullah hidup di tengah mereka. Apalagi ulama-ulama yang hidup 9 abad
setelah Rasulullah.
“Jika engkau
membantah: “Hal itu dilakukan oleh orang yang tidak sadar (belum paham), lalu
ketika diingatkan maka ia pun berhenti (tidak melakukannya). Lantas bagaimana
halnya dengan orang yang meneliti dalil-dalil dan mengkaji pendapat para ulama
yang dijadikan panutan, lalu ia terus-menerus melakukannya sampai ia meninggal
(apakah ia masih juga diberi udzur, pent)?
Saya katakan: Tidak
ada halangan untuk memberi udzur kepada orang yang baru saja disebutkan
keadaannya, dan kita tidak mengatakan ia telah kafir,
karena berdasar uraian di depan ia telah melakukan kekeliruan sekalipun ia
terus-menerus di atas kekeliruannya tersebut, karena pada masa hidupnya tidak
ada ulama yang berjuang keras menjelaskan masalah ini dengan lisan, pedang, dan
senjatanya. Maka hujah belum tegak atas dirinya, dan jalan yang lurus belum
terang atas dirinya.”
Masya Allah, beliau
sebutkan seperti itu. Syaikh ‘Abdullah menyatakan bahwa sekalipun dia mengkaji
dalil-dalil syar’i, mengkaji pendapat-pendapat para ulama terdahulu tapi
dianggap hujjah belum tegak kepadanya, karena tidak ada yang membantah,
mendiskusikan panjang lebar yang mana tidak hanya dengan lisan saja, tapi
dengan kekuatan senjata yang membuat dia bisa tunduk.
“Bahkan kondisi
mayoritas orang pada zaman hidup para pengarang (yang menyatakan berdoa kepada
orang shalih yang telah mati adalah ibadah yang disyariatkan, pent) tersebut
adalah sepakat untuk menjauhi perkataan para ulama sunnah secara total.
Barangsiapa di antara mereka menelaah perkataan para ulama sunnah, maka ia
berpaling darinya sebelum sempat meresap dengan mantap ke dalam hatinya. Para
ulama besar mereka senantiasa melarang orang-orang kecil (para pelajar dan kaum
awam) mereka dari melihat karya-karya para ulama sunnah. Sedangkan ‘sepak
terjang raja’ sangatlah menguasai hati rakyatnya, kecuali orang yang dirahmati
oleh Allah di antara mereka.”
Maksudnya seperti
rakyat yang jika mendapatkan perintah dari raja maka dia sami’na wa atha’na.
Begitu juga para ulama seperti Ibnu Hajar al Haitami, Taqiyuddin as Subqi, dan
lainnya itu melarang orang-orang kaum muslimin untuk membaca buku-bukunya Ibnu
Taimiyyah. Akhirnya orang dari situ menjadi tidak belajar, yang diterima hanya
yang sejalur saja.
“Mu’awiyah bin Abi
Sufyan RA dan para pendukungnya berpendapat untuk menyelisihi Amirul Mukminin
Ali bin Abi Thalib RA, bahkkan memeranginya. Berdasar ijma’, mereka telah
melakukan kekeliruan dan mereka terus-menerus bertahan di atas kekeliruan
mereka sampai mereka meninggal. Namun berdasar ijma’ pula, tidak ada seorang
pun dari generasi salaf yang memvonis mereka kafir, bahkan tidak pula memvonis
mereka fasiq. Justru generasi salaf menetapkan untuk mereka pahala ijtihad,
sekalipun ijtihad mereka keliru, sebagaimana yang telah terkenal dalam madzhab
ahlus sunnah.”
“Demikian juga kami
tidak mengkafirkan orang yang telah benar keagamaannya (dia bersyahadat,
shalat, zakat, umrah, mempunyai rasa takut dan harap kepada Allah, mempunyai
rasa cinta kepada Allah dan Rasulullah) terkenal keshalihannya, dikenal luas
sikap wara’ dan zuhudnya, baik perjalanan hidupnya, dan tulus mengurus
keperluan kaum muslimin dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat dan
mengarang karya-karya yang bermanfaat, sekalipun ia melakukan kekeliruan dalam
masalah ini atau masalah lainnya. Seperti Ibnu Hajar Al-Haitami, kita telah
mengenal pendapatnya (yang sesat tentang berdoa kepada orang shalih yang telah
mati, pent) dalam kitabnya, Ad-Dur Al-Muntazham(“Mutiara yang Disusun”, buku dakwah
mereka untuk menempuh perjalanan jauh untuk menziarahi dan berdoa kepada Allah
dengan perantaraan orang shalih). Namun kita tidak mengingkari keluasan
ilmunya. Oleh karenanya kita mendalami buku-bukunya seperti Syarh Al-Arba’in,
kitab Az-Zawajir (Pencegah-pencegah dari melakukan dosa-dosa besar), dan
lain-lain. Kita juga bersandar (memegangi dan memercayai, pent) kutipan-kutipannya,
karena ia termasuk golongan ulama kaum muslimin.”[1]
Seperti itulah
pendapat, keterangan dari putranya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, qadhi
qudhatnya. Yang mana beliau belajar langsung dengan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul
Wahhab. Tidak mungkin beliau diangkat menjadi qadhi qudhat, penggantinya Syaikh
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab kalau tidak direstui oleh beliau.
Beda sekali dengan
ulama dakwah Nejd generasi ke-5 atau 6, yang dengan tegas mereka menyatakan
ijma’ bahwa siapapuun yang berbuat syirik akbar maka dia telah musyrik sekalipn
dia orang yang sekelas dengan Ibnu Hajar al Haitami. Dan kita juga heran,
mengapa dalam buku-bukunya Syaikh ‘Ali Hudair umpamanya, kutipan di atas sama
sekali tidak ada. Bisa kita baca kitab beliau ‘Ath Thabaqat’_Kitab yang
membahas tentang tingkatan-tingkatan orang yang melakukan syirik akbar. Bagaimana
dengan ngotot beliau menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah memusyrikan al Bikri dalam
kitab beliau ‘Al Istighatsah fii Raddi ‘alal Bikri’. Dan bagaimana Syaikh
Hudair menyatakan bahwa ulama dakwah Nejd sepakat siapa berbuat syirik maka
disebut musyrik. Dan ternyata disini para ulama terdahulu generasi ke-2nya dakwah
Nejd, murid sekaligus putra Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab tidak seperti
itu. Inilah yang agak aneh dalam buku tersebut. Dan seandainya punya kesempatan
mengkaji secara penuh, mungkin akan kita temukan kutipan-kutipan lainnya yang
sebenarnya mementahkan apa yang selama ini mereka yakini sebagai kebenaran yang
final.
Pada peritiwa
itulah baru runtuhnya kerajaaan Saudi generasi pertama. Nanti mereka di angkat
ke Mesir dan lahirlah beberapa keluarga generasi ke-4 dari Syaikh Muhammad bin ‘Abdul
Wahhab, diantaranya Syaikh Abdurrahman bin Hasan, pengarang kitab Fatul Majid.
Beliau lahirnya di Mesir, makanya logat mesir, belajar di Al Azhar, dapat
ilmunya dari ulama-ulama Mesir. Kemudian suatu saat mereka melarikan diri dan
menyusun kekuatan kembali hingga bisa mendirikan kerajaan Saudi lagi, kerajaan
Saudi generasi II. Yang lucunya kerajaan generasi II ini mengakui bahwa mereka
bagian dari Turki ‘Utsmani yang pada zamannya generasi sebelumnya dianggap ‘Daulah
Musyrikah’.
Allahu’alam..
[1]. Abdurrahman bin Muhammad An-Najdi, Ad-Durrar As-Sanniyah fil
Ajwibah An-Najdiyah, 1/222-236. Pent.
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Teks Arab :
ومنهم علماء الدعوة النجدية
كما في الدرر السنية في رسالة الشيخ عبد الله بن محمد بن عبد الوهاب رحمهم الله، التي
مطلعها: الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على نبينا محمد الأمين، وعلى آله وصحبه
والتابعين، وبعد: فإنا معاشر غزو الموحدين، لما منَّ الله علينا -وله الحمد- بدخول
مكة المشرفة نصف النهار يومَ السبت، في ثامن شهر محرم الحرام، سنة 1218 هـ، بعد أن
طلب أشراف مكة وعلماؤها وكافة العامة من أمير الغزو "سعود" الأمان...
[إلى أن قال]: فإن قال قائل منفرٌ عن قبول الحق والإذعان
له: يلزم من تقريركم، وقطعكم في أن من قال يا رسول الله أسألك الشفاعة: أنه مشرك مهدر
الدم؛ أن يقال بكفر غالب الأمة، ولا سيما المتأخرين، لتصريح علمائهم المعتبرين:
أن ذلك مندوبٌ، وشنوا الغارة على من خالف في ذلك! قلت: لا يلزم، لأن لازم المذهب
ليس بمذهب، كما هو مقرر، ومثل ذلك: لا يلزم أن نكون مجسمة، وإن قلنا بجهة العلو، كما
ورد الحديث بذلك. ونحن نقول فيمن مات: تلك أمة قد خلت؛ ولا نكفر إلا من بلغته دعوتنا
للحق، ووضحت له المحجة، وقامت عليه الحجة، وأصر مستكبراً معانداً، كغالب من نقاتلهم
اليوم، يصرون على ذلك الإشراك، ويمتنعون من فعل الواجبات، ويتظاهرون بأفعال الكبائر
المحرمات؛ وغير الغالب إنما نقاتله لمناصرته مَن هذه حاله، ورضاه به، ولتكثير سواد
من ذكر، والتأليب معه، فله حينئذ حكمُهُ في قتاله، ونعتذر عمن مضى: بأنهم مخطئون معذورون،
لعدم عصمتهم من الخطأ، والإجماع في ذلك ممنوع قطعاً؛ ومن شن الغارة فقد غلط؛ ولا بدع
أن يغلط، فقد غلط من هو خير منه، كمثل عمر بن الخطاب رضي الله عنه، فلما نبهته المرأة
رجع في مسألة المهر، وفي غير ذلك يعرف ذلك في سيرته، بل غلط الصحابة وهم جمع، ونبينا
صلى الله عليه وسلم بين أظهرهم، سارٍ فيهم نوره، فقالوا اجعل لنا ذات أنواط كمال هم
ذات أنواط. فإن قلت: هذا فيمن ذهل، فلما نبه انتبه، فما القول فيمن حرر الأدلة،
واطلع على كلام الأئمة القدوة، واستمر مصراً على ذلك حتى مات؟! قلت: ولا مانع أن نعتذر
لمن ذكر، ولا نقول: إنه كافر، ولا لما تقدم أنه مخطىء، وإن استمر على خطئه، لعدم
من يناضل عن هذه المسألة في وقته، بلسانه وسيفه وسنانه، فلم تقم عليه الحجة ولا وضحت
له المحجة، بل الغالب على زمن المؤلفين المذكورين التواطؤُ على هجر كلام أئمة السنة
في ذلك رأساً، ومن اطلع عليه أعرض عنه، قبل أن يتمكن في قلبه، ولم يزل أكابرهم تنهى
أصاغرهم عن مطلق النظر في ذلك، وصولةُ الملوك قاهرةٌ لمن وقر في قلبه شيء من ذلك إلا
من شاء الله منهم. هذا: وقد رأى معاوية وأصحابه -رضي الله عنهم- منابذة أمير المؤمنين
علي أبي طالب رضي الله عنه، وقتاله ومناجزته الحرب، وهم في ذلك مخطئون بالإجماع، واستمروا
في ذلك الخطأ، ولم يشتهر عن أحد من السلف تكفيرُ أحد منهم إجماعاً، بل ولا تفسيقه،
بل أثبتوا لهم أجر الاجتهاد، وان كانوا مخطئين، كما أن ذلك مشهور عند أهل السنة. ونحن
كذلك: لا نكفّر من صحت ديانته وشهر صلاحه وعلم ورعه وزهده وحسنت سيرته وبلغ من نصحه
الأمة ببذل نفسه لتدريس العلوم النافعة والتأليف فيها، وإن كان مخطئا في هذه المسألة
أو غيرها، كابن حجر الهيتمي فإنا نعرف كلامه في (الدر المنظم)، ولا ننكر سعة علمه،
ولهذا نعتني بكتبه كشرح الأربعين والزواجر وغيرهما، ونعتمد على نقله لأنه من جملة علماء
المسلمين"اهـ