#30_Ibnu Hajar Al Haitami, Sikap Para Ulama Antara Yang Mengkafirkan Dengan Yang Tidak Mengkafirkannya


__________________________


Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah :

Tidak mengkafirkan orang yang telah benar keagamaannya, terkenal keshalihannya, dikenal luas sikap wara’ dan zuhudnya, baik perjalanan hidupnya, dan tulus mengurus keperluan kaum muslimin dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat dan mengarang karya-karya yang bermanfaat, sekalipun ia melakukan kekeliruan dalam masalah ini atau masalah lainnya. Seperti Ibnu Hajar Al-Haitami, kita telah mengenal pendapatnya (yang sesat tentang berdoa kepada orang shalih yang telah mati, pent) dalam kitabnya, Ad-Dur Al-Muntazham. Namun kita tidak mengingkari keluasan ilmunya. Oleh karenanya kita mendalami buku-bukunya seperti Syarh Al-Arba’in, kitab Az-Zawajir, dan lain-lain. Kita juga bersandar (memegangi dan memercayai, pent) kutipan-kutipannya, karena ia termasuk golongan ulama kaum muslimin.”

:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Melanjutkan tentang contoh penerapan kaidah “Barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir atau ragu-ragu atas kekafiran orang kafir, maka ia telah kafir”


Di sini di contohkan Ibnu Hajar al Haitami, seorang faqih, ulama besar madzhab Syafi’i yang berpendapat bahwa sunnah beristighatsah dengan makhluk, minta pertolongan kepada Allah dengan perantara wali/ sunan yang telah mati. Apakah serta merta para ulama mengkafirkan atau menganggap beliau telah musyrik? Ternyata di dalam risalah ini diterangkan bahwa tidak seperti itu.

Di antara para ulama yang tidak mengkafirkannya adalah para ulama dakwah Nejed, seperti disebutkan dalam kitab Ad-Durrar As-Sanniyah fil Ajwibah An-Najdiyah (kitab paling lengkap yang menghimpun fatwa-fatwa, risalah para ulama dakwah Nejd sejak zaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sampai zaman Syaikh Muhammad bin Ibrahim_mufti Saudi pertama untuk kerajaan Saudi modern yang dibangun oleh Abdul ‘Aziz bin Sa’ud tahun 1932M pasca perang dunia I setelah runtuhnya Turki Utsmani) Juz 1, tentang aqidah.

Di situ terdapat risalah Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, nampaknya anak tertua dari Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Dimana Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab sendiri hidup dari tahun 1115H-1206H/ 1703-1792M. Dikaruniai usia 89 tahun, cukup panjang. Seorang ulama abad 18M, 12H. Semasa hidupnya, beliau menjalin persekutuan, bai’at dengan gubernur Muhammad bin Saud. Bai’at itu isinya bahwa Muhammad bin Sa’ud sebagai gubernur dan akan membantu dakwahnya Sayikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Dan timbal baliknya nanti yang jadu penguasa adalah Muhammad bin Sa’ud dan anak cucunya. Dan sampai sekarang masih dipertahankan sistemnya seperti itu, keturunannya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab adalah mufti-mufti, qadhi bagi kerajaan Arab Saudi, termasuk yang sekarang (2013) Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim bin ‘Abdul Latif. Yang mana beliau baru saja beberapa bulan ini memfatwakan bahwa orang yang mengajak jihad ke Suriahh itu adalah penghianat Islam.

Ketika Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab meninggal tahun 1206H, kerajaan Muhammad bin Sa’ud belum meluas seperti pada zaman anaknya, Syaikh ‘Abdullah. Dan ketika Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab meninggal, maka beliau sebagai mahkamah agung/ qadhi qudhatnya Muhammad bin Sa’ud digantikan oleh anaknya, Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, yang hidup pada tahun 1165-1242H/ 1752-1826M, seperempat pertama dari abad 19M (jika di Indonesia, zaman-zaman perang Diponegoro). Di Riyad dan sekitarnya yang berkuasa adalah penggantinya, ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Sa’ud. Dan ketika meninggal, dia digantikan olehh anaknya, Sa’ud bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Sau’d. Untuk qadhi qudhatnya tetap Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad. Jadi beliau uurnya juga panjang, 74 tahun. Beliau mengalami periode 3 raja pertama kerajaan Saudi.

Pada masa Sa’ud bin ‘Abdul ‘Aziz inilah pasukan dakwah Nejd menyerang Mekah dan Madinah dan menang. Lalu penguasa, masyarakat, dan ulamanya Mekah menyerah dan meminta jaminan keamanan. Maka Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad ketika memasuki Mekah, beliau mengumpulkan para pemimpin, ulama, dan rakyat Mekah. Di situ dari mereka menanyakan alasan mengapa diperangi, apakah telah dikafirkan, dan pertanyaan-ertanyaan lainnya. Pada kesempatan itulah Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad selaku qadhi qudhatnya kerajaann Saudi yang pertama, beliau menulis risalah jawaban yang dimuat dalam Ad-Durrar As-Sanniyah fil Ajwibah An-Najdiyah. Pada edisi cetaknya pada Juz 1 halama 222 sampai nanti bersambung pada kutipan halaman 236.

Yang bagian awalnya berbunyi:

“Segala puji bagi Allah Rabb seluruh alam. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada nabi kita Muhammad yang terpercaya, juga kepada keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya. Amma ba’du.

Sesungguhnya kami semua, para pejuang muwahhidin, ketika Allah melimpahkan karunia kepada kami ---segala puji bagi Allah semata--- sehingga kami bisa memasuki kota Makkah pada pertengahan siang, hari Sabtu, 8 Muharram 1218 H, setelah para Syarif (istilah pemimpin Mekah dari keturunan Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib. Jika dari keturunan Husain, sebutannya Sayyid) Makkah, ulama Makkah dan seluruh penduduk Makkah meminta jaminan keamanan dari amir pasukan penyerang Sa’ud…”

Sampai pada perkataan beliau:

“Jika seseorang, yang ingin membuat manusia lari dari menerima dan patuh kepada kebenaran, mengatakan: “kesimpulan dan penegasan kalian bahwa orang yang mengatakan ‘Ya Rasulullah, aku meminta syafa’atmu’ adalah orang musyrik yang halal darahnya, berkonskuensi kalian mengkafirkan seluruh umat Islam, terlebih lagi umat Islam generasi belakangan, karena para ulama mereka yang terpercaya menegaskan bahwa tindakan (doa) tersebut adalah perkara yang dianjurkan, dan mereka melancarkan “serangan” (lewat tulisan dan ceramah, pent) atas orang yang menyelisihi hal tersebut!

Maka saya jawab, “Tidak mesti begitu. Karena laazim al-madzhab (konskuensi sebuah pendapat) bukanlah madzhab (pendapat itu sendiri), seperti sudah ditetapkan (dalam kitab-kitab ushul fiqih, pent).”

Dalam kitabnya Syaikh Abu Muhammad al Maqdisi “Risalatul Jah’fr fii annal Ghuluw fii Takfir Yuadzii ila Kufr” ada pembahasaan salah satu kekeliruan dalam masalah takfir. Salah satunya adalah mengkafirkan karena konsekuensi dari sebuah pendapat. Contohnya dari kesalahan itu adalah seperti kasus ini tadi, menyatakan bahwa istighatsah bil anwat itu adalah syirik akbar dan orang menyatakan berarti konsekuensinya dari pendapat tersebut adalah mengkafirkan semua orang yang beristighatsah bil anwat itu. Maka mengkafirkan seperti itu adalah sebuah kekeliruan, karena madzhab dengan lazimul madzhab itu dua hal yang berbeda, tidak mesti ketika seseorang meyakini sebuah madzhab dia meyakini lazimul madzhab itu. Sama seperti yang sering diulas dalam tulisan misalakan Syaikh ‘Ali bin Hudzair, atau Syaikh Sulaiman bin Sahman. Seperti dalam Syarh Kasyfu Subhatnya Syaikh ‘Ali bin Hudzair, di situ disebutkan bahwa orang yang mengudzur jahl dengan syirik itu konsekuensinya berarti mengudzur Yahudi, Nashrani, komunis,dll. Itu takfir yang keliru karena itu adalah lazimul madzhab, tidak boleh seperti itu. Kata Ibnu Hazm jika lazimul madzhab jika dipegangi oleh lawan bicaranya, maka itu berdusta/ mengada-ada atas lawan bicara.

Sama dalam kasus di sini, tidak berarti ulama dakwah Nejd itu menyatakan bahwa perbuatannya syirik lalu orang yang melakukan langsung dianggap syirik atau kafir. Tidak seperti itu.

“Contohnya: Kita tidak mesti menjadi mujassimah (golongan yang menyatakan Allah memiliki bagian-bagian tubuh sama persis dengan bagian-bagian tubuh makhluk-Nya, pent), sekalipun kita menyebutkan Allah mempunyai sifat “berada di atas”, karena hadits pun menyebutkan hal demikian itu.”

 Dzat Allah berada di atas, di atas ‘Arsy. Ada 7 ayat Al Qur’an yang menyebutkan seperti itu. Lalu ada hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Allah pada sepertiga malam yang terakhir turun ke langit dunia. Itu berarti dari atas turun, berarti Allah mempunyai sifat Al ‘Ulu, tapi bukan berarti ketika kita berpendapat bahwa Allah punya sifat Al ‘Ulu itu Allah mempunyai jasat seperti makhluk. Dan lalu kita dianggap mujassimah, dianggap menyamakan dengan makhluk, tidak seperti itu. Karena itu lazimul madzhab, tidak boleh dalam berdiskusi memakai cara seperti itu.

Tentang orang-orang yang telah meninggal (di waktu yang telah lampau), kami katakan:

 تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ
“Itu adalah umat yang telah berlalu…” (QS. Al-Baqarah (2): 134)

“Kami tidak mengkafirkan kecuali orang yang telah sampai kepada dirinya dakwah kami kepada kebenaran, jalan lurus telah terang baginya, dan hujah telah tegak atas dirinya, lalu ia terus-menerus (melakukan kesyirikan, pent) dengan kesombongan dan penentangan. Seperti mayoritas orang yang kami perangi hari ini.”

Jadi yang diperangi, dikafirkan oleh dakwah Nejd itu adalah orang yang hari itu sudah berkali-kali di dakwahi, sudah tegak hujjah, dan mereka itu mustakbir mu’anith. Ini yang bercerita bukan kita, tapi qadhi qudhatnya anaknya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab sendiri.

“Mereka nekad melakukan kesyirikan, menolak melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, dan melakukan dosa-dosa besar yang mungkar secara terang-terangan.” Itu mayoritas orang yang diperangi oleh dakwah Nejd pada masa itu

“Adapun kelompok yang bukan mayoritas hanya kami perangi karena ia menolong orang yang seperti ini keadaannya (nekad berbuat syirik setelah tegak atasnya hujah, pent) dan ia ridha dengannya, dan karena ia memperbanyak jumlahnya dan menguatkan kelompoknya. Dalam kondisi ini, status hukumnya sama dengan orang yang ia dukung dalam hal boleh diperangi.

Adapun orang-orang yang telah meninggal di masa yang lalu, kami memberi mereka udzur karena mereka keliru (sekalipun kelirunya syirik akbar, seperti Ibnu Hajar al Haitami, Taqiyuddin as Subqi_2 ulama besar madzhab Syafi’i yang sama-sama ngotot dalam hal sunnahnya istighatsah bil anwat) dan memiliki udzur, karena mereka tidak ma’shum (terjaga) dari kekeliruan. Dan tentu saja, tidak mungkin tercapai ijma’ bahwa mereka ma’shum.

Adapun orang (di pihak kami, pent) yang melakukan serangan di waktu mereka lengah (sebelum mendapat dakwah, pent) maka ia telah melakukan kekeliruan.”

Maksunya, orang-orang yang telah lewat yang berpendapat istighatsah bil anwat adalah masyru’/ sunnah, kemudian dia mencaci-maki para ulama yang tidak sependapat dengannya maka sungguh dia telah keliru.

“Dan pasti ia pernah melakukan kekeliruan, karena orang yang lebih baik dari dia sekalipun juga pernah melakukan kekeliruan. Seperti Umar bin Khaththab, yang ketika diperingatkan oleh seorang wanita, maka ia menarik kembali keputusannya dalam masalah mahar, dan lain sebagainya. Hal itu cukup terkenal dalam sejarah hidupnya.”

Ini kisah tentang kelirunya ijtihad ‘Umar bin Khatab. Ketika beliau menjadi khalifah, para orang tua menaikkan mahar. Maka ‘Umar membuat keputusan bahwa tidak boleh menetapkan mahar melebihi mahar yang diberikan oleh Rasulullah kepada para istri beliau, yaitu 400 dirham=40 dinar. Bagi orang-orang saat itu, 40 dinar itu tidak terlalu mahal. Tapi ketika ‘Umar baru selesai membuat keputusan seperti itu, ada seorang wanita yang menjadi perantara atas turunnya surat Al Mujadalah. Kata wanita itu “Bagaimana engkau wahai amirul mu’minin akan menetapkan peraturan seperti itu sementara Allah menghalalkan puluhan ribu dinar (“dan jika kalian ingin menceraikan seorang istri dan ingin mencari istri yang lainnya, maka janganlah kamu menarik kembali maharnya sekalipun kamu telah memberikan kepadanya qinthar/ 12.000 dinar”).

‘Umar keliru, padahal maksud beliau adalah untuk mempermudah pernikahan. Tapi karena niat itu melanggar ayat maka mau-tidak mau ditegur oleh wanita tadi dan ‘Umar akhirnya mencabutnya kembali. Kalau orang sekelas ‘Umar bin Khatab, yang mendapat jaminan dari Rasulullah dalam hadits “seandainya ditengah umatku ada orang yang mendapat ilham dari Allah, maka dialah ‘Umar” itu saja beliau bisa keliru, apalagi ulama belakangan seperti Ibnu Hajar al Haitami, dan lainnya.

“Bahkan para sahabat yang jumlahnya sangat banyak pernah berbuat keliru, padahal nabi kita Muhammad SAW berada di tengah mereka dan cahaya petunjuk beliau menerangi mereka. Mereka mengatakan: “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwat (pohon tempat menggantungkan senjata dan diyakini membawa berkah dalam perang) sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwat!” Ini kisah dalam perang Hunain, 12.000 sahabat berangkat perang dan sekitar 200 orang dari mereka adalah baru masuk Islam setelah fathul Mekah. Ribuan sahabat bisa keliru seperti itu, padahal Rasulullah hidup di tengah mereka. Apalagi ulama-ulama yang hidup 9 abad setelah Rasulullah.

“Jika engkau membantah: “Hal itu dilakukan oleh orang yang tidak sadar (belum paham), lalu ketika diingatkan maka ia pun berhenti (tidak melakukannya). Lantas bagaimana halnya dengan orang yang meneliti dalil-dalil dan mengkaji pendapat para ulama yang dijadikan panutan, lalu ia terus-menerus melakukannya sampai ia meninggal (apakah ia masih juga diberi udzur, pent)?

Saya katakan: Tidak ada halangan untuk memberi udzur kepada orang yang baru saja disebutkan keadaannya, dan kita tidak mengatakan ia telah kafir, karena berdasar uraian di depan ia telah melakukan kekeliruan sekalipun ia terus-menerus di atas kekeliruannya tersebut, karena pada masa hidupnya tidak ada ulama yang berjuang keras menjelaskan masalah ini dengan lisan, pedang, dan senjatanya. Maka hujah belum tegak atas dirinya, dan jalan yang lurus belum terang atas dirinya.”

Masya Allah, beliau sebutkan seperti itu. Syaikh ‘Abdullah menyatakan bahwa sekalipun dia mengkaji dalil-dalil syar’i, mengkaji pendapat-pendapat para ulama terdahulu tapi dianggap hujjah belum tegak kepadanya, karena tidak ada yang membantah, mendiskusikan panjang lebar yang mana tidak hanya dengan lisan saja, tapi dengan kekuatan senjata yang membuat dia bisa tunduk.

“Bahkan kondisi mayoritas orang pada zaman hidup para pengarang (yang menyatakan berdoa kepada orang shalih yang telah mati adalah ibadah yang disyariatkan, pent) tersebut adalah sepakat untuk menjauhi perkataan para ulama sunnah secara total. Barangsiapa di antara mereka menelaah perkataan para ulama sunnah, maka ia berpaling darinya sebelum sempat meresap dengan mantap ke dalam hatinya. Para ulama besar mereka senantiasa melarang orang-orang kecil (para pelajar dan kaum awam) mereka dari melihat karya-karya para ulama sunnah. Sedangkan ‘sepak terjang raja’ sangatlah menguasai hati rakyatnya, kecuali orang yang dirahmati oleh Allah di antara mereka.”

Maksudnya seperti rakyat yang jika mendapatkan perintah dari raja maka dia sami’na wa atha’na. Begitu juga para ulama seperti Ibnu Hajar al Haitami, Taqiyuddin as Subqi, dan lainnya itu melarang orang-orang kaum muslimin untuk membaca buku-bukunya Ibnu Taimiyyah. Akhirnya orang dari situ menjadi tidak belajar, yang diterima hanya yang sejalur saja.

“Mu’awiyah bin Abi Sufyan RA dan para pendukungnya berpendapat untuk menyelisihi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib RA, bahkkan memeranginya. Berdasar ijma’, mereka telah melakukan kekeliruan dan mereka terus-menerus bertahan di atas kekeliruan mereka sampai mereka meninggal. Namun berdasar ijma’ pula, tidak ada seorang pun dari generasi salaf yang memvonis mereka kafir, bahkan tidak pula memvonis mereka fasiq. Justru generasi salaf menetapkan untuk mereka pahala ijtihad, sekalipun ijtihad mereka keliru, sebagaimana yang telah terkenal dalam madzhab ahlus sunnah.”

“Demikian juga kami tidak mengkafirkan orang yang telah benar keagamaannya (dia bersyahadat, shalat, zakat, umrah, mempunyai rasa takut dan harap kepada Allah, mempunyai rasa cinta kepada Allah dan Rasulullah) terkenal keshalihannya, dikenal luas sikap wara’ dan zuhudnya, baik perjalanan hidupnya, dan tulus mengurus keperluan kaum muslimin dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat dan mengarang karya-karya yang bermanfaat, sekalipun ia melakukan kekeliruan dalam masalah ini atau masalah lainnya. Seperti Ibnu Hajar Al-Haitami, kita telah mengenal pendapatnya (yang sesat tentang berdoa kepada orang shalih yang telah mati, pent) dalam kitabnya, Ad-Dur Al-Muntazham(“Mutiara yang Disusun”, buku dakwah mereka untuk menempuh perjalanan jauh untuk menziarahi dan berdoa kepada Allah dengan perantaraan orang shalih). Namun kita tidak mengingkari keluasan ilmunya. Oleh karenanya kita mendalami buku-bukunya seperti Syarh Al-Arba’in, kitab Az-Zawajir (Pencegah-pencegah dari melakukan dosa-dosa besar), dan lain-lain. Kita juga bersandar (memegangi dan memercayai, pent) kutipan-kutipannya, karena ia termasuk golongan ulama kaum muslimin.”[1]

Seperti itulah pendapat, keterangan dari putranya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, qadhi qudhatnya. Yang mana beliau belajar langsung dengan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Tidak mungkin beliau diangkat menjadi qadhi qudhat, penggantinya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab kalau tidak direstui oleh beliau.

Beda sekali dengan ulama dakwah Nejd generasi ke-5 atau 6, yang dengan tegas mereka menyatakan ijma’ bahwa siapapuun yang berbuat syirik akbar maka dia telah musyrik sekalipn dia orang yang sekelas dengan Ibnu Hajar al Haitami. Dan kita juga heran, mengapa dalam buku-bukunya Syaikh ‘Ali Hudair umpamanya, kutipan di atas sama sekali tidak ada. Bisa kita baca kitab beliau ‘Ath Thabaqat’_Kitab yang membahas tentang tingkatan-tingkatan orang yang melakukan syirik akbar. Bagaimana dengan ngotot beliau menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah memusyrikan al Bikri dalam kitab beliau ‘Al Istighatsah fii Raddi ‘alal Bikri’. Dan bagaimana Syaikh Hudair menyatakan bahwa ulama dakwah Nejd sepakat siapa berbuat syirik maka disebut musyrik. Dan ternyata disini para ulama terdahulu generasi ke-2nya dakwah Nejd, murid sekaligus putra Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab tidak seperti itu. Inilah yang agak aneh dalam buku tersebut. Dan seandainya punya kesempatan mengkaji secara penuh, mungkin akan kita temukan kutipan-kutipan lainnya yang sebenarnya mementahkan apa yang selama ini mereka yakini sebagai kebenaran yang final.

Padahal ini di dalam Ad Durrar As Saniyah baru juz I, sementara Syaikh ‘Ali bin Hudair kutipan beliau sampai juz 12, 16, dst. Termasuk ulama lainnya seperti Syaikh Midhaj bin Hasan Alu Farrad dalam buku-buku beliau, baik ‘Al Fatawa An Najdiyah’ (5 jilid), atau ‘Al Udzru bil Jahli Tahtal mijhar Asy Syar’i, dll. Dan termasuk juga para ulama setelahnya yang mengarang buku-buku yang menegaskan tidak adanya udzur jahl, khata’ dalam syirik akbar yang menisbatkan pendapat-pendapat pada kutipan dari ulama-ulama dakwah Nejd, kutipan yang seperti di atas itu tidak ada. Apakah itu kejujuran dalam menulis ataukah tidak alakulihal ini data baru yang mungkin membuat kita juga harus hati-hati bahwa tidak semua dakwah ulama Nejd tidak seperti yang diklaimkan oleh para generasi belakangannya. Apalagi kita tahu ini Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab berbicara, menulis seperti di atas ketika pada masa puncak jayanya bagaimana dakwah Nejd ketika itu menahlukkan Mekah, Madinah, dan seluruh Arab Saudi, bahkan menguasai Yaman dan sebagian Irak. Ini adalah kerajaan Arab Saudi  pada generasi pertama, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, kemudian putranya. Baru pada generasi cucu beliau, Syaikh Sulaiman inilah serangan dari Mesir datang, Ibrahim Basya-putra dari Muhammad Basya, gubernur Turki ‘Utsmani yang memang didikan Perancis yang mana dia memberontak pada Turki ‘Utsmani. Menyerang ke Mekah, Madinah, sampai Nejd, semua daerah kekuasaannya dakwah Nejd jatuh sampai Diriya, di situ tertangkap termasuk Syaikh ‘Abdullah. Ini pada tahun 1233H/1818M, dimana yang tertangkap duluan adalah Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, digiring ke Mesir untuk ditawan dan meninggal di Mesir sekitar 9 tahun setelah itu. Adapun cucu beliau, Syaikh Sulaiman sembunyi pada peristiwa itu, yang mana ada mata-mata yang lapor dan akhirnya beliau tertangkap dan dieksekusi mati di Diriya, semoga Allah merahmati beliau.

Pada peritiwa itulah baru runtuhnya kerajaaan Saudi generasi pertama. Nanti mereka di angkat ke Mesir dan lahirlah beberapa keluarga generasi ke-4 dari Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, diantaranya Syaikh Abdurrahman bin Hasan, pengarang kitab Fatul Majid. Beliau lahirnya di Mesir, makanya logat mesir, belajar di Al Azhar, dapat ilmunya dari ulama-ulama Mesir. Kemudian suatu saat mereka melarikan diri dan menyusun kekuatan kembali hingga bisa mendirikan kerajaan Saudi lagi, kerajaan Saudi generasi II. Yang lucunya kerajaan generasi II ini mengakui bahwa mereka bagian dari Turki ‘Utsmani yang pada zamannya generasi sebelumnya dianggap ‘Daulah Musyrikah’.

Allahu’alam..



[1]. Abdurrahman bin Muhammad An-Najdi, Ad-Durrar As-Sanniyah fil Ajwibah An-Najdiyah, 1/222-236. Pent. 

::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Teks Arab :



ومنهم علماء الدعوة النجدية كما في الدرر السنية في رسالة الشيخ عبد الله بن محمد بن عبد الوهاب رحمهم الله، التي مطلعها: الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على نبينا محمد الأمين، وعلى آله وصحبه والتابعين، وبعد: فإنا معاشر غزو الموحدين، لما منَّ الله علينا -وله الحمد- بدخول مكة المشرفة نصف النهار يومَ السبت، في ثامن شهر محرم الحرام، سنة 1218 هـ، بعد أن طلب أشراف مكة وعلماؤها وكافة العامة من أمير الغزو "سعود" الأمان...
[إلى أن قال]: فإن قال قائل منفرٌ عن قبول الحق والإذعان له: يلزم من تقريركم، وقطعكم في أن من قال يا رسول الله أسألك الشفاعة: أنه مشرك مهدر الدم؛ أن يقال بكفر غالب الأمة، ولا سيما المتأخرين، لتصريح علمائهم المعتبرين: أن ذلك مندوبٌ، وشنوا الغارة على من خالف في ذلك! قلت: لا يلزم، لأن لازم المذهب ليس بمذهب، كما هو مقرر، ومثل ذلك: لا يلزم أن نكون مجسمة، وإن قلنا بجهة العلو، كما ورد الحديث بذلك. ونحن نقول فيمن مات: تلك أمة قد خلت؛ ولا نكفر إلا من بلغته دعوتنا للحق، ووضحت له المحجة، وقامت عليه الحجة، وأصر مستكبراً معانداً، كغالب من نقاتلهم اليوم، يصرون على ذلك الإشراك، ويمتنعون من فعل الواجبات، ويتظاهرون بأفعال الكبائر المحرمات؛ وغير الغالب إنما نقاتله لمناصرته مَن هذه حاله، ورضاه به، ولتكثير سواد من ذكر، والتأليب معه، فله حينئذ حكمُهُ في قتاله، ونعتذر عمن مضى: بأنهم مخطئون معذورون، لعدم عصمتهم من الخطأ، والإجماع في ذلك ممنوع قطعاً؛ ومن شن الغارة فقد غلط؛ ولا بدع أن يغلط، فقد غلط من هو خير منه، كمثل عمر بن الخطاب رضي الله عنه، فلما نبهته المرأة رجع في مسألة المهر، وفي غير ذلك يعرف ذلك في سيرته، بل غلط الصحابة وهم جمع، ونبينا صلى الله عليه وسلم بين أظهرهم، سارٍ فيهم نوره، فقالوا اجعل لنا ذات أنواط كمال هم ذات أنواط. فإن قلت: هذا فيمن ذهل، فلما نبه انتبه، فما القول فيمن حرر الأدلة، واطلع على كلام الأئمة القدوة، واستمر مصراً على ذلك حتى مات؟! قلت: ولا مانع أن نعتذر لمن ذكر، ولا نقول: إنه كافر، ولا لما تقدم أنه مخطىء، وإن استمر على خطئه، لعدم من يناضل عن هذه المسألة في وقته، بلسانه وسيفه وسنانه، فلم تقم عليه الحجة ولا وضحت له المحجة، بل الغالب على زمن المؤلفين المذكورين التواطؤُ على هجر كلام أئمة السنة في ذلك رأساً، ومن اطلع عليه أعرض عنه، قبل أن يتمكن في قلبه، ولم يزل أكابرهم تنهى أصاغرهم عن مطلق النظر في ذلك، وصولةُ الملوك قاهرةٌ لمن وقر في قلبه شيء من ذلك إلا من شاء الله منهم. هذا: وقد رأى معاوية وأصحابه -رضي الله عنهم- منابذة أمير المؤمنين علي أبي طالب رضي الله عنه، وقتاله ومناجزته الحرب، وهم في ذلك مخطئون بالإجماع، واستمروا في ذلك الخطأ، ولم يشتهر عن أحد من السلف تكفيرُ أحد منهم إجماعاً، بل ولا تفسيقه، بل أثبتوا لهم أجر الاجتهاد، وان كانوا مخطئين، كما أن ذلك مشهور عند أهل السنة. ونحن كذلك: لا نكفّر من صحت ديانته وشهر صلاحه وعلم ورعه وزهده وحسنت سيرته وبلغ من نصحه الأمة ببذل نفسه لتدريس العلوم النافعة والتأليف فيها، وإن كان مخطئا في هذه المسألة أو غيرها، كابن حجر الهيتمي فإنا نعرف كلامه في (الدر المنظم)، ولا ننكر سعة علمه، ولهذا نعتني بكتبه كشرح الأربعين والزواجر وغيرهما، ونعتمد على نقله لأنه من جملة علماء المسلمين"اهـ

About

Here you can share some biographical information next to your profile photo. Let your readers know your interests and accomplishments.